Mencari ilmu adalah kewajiban bagi segenap muslim. Tua muda, lelaki wanita, miskin kaya. Dengan cara apapun dan bagaimana pun kita harus belajar pada siapapun dan di mana pun. Uthlubul ilma walau bissin. Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri cina. Ya, walau harus pada tempat yang jauh, mencari ilmu adalah wajib.
Kenapa mencari ilmu itu wajib? Selain karena perintah Nabi, ilmu adalah kunci kebahagiaan, keberuntungan, dan keselamatan dunia akhirat. Orang jika sudah punya ilmu akan mudah hidupnya. Tak perlu takut ditarik setoran, tak takut datang ujian, tak perlu takut kemiskinan dan kemelaratan. Pasti ada saja jalan kemudahan bagi orang berilmu. Innallaaha takaffala li thalibil ilmi birizqihi. Sesungguhnya Allah menjamin penuntut ilmu akan rezekinya.
ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻷَﺧِﺮَﺓَ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَﻫُﻤَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ
Sebagai pencari ilmu tentu harus bersungguh-sungguh. Kita harus punya goal yang harus dituju. Punya jadwal yang mengatur segala kegiatan sehari-hari. Kapan harus belajar, kapan harus main, dan kapan harus istirahat. Diatur dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Hasil tergantung usaha. ‘semono rekosomu, yo semono hasilmu’. Do’a juga jangan sampai lupa. Selain karena perintah, ud’uni astajib lakum. Berdoalah padaku, maka akan kuijabahi doamu. Doa adalah bentuk penghambaan kita. Setelah itu, tinggal tawakal. Terserah Allah.
Tetapi, ada yang perlu diperhatikan oleh seorang pencari ilmu. Sebagaimana yang diungkapkan Imam Syafi’i;
شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي
“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau memberitahuku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (I’anatuth Tholibin, 2: 190).”
Ilmu adalah hal yang mulia, cahaya, bersih. Tak patut rasanya diberikan pada tempat hina, gelap, dan kotor. Dianologikan seperti, tidak akan makanan diberi pada tempat makan yang kotor. Tempatnya ilmu adalah hati. Al-ilmu fi shudur la fi shutur. Ilmu itu di hati bukan di tulisan.
Saya sempat menemukan sebuah redaksi hadits dalam kitab Al-Baiquniyah yang dipikir-pikir mengandung konsep pencari ilmu sejati. Hadits tersebut berbunyi;
لاينال العلم مستحي ولا متكبر
“Tidak akan mendapat ilmu orang pemalu dan orang sombong.”
Pertama, orang pemalu. Hal ini biasanya dialami oleh mubtadi’ atau para pencari ilmu tingkat awal. Junior. Malu bertanya atas keawaman mereka. Padahal, selain buku, bertanya adalah jembatan menuju kepahaman seseorang. Pada suatu kelas, seorang murid yang belum paham terhadap penjelasan Sang Guru. Tetapi, ia malu pada teman-temannya atas ketidakpahaman itu. Akhirnya, ia urungkan niat bertanya-nya itu dan kepahaman gagal ia raih. Begitu saja ia tanpa perkembangan. Sungguh rugi.
Kedua, orang sombong. Tentu sombong adalah hal yang tak boleh dilakukan, baik pencari ilmu atau siapapun.
اِنَّمَا يَفۡتَرِى الۡـكَذِبَ الَّذِيۡنَ لَا يُؤۡمِنُوۡنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِۚ وَاُولٰۤٮِٕكَ هُمُ الۡكٰذِبُوۡنَ
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah pembohong.”
Hal ini juga biasanya berlaku bagi muakhir’ atau pencari ilmu tingkat akhir. Senior. Tentu tak ada kata limit dari ilmu. Tak terbatas. Bahkan, ada yang mengatakan, “semakin kita belajar semakin kita merasa bodoh.” Karena luasnya ilmu. Oleh karena itu, kita harus belajar pada siapa pun. Masalahnya, orang yang sudah merasa pintar, ia sombong, tak mau belajar pada bawahannya. Pada adik kelasnya. Padahal ia tau, adik kelasnya lebih kompeten. “gengsi, dong. Masa tingkat alfiyah harus nanya sama tingkat jurumiah. Nggak level!” Haha. Ada-ada saja. Padahal, unzhur ma qala wala tanzhur man qala. Oleh karena itu, merasa pintar adalah bagian dari bodoh itu sendiri. Wallahu a’lam.
***