Kisah dan Sosok Mbah Mahrus Aly Lirboyo bagi KH. Kaffabihi Mahrus
Tepat tahun 1906 lahirlah sosok alim alamah nan heroik dalam memperjuagkan agama dan negara. Ialah Rusydi, anak ke-9 dari KH. Aly bin Abdul Aziz dan Hashihah binti Said. Rusydi lahir dan besar dalam lingkungan pesantren. Hidup dibawah bimbingan dan pengawasan orang-orang alim.
Rusydi sangat rajin belajar dan tekun beribadah, bila sudah waktunya sholat ia langsung bergegas bersiap-siap ke musholla. Rusydi sejak kecil terkenal sebagai anak yang pemberani, oleh teman-temannya ia selalu dijadikan yang terdepan karena dianggap mampu menyelesaikan berbagai permasalahan. Ia juga sering menjuarai permainan yang digemari teman-temannya, sebab itu nama Rusydi semakin disegani. Salah satu permainan yang sangat digemari Rusydi adalah sepak bola. Dalam kesebelasan yang diperkuatnya, ia menempati posisi penyerang. Namun, walau demikian Rusydi tetap rajin dalam belajar, bahkan sering membantu khadim ayahnya.
Beranjak dewasa Rusydi mendirikan dan memimpin Jam’iyah Syubbaniyah, anggotanya diambil dari santri Gedongan sendiri. Dalam organisasi ini memiliki tujuan untuk menolong anggota yang lemah dan kekurangan. Dibalik ini pula, secara sembunyi-sembunyi Rusydi sering memberikan makanan, pakaian dan uang pada santri yang membutuhkan.
- Berkelana Menyusuri Ilmu
Rusydi mulai belajar Al-Qur’an pada ayahnya, hingga usia 15 tahun berhasil mengkhatamkan. Setelahnya ia mempelajari kitab-kitab, seperti imrithi, safinah, sulam taufiq dan kitab lainnya. Ia berguru pada Kiai Ahmad Afifi (kakaknya) di Pondok Gedongan. Rusydi sebenarnya adalah anak yang cerdas, hanya saja kemampuannya dalam menghafal dinilai lamban. Hal ini yang membuat kakak sekaligus gurunya ini sering memarahinya.
Sang ibu yang mendengar bentakan merasa tak tega pada Rusydi, “Rusydi jangan dimarahi terus, kelak ia akan menjadi orang besar.” Tutur sang ibu pada Kiai Afifi. Walau demikian, Rusydi tetap tegar dan sabar. Justru Rusydi semakin giat dalam belajar.
Berkat ketabahan dan kesabarannya ia berhasil mengkhatamkan berbagai kitab dengan baik. Kemudian muncul dalam benak Rusydi untuk belajar di pesantren lain. Namun berkali-kali Rusydi meminta izin pada ibunya, berkali-kali pula ia ditolak.
Rusydi mengurungkan niatnya. Ia kembali belajar pada Kiai Mukhtar dan Kiai Afifi ditemani Ma’shum, putra Kiai Siroj (Adik Ny. Hashihah). Mereka berdua belajar Kitab Alfiyah, selama proses pembelajaran, mereka merupakan rival dalam urusan ilmu. Belum sampai khatam dalam belajar, keduanya sudah diizini untuk melanjutkan belajarnya di pesantren lain.
Saat itu Rusydi berusia 18 tahun, pesantren pertama yang ia singgahi adalah pesantren di daerah Panggung, Tegal. Pesantren besar yang diasuh oleh Kiai Mukhlas, suami Ny. Muslihah (kakak ke-4 Rusydi). Saat itu Rusydi langsung disambut dan ditawarkan tinggal di rumah kakaknya, namun ia menolak, ia lebih memilih berbaur dengan para santri. Sedangkan saingannya, Ma’shum melanjutkan mondok di Kempek, Palimanan, Cirebon.
Rusydi sangat tekun dalam belajar, selain Alfiyah ia juga belajar Ibnu ‘Aqil dan Bidayatul Hidayah. Ketekunannya membuat ia tak ingin pulang ke Cirebon, bahkan saat liburan panjang pun ia tak pulang. Seluruh waktunya ia gunakan unuk belajar.
Menginjak usia 21, tahun 1927 M. Rusydi menunaikan ibadah haji yang pertama. Ia diperintah oleh Kiai Amir, suami Ny. Sukainah (adik dari Ibunya Rusydi), agar ia menemani Ny. Muslihah. Rusydi didesak oleh keluarganya ketika pemberangkatan kurang tiga hari. Berkat kewibawaan Kiai Aly dan Kiai Amir, urusan administrasi di birokrasi penjajahan Belanda yang sangat ketat, bisa diatasi hanya dalam waktu 3 hari.
Di Mekah, Rusydi sempat berdebat dengan Orang Yaman terkait ilmu nahwu-shorof, keilmuwan Rusydi mampu mengunggulinya walau hanya berbekal Alfiyah yang belum selesai ia pelajari. Kemudian diajaklah Rusydi ke Yaman, untuk mengajar ilmu nahwu-shorof. Tentu ini tidak dikabulkannya, karena ia di Mekah hanya diamanahi untuk menemani sang kakak.
Lazimnya tradisi orang Indonesia terdahulu, setiap orang yang kembali dari tanah suci dan menyandang gelar haji, maka bila perlu diberi nama baru. Sebab itu Rusydi berganti nama menjadi Haji Mahrus Aly. Konon ada yang mengatakan nama Mahrus ini yang memberikan adalah seorang syaikh dari Arab.
Setelah jatuh liburan akhir tahun dan sudah merampungkan alfiyahnya, H. Mahrus pulang kampung. Kebetulan, rivalnya; Ma’shum juga pulang. Sehingga Kiai Afifi berinisiatif untuk menguji pemahaman alfiyah keduanya. Mereka diberi beberapa persoalan, keduanya diadu kebolehannya agar dapat diketahui siapa yang lebih hafal dan paham Alfiyah. Bagi yang juara akan mendapatkan sarung samarinda.
Hasilnya ternyata H. Mahrus kalah. Bilal (kakaknya) begitu mendengar kabar itu langsung kaget dan memukuli dan menendangi H. Mahrus. Semenjak itu beliau tak mau ketemu lagi dengan Kiai Afifi, Ma’shum, lebih-lebih Bilal. Ia tak menyalahkan siapapun, Ia sedih karena merasa sangat bodoh. Semakin menyesali peristiwa ini, kesedihan H. Mahrus semakin mendalam. Akhirnya, beliau bulatkan tekad untuk mengembara.
Ia mulai melangkahkan kakinya ke Pondok Wotbogor Indramayu, persinggahan Kiai Mukhtar, kakaknya. Tak lama di Indramayu, ia memutuskan pergi kembali dengan membawa sepeda milik Kiai Mukhtar dan menjualnya tanpa sepengetahuan sang kakak. Kemudian uangnya dijadikan bekal untuk melanjutkan perjalanan.
Meski sudah punya uang, namun perasaannya masih gundah karena bingung hendak kemana lagi untuk mencari ilmu. Ditengah perjalanan tiba-tiba ia teringat tokoh ulama yang terkenal alim dari Rembang, yakni Kiai Kholil Pengasuh Pesantren Kasingan. Tak pikir panjang, ia bersegera melangkahkan kaki ke Rembang. Demi tidak mengecewakan keluarga, H. Mahrus mengerahkan semua tenaganya untuk mencari ilmu sampai-sampai beliau lupa langkahnya ini belum izin pada ayah-ibu.
Tepat tahun 1931 M. sebelum menginjak tanah Pesantren Kasingan, sejumlah santri menyambut kedatangannya. Seakan-akan tahu akan kehadirannya, H. Mahrus bertanya-tanya dalam hati, mengapa santri disini begitu hormat padanya? Padahal beliau merasa dirinya adalah orang yang sangat bodoh, merasa tak pantas mendapatkan perlakuan semacam ini. Setelah beberapa hari beliau baru tahu, ternyata santri Kasingan menganggap H. Mahrus adalah seorang ahli hadits, padahal sedikitpun ia tak menguasai hadits.
Dibalik rihlah H. Mahrus, ibunya sangat bersedih dan selalu mendo’akan anaknya agar mendapatkan hidayah. Ibunya sampai melakukan riyadloh, hari-harinya tak makan nasi, hanya makan dedaunan yang dipetik dibelakang rumah. ini demi anaknya, agar kelak Mahrus menjadi orang alim yang sanggup menggantikan orang tuanya.
Setelah dua bulan belajar di Kasingan, H. Mahrus ingin mengobati rasa rindu pada keluarga yang ditinggalkannya. Sesampainya di Cirebon H. Mahrus keheranan, sikap keluarga begitu berbeda. Kiai Afifi menjadi sangat menghormatinya, bahkan Bilal yang pernah memukuli Mahrus kini berubah menjadi takut dengannya. Sedangkan Ma’shum sang rival, tak berani menemui.
Kedatangan H. Mahrus menggetarkan Gedongan. Wajahnya memancarkan sinar kealiman yang penuh kharisma. Ayahnya atau siapa saja yang mengajukan masa’il selalu dijawab dengan tepat. Seluruh keluarga bertanya-tanya “amalan apa yang membuat H. Mahrus seperti ini? hingga mampu menguasai dan memahami berbagai disiplin ilmu.”
Menurut Kiai Rohmat, H. Mahrus tidak melakukan amalan tertentu. Semua itu terjadi semata-mata karena anugerah Allah SWT. Beliau diberi futtuh saat perjalanan menuju Kasingan. Sebab itu awal H. Mahrus menginjak pesantren Kasingan sudah terlihat wibawa kealimannya. Setelah mondok selama 6 bulan saja H. Mahrus sudah dimintai untuk mengorek kitab Mughni Labib, Ibnu ‘Aqil, Luma’, sudurudz Dzahab, Jam’ul Jawami dan Taqrib.
- Kiprah KH. Mahrus Aly di Lirboyo
Setelah 5 tahun mondok di Kasingan, beliau lanjutkan rihlah belajarnya di Lirboyo untuk tabarrukan. di Lirboyo beban yang ditanggungkan semakin besar. Walau sudah memiliki kesibukan yang begitu banyak, beliau tetap mengistiqomahkan ngaji di pesantren. Sesibuk-sibuknya mengisi pengajian di luar, tetap ketika bulan Ramadhan beliau mengisi pengajian bersama santri. Beliau di Lirboyo istiqomah berjama’ah, kesehariannya senantiasa menerapkan literatur akhlak yang ada dalam kitab, ini dilakukan sebagai percontohan untuk santri.
Salah satu contoh, ketika beliau hendak makan selalu memakai kopyah, ini dilakukan sebagai bentuk pernghormatan pada makanan. Selain itu, beliau adalah sosok yang sangat dermawan, bahkan beliau mengharomkan untuk menyimpan uang, jadi setiap beliau memegang uang, beliau shodaqohkan.
Beliau juga pernah mengaji pada KH. Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng) mengaji Bukhori Muslimin. Kemudian pada KH. Dalhar Magelang, saat itu beliau sudah mempunyai istri. Kecerdasan KH. Mahrus membuat geleng-geleng kepala kagum KH. Dalhar “Baru ini, saya punya santri yang diajar mantek dan lainnya cepat paham.” Tuturnya.
Atas segala kiprah emasnya, nama beliau mulai dikenal oleh penjuru ulama. Hingga dijadikanlah Rois PWNU Jawa Timur pertama, selama 27 tahun. Saat beliau mengajukan mundur, para ulama tidak ada yang menyetujui. Bahkan sampai ada ungkapan “Apabila KH. Mahrus tidak mau lagi menjadi Rois ‘Aam maka lebih baik tidak usah ada Ro’is Aam di PWNU Jatim”
- Pendirian Universitas Islam Tribakti (UIT)
Bermula banyaknya santri yang kuliah di IAIN atau Perguruan Tinggi Negeri namun malah akidahnya berubah. Maka berdirilah UIT oleh KH. Mahrus Aly, ini dilakukan agar akidah kepesantrenan tetap ada. Penempatannya pun diluar Lirboyo, ini dilakukan agar tidak mempengaruhi kesalaffan santri Lirboyo. Beliau sangat menjaga kesalaffan Lirboyo. Namun beliau juga tahu betul akan pentingnya perkuliahan untuk masyarakat dan negara. Karena masyarakat pun membutuhkan ulama yang intelektual, apalagi ulama yang ahli kitab sudah banyak.
- Diangkatnya KH. Mahrus sebagai Penasehat Brawijaya Kodim V
Ketika suatu negara dijajah maka kewajiban sebagai warga negara adalah melepaskan penjajahan itu. Penjajahan ini selain merampok kekayaan negara juga merusak akidah. Banyak yang beragama Islam, namun karena desakan penjajah mereka berpindah agama. Dalam kondisi tak ada kebebasan sedikitpun maka kewajiban warga Indonesia adalah berjuang melawan penjajah, berjuang demi kemerdekaan.
KH. Mahrus Aly pernah aktif berperang melawan Belanda dan Jepang untuk merebutkan kemerdekaan. Beliau merupakan salah satu pimpinan Hizbullah wilayah Kediri, kiprahnya menuai pujian dalam dunia peperangan. Keberaniannya dalam memimpin peperangan mendapat apresiasi dari berbagai sisi, bahkan karena keberanian dan perjuangan kerasnya, beliau diangkat menjadi Penasehat Brawijaya Kodim V.
Narasumber: KH. Kaffabihi Mahrus