web analytics

Kisah Keberanian Santri Lirboyo Ziarah Walisongo Jalan Kaki

Kisah Keberanian Santri Lirboyo Ziarah Walisongo Jalan Kaki
2 0
Read Time:7 Minute, 49 Second

Wisata religi ziarah walisongo bukanlah hal asing lagi bagi para pembaca terutama pada kalangan santri pribumi. Ziarah sembilan wali tanah Jawa ini biasanya menjadi agenda wajib setiap pondok pesantren. Kali ini penulis akan menyajikan kisah inspiratif dan menarik perihal rihlah ziarah Walisongo yang ditempuh tanpa sarana transportasi alias jalan kaki.

Kisah Perjalanan ziarah yang dilakukan oleh Kang Maulana bersama seorang temannya sesama santri Lirboyo, Kediri. Kang Maulana ziarah wali songo yang membentang dari Surabaya diufuk timur hingga Cirebon diujung barat dilalui hanya dengan jalan kaki.

Santri asal Brebes kelahiran 28 Agustus 1997 ini  melakoni ziarah selama dua puluh enam hari, mulai dari tanggal 30 Rojab sampai 25 Sya’ban pada tahun 2017 Masehi.

Lalu, bagaimana kisah perjalanan religi ziarah sembilan wali tanah Jawa Maulana dan seorang temannya? Kelengkapan kisahnya terangkum dalam interview spesial dibawah ini:

Mengapa lebih memilih berjalan kaki padahal ada alat transportasi?

Alasan saya memilih berjalan kaki itu bermula dari saya membaca Buku Sejarah Walisongo. Karena dari dulu sampai sekarang saya suka baca sejarah Walisongo. Dalam buku tersebut dapat dipetik kisah bahwa mayoritas wali ketika ingin berdakwah ziarah terlebih dahulu kepada orang yang diamanahi oleh nabi.

Dalam buku yang saya baca para wali lebih senang berjalan kaki karena yang pertama dalam segi dakwahnya dan yang ke dua karena manfaat dari berjalan kaki itu sendiri.

Seperti dalam buku yang saya baca, perjalanan ziarah saya diambil dari kisah manfaat berjalan kaki sebagaimana para wali terdahulu. Kemudian setelah saya telusuri dari cetakan-cetakan buku atau beberapa narasumber, manfaat berjalan kaki menjadikan kita menyatu dengan yang Maha Kuasa dan lebih mengenal alam.

Dan dengan berjalan kaki tentunya lebih efisien atau maksimal karena lebih menyatu kepada yang Maha Kuasa. Disinilah alasan saya menempuh perjalanan ziarah dengan berjalan kaki meskipun ada alat transportasi. Karena saya mengambil hikmah dari para wali yang memilih berjalan kaki meski telah memiliki ilmu lipat bumi (ilmu mempersingkat perjalan).

Selain referensi buku, saya juga sharing pengalaman bersama empat senior saya dalam rihlah ziarah tanpa alat transportasi ini. Ziarah Walisongo dengan berjalan kaki bukan termasuk tirakat atau riyadoh. Melainkan memang harus ada dan juga dilestarikan. Jangan sampai kita menghilangkan perjuangan orang-orang terdahulu. Meskipun pada zaman ini kita bisa menempuhnya dengan kendaraan.

Selanjutnya informasi-informasi yang saya dapatkan meliputi, yang pertama, dengan adanya ziarah kita bisa mengenal alam. Dan selama berjalan kaki kita bisa membawa alat yang dapat menuntun kita. Contohnya tongkat, karena tongkat menunjukkan kesatuan kita kepada Allah. Kalau kita artikan tongkat itu alif atau satu. Alif sendiri merupakan huruf hijaiyah yang pertama yang mana menunjukkan makna berteguh kepada Tuhan yang Maha Esa.

Begitu pula makna dari satu menunjukkan artian bahwa kita berteguh kepada Tuhan yang Maha Esa.
Serta kita harus senantiasa membawa tongkat meskipun sedang beristirahat, dan saya dianjurkan untuk memeluknya ketika tidur.

Yang kedua, untuk pemula atau musafir pertama kalau bisa memakai seragam hitam. Karena baju hitam adalah adat musafir agar dikenali oleh musafir-musafir yang lain.

Selain itu, sebelum saya berangkat ziarah, saya sowan ke ndalemnya Yai Zam, Cak An, dan Yai Kafa. Waktu di ndalemnya Yai Zam saya bertemu dengan Cak Mat dan beliau ngendikan kalo Yai Zam masih istirahat pagi itu. Akhirnya saya hanya meminta izin dan restu perjalanan ziarah saya kepada Cak Mat.
Sorenya saya ke ndalemnya Yai Kafa, ternyata saya bertemu dengan Cak Mat lagi dan saya pun meminta do’a kepada beliau. Setelah sowan ke ndalemnya Yai Zam dan Yai Kafa saya sowan ke ndalemnya Cak An. Beliau memberikan saya beberapa pesan, diantaranya yang pertama Cak An berpesan kalau kita sedang dalam perjalanan itu sebaiknya membaca sholawat. Faedahnya ketika kita berjalan menyibukkan diri untuk berdzikir dan sholawat itu dapat menghilangkan rasa lelah.Berbeda dengan mengobrol yang berujung dengan ghibah.

Pesan yang kedua, ketika berjalan itu jaraknya jangan dekat-dekat minimal 50-100 meter. Faedahnya agar kita selama perjalanan tidak mengobrol.

Pesan yang yang ketiga, jika sedang berjalan jangan menoleh kebelakang. Karena jika kita menoleh kebelakang kemudian kembali kedepan kita pasti akan merasa perjalanan sudah terasa amat jauh, bagaimana jika nanti sampai di Cirebon.

Pesan yang keempat, apabila sudah tiba di maqom setidaknya kita beristirahat dahulu sebelum berziarah. Alasannya, jika setelah menempuh perjalanan jauh kita langsung berziarah kita akan terasa lelah dan dzikir kita tat kala berziarah akan terasa terpaksa karena lelah.

Pesan kelima atau yang terakhir, sebelum tawasul kita harus istighfar, sholawat, dan tahmid terlebih dahulu sampai hati kita merasakan ketenangan.

Kapan Anda mulai melaksanakan rihlah ziarah anti mainstream ini?

Dimulai dari tanggal 30 Rojab sampai 25 Sya’ban, jika dihitung kurang lebih dua puluh enam hari. Ceritanya dulu Lirboyo itu liburannya lama. Maka dari itu saya gunakan kesempatan untuk ziarah. Saya berangkat pada bulan Rojab dan sampai rumah puasa romadhon kurang lima hari.

Dengan siapa anda melakukan rihlah ziarah ini?

Dengan seorang teman saya yang tidak bisa saya sebutkan identitasnya.

Ketika berjalan kaki, media apa yang anda gunakan sebagai petunjuk arah?

Untuk medianya karena waktu dulu saya belum megang hp android, jadinya saya ngeprint peta Jawa yang sudah saya zoom dari google maps di warnet.

Dimana saja Anda berziarah? Apakah murni hanya ziarah Walisongo?

Bukan hanya Walisongo, di daerah Kediri saya juga menziarahi para Masyayikh Lirboyo, Kiai Mundzir, Habib Abu Bakar, Kiai Sholeh Banjar Melati, Syekh Mursyad.

Setelah ziarah di makam Syekh Mursyad saya mampir istirahat di Ngampel tepatnya di Al-Mahrusiyah tiga sekalian berziarah di maqom Abah Yai Imam Yahya Mahrus. Kejadian yang paling berkesan waktu itu ketika saya sedang tidur, tiba-tiba saya dibangunkan kang-kang dengan rotan untuk istighosah. Mereka mengira kalo saya dan teman saya itu santri Al-Mahrusiyah. Kemudian saya lanjutkan lagi di maqom Syekh Ihsan Jampes.

Selanjutnya rute pertama dimulai dari Surabaya yakni Sunan Ampel (Raden Ahmad), dilanjutkan ke Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim), dilanjut lagi ke Syekh Maulana Ishak, Sunan Giri (Raden Paku atau Ainul Yaqin), Sunan Drajat (Raden Qasim), Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim), Sunan Muria (Raden Umar Said), Sunan Kudus (Ja’far Shodiq), Raden Fatah, Demak, Sunan Kalijaga (Raden Syahid), dan terakhir di Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).

Dalam rute perjalanannya biar nggak ngerasa capek, saya dan teman saya juga menyempatkan mampir di ndalemnya Abah Maimoen Zubair dan Habib Luthfi bin Yahya. Alhamdulillah saya bisa sowan dan kepanggih (ketemu) beliau semua meskipun harus menunggu waktu yang lama. Di sana saya juga mendapat banyak nasihat.

Bagaimana lika-liku yang dialami selama menempuh medan perjalanan?

Lika-liku perjalanan mestilah banyak, apa lagi dengan jalan kaki. Pertama, waktu masih dua hari di Kediri kaki saya bengkak. Dan dengan bekal uang seadanya saya belikan dua salep untuk kaki saya, karena kaki saya bengkak salepnya sekali pakai langsung habis begitupun uang saku saya juga ludes tak tersisa.

Setelah kaki saya bengkak giliran tenggorokan saya yang sakit. Husnudzon saya, mungkin ini teguran dari Allah karena saya seorang perokok ulung yang selama perjalanan biasanya ngambilin tegesan rokok (bekas rokok yang sudah dibuang) di pinggir-pinggir jalan.

Namun, meskipun uang saya sudah habis alhamdulillahnya kebutuhan makan bisa tercukupi. Karena selama perjalanan kadang-kadang ada yang ngasih makan atau uang. Dan itu saya anggap sebagai rezeki dari Allah.
Selain ujian fisik, saya juga sering ditampakkan mahluk halus semacam Mbak Kunti dan kawan-kawan. Serta kepala saya juga pernah ke tendang sama orang, kejadian itu terjadi saat subuh ketika saya tidur di teras masjid.

Dan perjalanan yang paling berat bagi saya itu ketika di daerah Mojokerto. Karena musholla dan masjidnya tidak boleh digunakan untuk menginap dan pada pukul 10 atau 11 malam masjid dan musholla wajib ditutup. Jadi, semisal saya tidak menemukan tempat tidur saya akan terus melanjutkan perjalanan.
Selama di Mojokerto saya terus berjalan sampai saya dapat mushola di daerah Sidoharjo. Itu pun musholanya tidak terawat.

Kemudian hal yang paling mengesankan bagi saya selama perjalanan ziarah kala itu, yakni di perjalanan menuju Sidoarjo. Karena saya melalui hutan yang penuh pohon jati dan kebetulan ada rumah bekas kebakaran. Disitulah saya bertemu nenek-nenek yang ternyata sudah kenal sama saya. Nenek tersebut raganya manusia namun sukmanya adalah Nyi Roro Kidul. Hal ini saya ketahui langsung dari penuturan si nenek kepada saya.

Di rumah itu saya di kasih makan dan minum. Namun anehnya yang tahu keberadaan si nenek hanya saya sedangkan teman saya itu seperti orang linglung. Dalam rumah si nenek pula saya diperlihatkan barang- barang antik seperti berlian bentuk kura-kura sejodo (ada sepasang kura-kura) apa bila dipisahkan akan berjalan dan kembali menyatu. Kejadian itu saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Kemudian ada juga telur emas yang ada naga di tengahnya, gelang bentuk naga, dan batu delima (batu yang bisa dicari dengan bertapa).

Keanehan yang terjadi setelah saya memegang batunya, batu delima tersebut langsung menghilang. Namun, kerena saya tidak terlalu yakin dengan barang-barang seperti itu saya biasa-biasa saja.

Selama saya di rumah nenek tersebut banyak keanehan-keanehan yang ada diluar nalar. Disitu posisinya saya takut sekali, apalagi pas neneknya nangis seperti tangisannya mba Kunti. Kemudian sebelum saya pamit undur diri, nenek tersebut memberi saya sepotong jilbab sebagai pemberian fisik atau kenang-kenangan. Dan jilbab tersebut saya gunakan sebagai penutup kepala di bawah panas terik matahari.

Kesan dan pesan Anda setelah menempuh ziarah sembilan wali dengan berjalan kaki?

Kesan saya ziarah Walisongo kala itu antara menakutkan dan menyenangkan.
Menakutkan karena ketika sudah lima hari berjalan kaki posisi masih di Kediri. Ada santri Lirboyo yang dipukuli begal. Kesan menyenangkannya ketika diperjalanan meskipun saya sudah tidak memiliki uang saya masih bisa mencukupi kebutuhan pangan meskipun dari pemberian. Dan juga tatkala sampai pada maqom yang dituju saya sangat bersyukur alhamdulillah.
Pesan saya jangan pernah meremehkan hal sekecil apapun yang sudah diberikan oleh Allah.

About Post Author

Annisa Fitri Ulhusna

Santri Al- Mahrusiyah Lirboyo, Kediri. Santri ngabdi kiai dan seorang gadis penggemar literasi
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
100 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like