Khidmah adalah suatu keharusan bagi setiap pencari ilmu. Setelah bersusah payah, totalitas, dan mendapatkan ilmu yang jadi tujuan itu, cara berterima kasihnya seorang murid, ya dengan cara berkhidmah. Bentuk pengabdian pada pondok pesantren, juga dengan guru-guru memang sepatutnya dilakukan. Menyerahkan diri untuk hal-hal yang dikehendaki, -masih dalam taraf syariat, tidak perlu untuk disuruh. Apapun yang menjadi kebutuhan guru, sebisa mungkin kita layani penuh ta’zhim. Bukannya kita adalah budak dari seseorang yang mengajarkan, meski hanya satu huruf? Bukankah seperti itu apa yang disampaikan Sayyidina Ali?
Sulthonul Auliya, Syekh Abdul Qadir al-Jilani berkata,
من أراد الفلاح فليصر تراباتحت أقدام الشيوخ
“Barang siapa yang menginginkan kebahagiaan (dunia-akhirat) maka jadilah ia debu di bawah telapak kaki para guru.”
Tetap, kita adalah sebutir debu di bawah kaki para guru; sepintar apapun, sealim apapun.
Lalu bagimana kiat sukses para pencari ilmu? Tentu kita sering mendengar ungkapan,
ثبات العلم بالمذاكرة، وبركته بالخدمة، ونفعه برضا الشيخ
“Tetapnya ilmu dengan mengulang-ulang, barokahnya ilmu dengan khidmah, dan manfaatnya ilmu dengan ridho guru.”
Selain tujuan kita adalah mencari ilmu, kita juga harus berkhidmah pada pihak yang berperan atas pencarian ilmu itu; pondok dan guru. Khidmah adalah hal yang dibutuhkan untuk barokah yang dicari.
Barokah atau bertambahnya kebaikan itu diperlukan. Manfaat juga perlukan. Kita berharap agar ilmu yang sudah kita cari susah payah itu bisa manfaat dan barokah. Agar tidak sia-sia.
Sudah banyak contoh para guru kita, bagaimana mempeng-nya dalam belajar, juga tunduk patuh mengabdikan diri pada guru: mengaharap barokah dan ridhonya. Tidak perlu diragukan lagi, bagaimana pengorbanan KH. Azizi Hasbullah dalam menuntut ilmu, bagaimana beliau mengabdikan seluruh hidupnya untuk para guru. Mendengar cerita guru-guru, “Terlahir di kelurga yang tidak berada bukan berarti tanda padam semangat untuk mondok. Berangkatnya beliau ke pondok pesantren Lirboyo hanya berbekal uang saku yang cukup untuk di perjalanan. Sampai sowannya beliau ke KH. Idris Marzuqi, mengutarakan semua hal, hingga beliau memilih untuk berkhidmah, menjadi santri ndalem untuk ngurus sapi. Itu masih di awal mondoknya. “
“Meskipun hidup dalam keterbatasan finansial dan waktu karena harus mengurus sapi kiai, bukan menjadi alasan untuk malas-malasan. Di luar dugaan, justru beliau menjadi santri yang paling menonjol dalam hal pemahaman pelajaran. Sering beliau semasa sekolah ditunjuk menjadi rais am, ketua musyawarah, dan aktivis bathsul masail. Hingga sekarang, menjadi seorang kiai, ahli batshul, dan tulisan-tulisan beliau yang tersebar di mana-mana. Jelas saja kalau beliau dijuluki sebagai Macan Lirboyo!”
Azizi Hasbullah adalah salah satu objek yang harus dijadikan contoh oleh setiap pencari ilmu. Setiap jengkal sisi dari hidup beliau bisa dijadikan ibrah. Beliau, menjadi santri yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk pondok dan guru, tetapi tidak mengalahkan ngajinya. Seimbang. Segala do’a baik untuk KH. Azizi Hasbullah.
Yakin, masih malas belajar? Masih tidak percaya akan barokah?