KURIKULUM SEKOLAH DAN PESANTREN MENUJU FORMAT BARU YANG LEBIH BAIK
Lembaga pendidikan ideal untuk Indonesia yang diusung menuju format baru ialah dengan memelihara sistem pendidikan nasional Indonesia dan memadukan antara sekolah dan pesantren. Pilihan kedua institusi tersebut dilakukan karena memiliki perbedaan mendasar yang saling bertentangan; sekolah memiliki keunggulan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi namun gagal dalam pengembangan akhlak. Sedangkan pesantren sebaliknya, dikenal memiliki pengalaman dan keberhasilan dalam pembinaan moral dan akhlak santrinya, tetapi belum mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuai kenyataan yang ada, pada sistem sekolah banyak peserta didik paham tentang nilai-ilai keagamaan tetapi kesulitan untuk mengamalkan kesehariannya. Banyak peserta didik yang paham pelajaran fisika, matematika, biologi dan lainnya tapi mereka belum bisa menghayati untuk apa ilmu-ilmu itu dikehidupan nyata.
Pesantren saat ini merupakan lembaga pendidikan yang dipandang berhasil melahirkan santri-santri yang menguasai ilmu agama serta menghayati dan mengamaalkan ajarannya dengan ikhlas, memiliki akhlak yang luhur, berjiwa besar, hidup sederhana dan lain sebagainya. Karena semuanya itu memang menjadi fokus dari tujuan pendidikan pesantren itu sendiri.
Namun disisi lain, pesantren juga mempunyai kelemahan dan tergambarkan dalam dialog antara Iqbal dan guru spiritualnya, Rumi:
Pikiran-pikiranku yang menerawang tinggi telah mencapai langit
Tapi di bumi aku terhina, kecewa dan sekarat
Aku tak mampu menangani persoalan-persoalan dunia ini
Dan aku senantiasa menghadapi batu-batu penarung di alam ini
Mengapa urusan-urusan dunia terlepas dari kontrolku
Mengapa si “alim dalam agama ternyata awam dalam persoalan dunia?
Rumi tanpa pikir panjang menjawab:
Seseorang yang mengaku dapat berjalan di langit
Mengapa harus sukar baginya melangkah di bumi
Dari dialog diatas sudah jelas bahwa santri yang dilahirkan pesantren adalah santri yang ‘alim dalam soal agama, tapi kolot apabila dihadapkan dengan persoalan dunia tidak terbukti dan tidak bisa dishohihkan.
Saat ini sudah saatnya kita harus lebih berani mengangkat dan memadukan antara keduanya. Jika memang salah satu tujuan dari pendidikan ialah menjadikan peserta didik sebagai ‘Abdullah dan khalifah Allah yang mampu mengembangkan segenap potensi kehidupannya yang memperoleh keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, maka memadukan sistem pendidikan sekolah dan sistem pendidikan pesantren dalam satu lembaga pendidikan merupakan salah satu solusi dari permasalahan yang dihadapi.
Banyak orang berfikir bahwa dengan memadukan pelajaran umum dan agama secara seimbang dan proporsional akan menambah beban bagi peserta didik, maka yang harus kita lakukan ialah meminimalisir dan menyelaraskan antara keduanya dan dilakukan pembaharuan desain kurikulum pendidikan yang sedinamis mungkin.
Kurikulum pendidikan yang ada haruslah bisa merangkul semua aspek pendidikan, tidak hanya umum ataupun agama saja tetapi perpaduan antara keduanya secara proporsional sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat peserta didik serta mampu mencerminkan pesan moral nilai religius. Untuk itu, masing-masing mata pelajaran harus dikaitkan antara satu dengan lainnya dengan harapan muatan kurikulum seperti ini dapat mempersiapkan peserta didik untuk bisa hidup secara dinamis baik bagi kehidupan dunia mapun bagi kehidupan akhirat.
Selain itu, kurikulum sekolah-pesantren harus relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Karena setiap saat ilmu pengetahuan terus berkembang baik menghasilkan suatu teori/ hukum baru maupun menggugurkan teori/hukum yang ada.
Kaidah fiqihnya :
“Muhafazhah ‘ala al qadim al shalih wa al akhzhu bi al jadid al ashlah”
“Memelihara nilai-nilai klasik yang baik dan terus menggali nilai-nilai baru yang lebih kontruktif”
Dengan demikian, kurikulum sekolah-pesantren akan senantiasa relevan dengan kehidupan peserta didik, bagaimanapun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pasti membawa pengaruh terhadap sikap dan minat, kebiasaan dan pola hidup dalam masyarakat.
Kemudian, cangkupan materi kurikulum hendaklah selaras dengan tingkat perkembangan fitrah peserta didik, baik fisik, psikis, sosial, budaya, maupun intelektual. Kurikulum yang ada hendaknya dibedakan untuk anak-anak diatas rata-rata, dan dibawah rata-rata, baik karena faktor bawaan atau karena ketersediaan sumber daya pendukung. Pemberlakuan kurikulum yang berbeda tentu juga menyebabkan perbedaan cara mengukur tingkat pencapaaian tujuan pembelajaran untuk setiap kelompok peserta didik tersebut.
Memang sudah saatnya untuk kita memadukan keduanya. Menjadi manusia yang modernis tanpa mempunyai sifat agamis tidaklah cukup, terlihat pada kenyataan sekarang banyak “wong pinter tapi keblinger” yang mana ini merupakan salah satu sifat yang tidak bisa dibenarkan. Maka melangkah sedikit dengan mengubah kurikulum mungkin dapat membuka sedikit pintu permasalahan yang ada, sehingga harapan menjadi manusia yang berkepribadian Islam dan mampu menyaingi perkembangan zaman serta dapat mengamalkan sesuai kaidah yang ada bisa terwujud. [A.Mr]
Oleh : Annisa Miftahurrohmah