Matahari perlahan merangkak tertatih, di detak detik yang kesekian. Ruang angkasa menjadi penuh semu dengan pipinya kemerahan menahan malu. Riak dedaunan bertalu, tau yang menguning, memilih untuk menggugur perlahan. Tak sanggup menahan luap. Harum. Ranum. Cium.
Semua menyeruak terkuak kepul tipis tebal berkumpul. Beragam, bermacam. Aromanya dan menari. Kebisuan dan membatu. Dari hitam ke putih, dingin ke panas. Angkasa hangat lagi segar: terbahak. Puas.
Kenyataan memaksa apapun yang terikat dalam ruang dan waktu, untuk tunduk dan selamat. Berpasangan, saling mengisi.
“Mulai sekarang kita berteman!” Ucapnya kala di setengah baya.
Jam mengernyit pasrah.
Dalam sekejap randu senyum begitu mudahnya menggantung, tertuang tumpah di sebaris warna putih abu. Cepat dan sigapnya untuk mekar sedini ini.
“Apa yang kau tau untuk huruf yang dihitung bersama rumus?” Ucap lelaki itu tanpa ragu.
“Apa yang bisa kau harap?” Sengguk tawa kemudian.
“Entahlah, aku mencoba untuk tak berapi. Untuk kertas, apalagi pada guru dengan berbilah pedang yang siap menghunus.”
“Ah, kau payah! Ujian dan menang, pendekar tak seharusnya lemah!” Ucapnya dua kali menekan.
“Siapa yang tak ingin?”
Perempuan itu tertawa manis.
***
“Kau tau? Hangat pisang goreng bisa mengalahkan jam upacara? Kau percaya?” Ia begitu terobsesi pada rasa yang mendorong, terjun jauh di jurang penasaran. Begitu dalam.
“Sama sekali.”
Putih itu bersemai. Sangat berarti. Mengalahkan hal merah apapun di hari itu. Gincu-gincu pun sama sekali tak berpengaruh. Bungkam. Hanya mengintip malu-malu. Meski panas bisa berarti lain, keringat ya keringat. Gerah dan membasah. Bagaimana pun matahari tak mau tampak lemah pada siang, apalagi pada penduduk gelap. “Ini masaku!” Mungkin terlalu egois. Tapi apa yang bisa diharap? Matahari tak mengenal perikemanusiaan.
“Aku ingin menjadi sekuntum mawar!” Ucap perempuan itu tanpa ragu.
“Tanpa pesan?” Sengguk tawa kemudian. Halus Rendi.
“Aku bisa cerah, aku bisa mekar!”
“Aku tak suka duri.”
“Setidaknya, larutlah bahagiamu dalam harapku.”
“Siapa bilang aku sedih? Begitunya aku yang temanmu.”
“Haha, iya teman.”
Tak buru-buru, kalimat naratif dan persuasif menarik ulur kata untuk berbahasa Indonesia. Lagi-lagi aku harus menjadi penyair yang lebih tepat kupanggil montir bual. Rumus huruf-huruf lebih kusuka. Bukannya sudah jelas bahwa setiap orang punya payahnya masing-masing, Salma? Jadi berhatilah lidahmu dalam memeluk kata payah di ruang telingaku. Rendi hanya bersorak dengan jingkrak pena-nya.
***
Apa urus soal abu-abu dan kelabu?
Juga soal pertemanan lelaki dan perempuan?
Nyatanya Salma tetap menjadi kupu-kupu untuk tiga warnanya: Rani dan Winda, di kelopak kenanga seperti biasa. Rendi malah memilih untuk daftar lomba futsal bersama timnya, tim yang latihan setiap sore. Hingga akhirnya, tak bisa berakhir. Tak bisa berubah. Atau mungkin juga sulit.
“Aku tetap ingin menjadi sekuntum mawar!” Ucap lagi Salma untuk waktu yang sama, lama.
“Sebegitu yakinnya?”
“Ya, kini bahkan harumku tumbuh dan merebak. Dari segala penjuru arah, di ruang kedap sekalipun.”
Masih saja, sempat-sempatnya waktu memberikan kebisuan untuk dua orang yang telah lama mengecap kita satu sama lain, satu kesatuan. Pertemanan.
“Kau hebat bermain futsal, hingga juara!” Puji bersemu penuh gairah.
“Biasa. Ini permainan tim. Timku memang hebat.”
Salma masih dengan rekah senyumnya, semakin mengembang, kembang. Tak sadar bahwa ia adalah sekuntum mawar.
Jika tak karena teman perempuannya, Rendi tetap memilih menjadi kaku. Sekaku huruf-huruf tegak buku itu: terbuka lebar, lembar-lembar.
Desir waktu melantun pelan melandai. Begitu baik dan sopan. Mengenalkan orang-orang baru untuk hilang orang lama. Cepat sekejap, bisa juga berjalan di tempat. Dingin panas, tawa tangis, hura-hura atau tragis. Meski waktu tak habis diterjang hembus nafas, buku-buku terbatas. Tingkat kelas rupanya tinggi meninggi seirama mimpi pengejarnya. Menggantungkan harapan pada langit yang membumbung. Harus capek meraih. Harus kenal tangis dan sedih.
“Aku akan ke Jogja. Kuliah di sana.” Teman lelakinya tampak siap.
“Hm, yang terbaik.” Sebaris, apapun.
“Kau?”
“Aku mungkin tetap di sini. Kuliah di sini.” Hingga iya kenyataannya. Mereka harus meneguk cawan jarak dengan alir waktu yang banyak. Mungkin akan tersedak rindu. Entah. Kejadian itu begitu cepat. Hanya ada patah kata yang terkoyak, terdengar gigil.
“Aku ingin sesuatu hal yang takan pernah habis, sepulangmu dari Jogja. Untuk temu hangat kita yang menunggu, kemudian. Semoga kau terjaga.”
“Baik, kelopak mawar. Jangan melayu.”
Hingga satu kelopak di bibirnya terlihat merendah, layu.
“Haha.”
Pergi.
***
Dari hari yang berlari minggu, minggu menunggu bulan, bulan tertelan tahun. Sudah berapa banyak terbit fajar, perempuan itu mengejar? Sudah berapa lama terbenam senja, perempuan itu mengeja? Hembus, halus.
Hingga, di musim hujan yang lekas, benih menyalamkan angin di atas tanah yang masih lembab. Mata perempuan itu malah tercium suatu sembab. Hitam kantong mata yang bersarang, terkalahkan cerah wajah akan hangat yang dinanti. Sebagaimana pucuk daun memuja mentari. Benar-benar benarkah?
“Kau terlihat cokelat orang jawa.” Senyumnya.
“Aku berpanas-panas di sana. Kulit dan kepalaku.”
Mereka tertawa.
Terbitnya mentari tak mau terlewat tega. Silaupun lantas tak mau melintas di lengang cakrawala yang senyap tentram. Sebisa mungkin berjasa pada bahagia. Hangatnya pun terasa biasa, tak dianggap.
Ini temu hangat yang menunggu, kemudian.
“Aku bawa, sesuatu hal yang takan pernah habis.” Rendi terlihat gagah, berkemeja bergaris. Seutas kumis tipisnya.
“Kau masih mengingatnya?”
“Sama sekali.”
“Lalu?”
Salma sempat menerka untuk hal yang sama sekali mungkin bisa terbayang. Entah, akankah sebuah suprise dari sesuatu hal yang tak ada apapun yang tergenggamnya? Karena hanya hanya sepotong pakaian yang melekat dan senyum itu. Jangan bilang kau akan berikanku buku rumus huruf-huruf itu? Tak apa, deh, asal jangan buku puisi. Kepala Salma berisik. Seberisik degupnya.
“Kubawakan cinta.”
Di detik itu, tercekat. Hilang kata menabur bayang terbang ke masa belakang, kala mereka masih tak mengenal dingin ataupun menghitung juga menanti jarak waktu itu. Kalanya ingin menjadi sekuntum mawar yang cerah, mekar, hingga akhirnya bisanya harum itu merebak dan berharap tercium terasa harum pada hidung teman lelakinya. Berharap agar lelaki itu mengerti ada harum cinta yang menjelma. Cinta seorang teman perempuan pada teman lelakinya yang mungkin sulit dianggap sebagai suatu yang wajar.
“Rendi, benarnya untuk apa yang kau dengar dan kuucap kala itu.” Lelaki itu tak ubahnya daun bunga kamboja yang sendu. “Tapi, bukan cinta.”
“Bukankah cinta itu abadi? Takan pernah habis? Sejarak panjang pikirku di sana, aku tersiksanya tercabik rindu. Aku ternyata memang jatuh cinta padamu. Kita hanya butuh sejati?”
“Mungkin itu yang kupercaya, puja.”
“Lalu?”
“Nyatanya cinta bisa layu, kering. Cintaku habis.”
…
Musnah.