Imam Hathim Al-Ashom, seorang ulama yang memiliki nama lengkap Abu Abdurrahman Hatim ibn Alwan, lahir di kota khurasan daerah yang sekarang meliputi Turkmenistan, Tajkistan, Uzbekistan dan sekitar Iran, beliau wafat pada tahun 237 H. Imam Hathim semasa hidupnya telah banyak memberikan petuah dan nasihat-nasihat penting mengenai sikap manusia dalam beribadah kepada tuhannya, memberikan wejangan yang menggugah jiwa dan menyadarkan manusia untuk selalu dekat dengan sang pencipta.
Dalam kesempatan ngaji bandongan Ayyuhal Walad dengan salah satu pengajar Madrasah Hidayatul Mubtadi’in, saya mendapati sebuah penjelasan menarik tentang Kisah Imam Hathim Al-Ashom yang mondok selama 30 tahun dan hanya mendapatkan 8 ilmu. Pada suatu waktu Imam Hathim ditanya gurunya Syeikh Syaqiq al-Balkhi,
“Hathim berapa lama engkau belajar menemaniku?” tanya Syeikh Syaqiq.
“Tiga puluh tahun guru,” jawab Hathim.
Syeikh Syaqiq kembali bertanya, “Selama 30 tahun, apa yang telah kau dapatkan?”
“Delapan pengetahun guru,” jawab Hathim dengan tegas.
Mendengar jawaban muridnya, Syeikh Saqiq terkejut, “Inna lillahi Wa Inalillahi Raji’un, umurku hampir habis denganmu, namun tidak sekalipun kau belajar dari delapan perkara.”
“Benar guru, aku sama sekali tidak berbohong dan hanya delapan perkara itu yang kupelajari,” jawab Hathim dengan yakin.
“Sampaikan kepadaku tentang 8 perkara itu, agar aku dapat mendengarnya,” pinta Syeikh Syaqiq.
Hathim mulai menjelaskan, Perkataan Hathim tentang perkara yang pertama memberikan nasihat mengenai utamanya amal dan ibadah di segala lini kehidupan, bahkan dalam memilih kekasih juga harus diniati dengan ibadah, perilaku mulia tersebut busa diterapkan, semisal, ketika makan kita dahulukan dengan do’a, kemudian diniati agar tubuh kuat dalam menjalankan aktifitas dan beribadah. Jika hal-hal kecil seperti itu dapat istiqomah, Insya Allah dapat menumbuhkan pahala berlimpah.
“Wahai guru, aku memandang seluruh manusia mencintai kekasihnya, mereka selalu bersama sampai akan dimasukkan ke kubur, tetapi, ketika sudah memasuki liang lahat, apa yang dikasihi dan disayangi itu meninggalkannya. Oleh karena itu, aku jadikan amal-amal baik sebagai kekasihku, agar nanti, ketika aku masuk kedalam kubur, kekasih-kekasih itu tetap akan menemaniku.” Ujar Imam Hathim.
Perihal perkara yang kedua, Hathim mengingatkan manusia untuk selalu mengendalikan hawa nafsunya, mengingat banyak sekali diantara umat manusia terjerumus dalam kemaksiatan dikarenakan menuruti hawa nafsu kebatilan. Seperti halnya para koruptor, pencuri, maupun tukang prostitusi yang hidupnya kelam karena tergiur hawa nafsu berupa uang dan kekayaan.
“Perkara kedua guru, berkaca dari Firman Allah azza wa jalla:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40 – 41). Aku meyakini bahwa Firman Allah Swt tersebut benar, berkat keterangan ini aku memkasa untuk menolak hawa nafsuku, sampai-sampai nafsuku hanya untuk ta’at kepada Allah ta’la.” Imbuh Imam Hathim.
Tentang poin ketiga Hathim menyadari betapa banyaknya manusia lupa beribadah jika sudah memiliki harta dan jabatan. Sampai-sampai ada yang selalu menjaganya dan takut kehilangan, dari sini Hathim memiliki pandangan, tatkala ia memiliki hal berharga serta bernilai akan dipasrahkan kepada Allah Swt.
“Yang ketiga guru, sesunggunya kulihat para manusia memiliki sesuatu berharga nan bernilai, sehingga banyak dari mereka membanggangkan serta menjaganya, aku teringat Firman Allah Azza Wa Jalla مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاق
“Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.”(QS. An-Nahl: 96). Kemudian aku menyadari, setiap apa yang kumiliki dan itu bernilai serta berharga, maka aku pasrahkan kepada Allah agar tetap terjaga di sisinya.” Kata Imam Hathim
Hathim kemudian melanjutkan poin keempat, ia beranggapan bahwa manusia seringkali mengandalkan harta, keturunan mulia, dan nasab, semisal, banyak dijumpai sekarang penyalahgunaan harta untuk kepentingan pribadi, seperti orang kaya menggunakan uang untuk lepas dari jeratan hukum dengan menyuap hakim, anak dari raja ataupun pemimpin memanfaatkan jabatan orang tuanya demi lolos Akademi Polisi ataupun perguruan tinggi.
“Yang keempat guru, sesungguhnya aku melihat semua manusia ini kembali pada harta, keturunan mulia dan kemuliaan nasab. Aku merenung, ternyata semua itu tidak ada artinya. Teringat firman Allah ta’ala:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. al-Hujurat: 13) Maka aku beramal taqwa berharap aku menjadi orang yang mulia di sisi Allah.” Imbuh Imam Hathim.
Kelanjutan poin kelima, Imam Hathim menjelaskan mengenai peperangan, kerusuhan antar suku, hingga perebutan wilayah antar negara yang sering mengemuka. Semua ini disebabkan adanya sifat dengki dan kecemburuan, mengenai hal ini Imam Hathim sadar dan tidak akan merebut sesuatu yang bukan miliknya, selalu menjaga persahabatan serta menjauhi pemusuhan.
“Untuk Perkara kelima guru, sesungguhnya aku melihat manusia saling mencela dan melaknat satu sama lain. Penyebab semua ini adalah sifat dengki. Kemudian aku melihat firman Allah azza wa jalla:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.”(QS. Az-Zukhruf: 32) Maka aku tinggalkan sifat dengki dan aku menjauh dari manusia. Aku yakin bahwa sesungguhnya pembagian sudah ada dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Maka aku menghindari permusuhan dengan manusia.” Kata Imam Hathim.
Imam Hathim kemudian menambahkan, selayaknya manusia menganggap musuh itu hanya syaithan belaka, selalu waspada terhadap syaithon, karena sesungguhnya syaithon-syaithon itu membimbing kepada perbuatan yang sesat.
“Keenam guru, aku melihat para manusia. Sebagian dari mereka berbuat zalim pada sebagian yang lain. Dan sebagian dari mereka saling memerangi. Aku teringat pada firman Allah ta’ala:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu).”(QS. Fathir: 6) Maka aku hanya memusuhi setan saja. lantas aku berusaha sekuat tenaga waspada dan berhati-hati padanya.” Tambah Imam Hathim.
Untuk poin ketujuh, Imam Hathim menjelaskan, bahwa tidak baik mencuri suatu rizki yang bukan miliknya, apalagi sampai berani mempertaruhkan diri untuk mendapatkan hal itu. Seringkali dijumpai seseorang menggunakan ilmu dukun untuk memperkaya diri dengan cara ekstrem, mempertaruhkan salah satu anggota keluarganya untuk dijadikan tumbal, ataupun para pembalak liar, mengambil sumber daya alam tidak kenal batas, akhirnya ketahuan aparat dan diadili di pengadilan.
“Perkara ketujuh guru, aku memandang para manusia saling mencari serpihan roti hingga ada yang menghinakan diri sendiri untuk mendapatkannya. Dan mereka terjerumus ke dalam sesuatu yang tidak halal. Aku kemudian mengingat firman Allah ta’ala:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا “Dan tidak ada suatu binatang melata (makhluk hidup) pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.”(QS. Huud: 6) Dari sini aku paham sesungguhnya aku merupakan salah satu dari dawwab (makhluk hidup) ini yang ditanggung rezekinya oleh Allah. Maka aku fokus dengan apa yang menjadi hak Allah ta’ala atas diriku, meninggalkan apa yang menjadi hakku di sisi-Nya.” Tambah Imam Hathim.
Untuk hal terakhir, Imam Hathim meningatkan tentang mengutamakan ibadah, jangan sampai sibuk dengan pekerjaan, bisnis apalagi sibuk dalam fashion dan kecantikan, karena sejatinya Allah Swt akan mencukupkan rizki bagi hamba-hambanya yang bertawakkal serta selalu bersyukur.
“Yang terakhir guru, aku melihat para manusia berpasrah diri dan bertawakkal kepada makhluk. Sebagian tawakkal pada kebunnya, sebagaian lagi tawakkal pada dagangannya, sebagian lain tawakkal pada pekerjaannya, dan sebagian lain lagi mengandalkan kesehatan badannya. Semua makhluk tawakkal pada makhluk yang lain yang sama lemahnya dengannya. teringat firman Allah ta’ala:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3) Maka aku berserah diri kepada Allah azza wa jalla.” Pungkas Imam Hathim.
Mendengar jawaban sang murid, Syeikh Syaqiq takjub, menurutnya, ilmu delapan yang dikuasai tersebut sama halnya dengan ilmu-ilmu yang terdapat dalam 4 kitab suci, Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur’anul karim
“Wahai Hatim, semoga Allah ta’ala memberi taufiq padamu. Sesungguhnya aku telah melihat ilmu-ilmu di dalam kitab Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur’an al-Adhim. Aku menemukan semua jenis kebaikan dan ajaran agama. Semuanya berkutat pada delapan permasalahan ini. Sehingga, orang yang mengamalkannya, maka sesungguhnya ia telah mengamalkan keempat Kitabullah.” Kata Syeikh Syaqiq.
Perkara-perkara yang dipahami Hathim selama 30 tahun memberikan pelajaran bagi manusia dalam menjalani kehidupan di dunia agar tidak salah jalan, memahami begitu banyak nya nikmat yang diberikan Sang pencipta serta selalu bersikap baik agar tumbuh kemaslahatan dan perdamaian, bukan peperangan maupun percekcokan. Semoga apa yang telah didawuhkan Imam Hathim Al-Ashom dapat memberikan ibrah bagi kita semua.
Wallahu A’lam.