web analytics

Kultur Tak Boleh Luntur: Dari Ujung Barat Ke Timur

Kultur Tak Boleh Luntur: Dari Ujung Barat Ke Timur
0 0
Read Time:5 Minute, 0 Second

Banyak hal menarik yang dapat kita bicarakan mengenai santri. Kaum yang identik dengan sarungan ini selalu menyimpan sesuatu keunikan di setiap sudut kehidupannya dalam perjalanan mencari ilmu. Seperti yang kita ketahui bersama, santri di setiap daerah yang berbeda memiliki kebiasaan yang berbeda. Cerita yang berbeda. Keunikan yang berbeda pula.

Kini saya akan mengambil dan membahas contoh keunikan perbedaan para santri itu dari daerah Pulau Jawa, tepatnya antara Jawa Barat dan Jawa Timur. Ada perbedaan yang unik di kedua daerah tersebut. Dan kebetulan sekali saya pernah menjadi santri di kedua daerah itu. Pengalaman pribadi. Nanti akan kita bahas bersama.

Dalam ruang lingkup pondok pesantren yang bertujuan untuk tercapainya kegiatan belajar mengajar yang efektif, selain membutuhkan kitab sebagai penunjang pelajaran dan santri sebagai penerima pelajaran itu, sangat perlu kiranya akan sosok kiai sebagai penyampai ilmu tersebut. Sosok Kiai adalah komponen paling penting dari pondok pesantren. Selain menjembatani bagi santri untuk sampai pada pemahaman ilmu agama yang baik dan benar dalam urusan yang bersifat akal, Kiai juga menjembatani dengan kalam hikmahnya yang berguna dalam membangun diri seorang santri: barokah dan batiniyah.

Sosok kiai tidak hanya sebagai telaga ilmu bagi kami, santri yang haus akan hal itu. Kami juga yakin dan percaya bahwa sosok kiai juga memiliki samudra barokah yang tidak bertepi. Maka tak heran jika banyak santri yang rela mengabdikan dirinya untuk kiai. Membantu setiap rongga-rongga kehidupan sang kiai. Mereka semua melakukan hal itu tidak lain dan tidak bukan demi mengharap ridho dan barokah dari Sang Pencerah.

Sudah menjadi keharusan bagi setiap santri untuk menggugu dan meniru setiap hal dari sosok Kiainya. Juga yang tak kalah pentingnya adalah hormat atau ta’zhim. Wajib hukumnya bagi santri untuk menghormati guru, terutama kiai. Bahkan untuk tercapainya ilmu yang manfaat dan barokah, Syekh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’alim-nya menulis di bab keempat  yang diberi judul fi ta’zhimil ilmi wa ahlihi yang membahas tentang penghormatan santri terhadap ilmu dan ahli ilmu (guru). Mengutip sedikit isi dari bab tersebut:

اعلم باءن طا لب العلم لا ينا ل العلم ولاينتفع به الابتعظيم العلم واهله وتعظيم الاءستاذوتوقيره

“Ketahuilah, pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan kemanfaatannya, kecuali dengan menghormati ilmu dan ahli ilmu, juga dengan menghormati guru dan mengagungkannya.”

Maka dari itu, cobalah pelajari!

Hal itu yang akan saya bahas pada kali ini. Ternyata bentuk penghormatan seorang santri pada Kiainya juga memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Termasuk ketika saya pernah mondok di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Ketika di Jawa Barat, tepatnya di Pondok Pesantren Nihayatul Amal, Karawang, Jawa Barat yang didirikan oleh KH. Ahmad Bushaeri bin H. Musa. Saya mendalami ilmu agama di sana selama tiga tahun. Pondok ini memiliki puluhan cabang dengan jumlah santri yang membludak yang dipimpin oleh KH. Abdul Basith Bushaeri dan saat beliau wafat diteruskan oleh adiknya, KH. Bubun Bunyamin Bushaeri.

Bentuk penghormatan di sana adalah dengan bersalaman dan mencium tangan. Ketika seorang santri bertemu dengan orang yang lebih tua, entah itu ustadz atau kiai sekalipun pasti cara menghormati beliau-beliau dengan cara mencium tangannya. Bedanya jika bersalaman pada kiai akan mengundang antusiasme santri yang berlebih dari pada bersalaman dengan ustadz. Bersalaman pada kiai di sana terbilang sulit dan hanya ada 2 kesempatan untuk bisa bersalaman dengan kiai: ketika pulang jum’atan dan selepas sholat shubuh. Saat pulang jum’atan biasanya kiai akan berjalan kaki dari masjid ke rumah beliau, mengingat jaraknya yang tidak terlalu jauh. Maka di setiap langkah kiai menuju rumah beliau selalu dipadati oleh para santri yang ingin mendapatkan barokah lewat bersalaman. Dan waktu shubuh adalah waktu istimewa. Kenapa istimewa? Karena pada waktu shubuh itulah Kyai yang mengimami sholat. Sisanya diimami oleh para ustadz. Dan santri yang berhasil bersalaman pun terbilang istimewa. Karena tak semua santri bisa bersalaman. Banyak santri yang terlena oleh nikmatnya rasa kantuk dzikiran shubuh.

Hampir rata di daerah Jawa Barat seperti itu. Bahkan Pondok Pesantren Baitul Hikmah, Tasikmalaya, Jawa Barat pun seperti itu. Dan yang dimaksud bersalaman pada tulisan ini adalah ya, mencium tangan kiai itu.

Berbeda terbalik ketika saya pindah mondok ke Jawa Timur. Tepatnya di Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah, Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang didirikan oleh KH. Imam Yahya Mahrus, putra dari KH. Mahrus Aly. Pondok ini adalah salah satu unit dari Pondok Pesantren Lirboyo yang memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Nusantara.

Bentuk penghormatan di sana adalah dengan menunduk ta’zhim. Ketika seorang santri bertemu dengan kiai, nyai, gus, ning, atau para ustadz pasti dari kami akan spontan menunduk ta’zhim. Seperti kejadian pertama kalinya saya jum’atan. Ketika selesai, seorang berpeci putih lewat. Seketika itu ribuan santri menepi dan membuka jalan untuk sosok yang sangat berwibawa itu. Tak lupa kami seraya menunduk. Pada awalnya, saya juga bingung, kenapa tidak bersalaman dan harus menunduk? Tapi, penasaran ya tetap penasaran. Saya pikir-pikir, ”kalau ribuan santri ini bersalaman butuh berapa lama untuk selesai. Dan bagaimana kalau beliau ada urusan-urusan lain yang harus diselesaikan?”

Ya, tentu melihat maslahatnya. Jika ribuan santri, apalagi Pondok Pesantren Lirboyo yang mencapai puluhan ribu santri bersalaman pada kiai tentu ditakutkan akan mengganggu waktu dan kenyamanan beliau. Seperti yang dikatakan sebuah kaidah:

يختار اخف الضررين

“Yang harus dipilih adalah mudharat yang lebih ringan.”

Karena jika kita mengambil model bersalaman dalam bentuk penghormatan, maka itu akan berdamapak mudharat bagi Sang Kiai. Maka, dipilihlah cara menunduk ta’zhim yang lebih maslahat.

Penghormatan menunduk ta’zhim sudah menjadi adat di Jawa Timur saat bertemu orang yang sangat mereka hormati. Begitu pun seperti di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur yang menerapkan hal yang serupa.

Mau bagaimana pun cara kita, seorang santri dalam menghormati sosok Kiai kita adalah sebuah keharusan yang harus kita tanamkan betul-betul. Percuma seorang santri berilmu tinggi, tapi ia tak memiliki adab. Karena dengan adab itulah yang menjadikan kita dapat meraih ridho dan barokah Kiai. Bukan hanya ilmu yang di harap, bukankah begitu? Dan dengan adanya semua perbedaan itu jangan dijadikan sebuah perpecahan di antara kita. Sabda Nabi,” Perbedaan di antara umatku adalah rahmat.” Begitu pun bunyi asas negara kita yang tetap “Bhineka tunggal ika.”

Kita Santri, Kita Indonesia, Dan tak ada dalil untuk perpecahan.

 

***

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like