Kisah Santri Lirboyo Tuna Netra, Hafal Al-Quran
Untuk membaca Al-Quran perlu menguasai ilmu tajwid yang tinggi, dalam memperoleh pemahamannya saja harus belajar dengan sungguh-sungguh. Memandang bahasa yang digunakan dalam Al-Quran adalah Bahasa Arab, maka perlu memahaminya dalam-dalam. Lebih-lebih ketika membunyikan suara, posisi mulut, tenggorakan, lidah, nafas, hingga melibatkan dada sekaligus. Sebab itu, perlu diperhatikan betul dalam melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran.
Bila membacanya saja sudah terlihat susah, apalagi kalau untuk dihafalkan. Namun ini ada Santri Lirboyo yang tak bisa melihat (Tuna Netra) tetapi sudah menghafal isi utuh Al-Quran. Selain mampu melewati tantangan dalam menyempurnakan makhrojnya, Kang Sulaiman juga mampu menghafalkan Al-Quran. Bukan itu saja, beliau sangat syahdu dan fasih dalam melafalkan ayat-ayat suci ini, terdapat jiwa-jiwa qori didalamnya. Di luar ilmu Qur’annya, ia juga handal dalam kitab-kitab salafus sholihin. Tanah subur akan ilmu nahwu shorofnya membuat ia berwawasan lebih.
Santri berasalkan Brebes ini sudah mengkhatamkan qur’annya selama 4 tahun di Pondok Pesantren Murotilil Quran Kodran Lirboyo, Kediri. Kang Sulaiman mengalami gangguan penglihatan sudah sedari ia kecil. Matanya tidak bisa melihat dengan normal, tidak seperti kawan lainnya.
Karena kondisinya ini ia tidak bisa melungguhkan dirinya di kursi sekolah formal. Walau demikian, ia mempunyai daya ingat yang berbeda dengan insan umumnya. Ingatannya amat kuat, dibuktikan selain hafal quran, ia juga hafal nadzom-nadzom penting pembangun wawasan kitab.
Setelah di wisuda semangatnya dalam belajar terus meningkat. Di rumah ia masih sering mengistiqomahkan ta’limm muta’limya. Seperti halnya di bulan Ramadhan kemarin, beliau istiqomah mengikuti pengajian bersama KH. Subhan Makmun; pengasuh PP. Assalafiyah Brebes, yang juga sebagai Mutasyar PBNU. Kitab yang dikajinya ialah Kifayatul Al-atqiyah dan Ihya Ulumuddin.
Lantas selama mengikuti pengajian, ia selalu menaruh harap pada temannya untuk sampai dan bisa duduk manis nan nyaman. Sebab, rumahnya yang tidak dekat dengan PP. Assalafiyah maka ia harus numpang dengan temannya menggunakan sepeda motor. Begitu sampai di parkiran, turunlah dari sepeda. Ia selalu memegang pundak temannya hingga sampai di kediaman pengaosan.
Walau dengan segala kekurangannya, ia tidak pernah mengeluh, justru syukur senantiasa terus mengalir dalam sanubarinya. Ia tidak malu dengan kondisinya bahkan di rumahnya; Desa Pakijangan, ia sempat tabarrukan pada Kiai Sepuh Lirboyo dengan tetap mempertahankan budaya “Ngadep Dampar”, beliau dengan senang hati mengajari bocah-bocah di desanya.
Wallahu’alam bissowaab..
Oleh: Iwan Nur