Mengenal Lalaran, Budaya Pesantren Yang Mengasyikkan
Budaya pesantren memang asyik untuk dibahas, dibalik keunikan dan keragamannya ternyata juga terdapat poin-poin penting untuk kebaikan diri, semisal ro’an, membuat tubuh berkeringat serta membakar kalori dalam tubuh, ada lagi yang namanya mengantri, melatih diri untuk tidak egois, satu kegiatan lagi yang membuat penulis tertarik, namanya adalah lalaran.
Lalaran berasal dari Bahasa Jawa “uro-uro” yang berarti “tetembungan sero” atau perkataan keras. Yang dimaksud adalah pelafadzan bait-bait nadhom dalam literatur kitab kuning, seperti Al-imrithi, Jurumiyah dan Alfiyah secara bersama-sama dengan metode dilagukan. Menyeiraskan antara tempo nada yang digunakan dengan lafadz bait suatu nadhom.
Tujuannya agar tidak lupa dengan bait nadhom yang sudah dihapalkan, karena menjaga lebih susah daripada menghapal, jika suatu pekerjaan sering kita lakukan berulang-ulang maka potensi ingat akan melekat di otak. Karenanya lalaran dibuat semenarik mungkin, seperti di Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo Kota Kediri, para santri membaca rangkaian-rangkaian nadhom secara bersama-sama sebelum kegiatan pembelajaran diniyah dimulai, kemudian memadukannya dengan lagu yang sedang trending, terbukti cara seperti ini memudahkan santri untuk lebih cepat hapal dan tidak gampang lupa terhadap hapalannya.
Syeikh Az-Zarnuji dalam Ta’limul Muta’alim mengatakan
واذا ماحفضت شيأ أعده # ثم أكده غاية التّأكيد
“Ketika kamu telah hafal suatu hal (dari ilmu) maka ulangilah, kemudian kuatkanlah hal itu dengan sekuat-kuatnya.”
Dawuh Syeikh Az-Zarnuji diatas menegaskan bahwa lalaran merupakan sarana pas untuk menjaga hapalan dikala gempuran kegiatan yang sangat padat, lalaran membuat santri enjoy ketika melafadzkan nadhom, tanpa ada tekanan dan beban, karena jika metode belajar selalu serius, dapat menyebabkan pikiran santri stres, , tentu ini berbahaya! Mengutip laman DetikHealth stres dapat menyebabkan “Tension Headache” suatu hal yang menyebabkan orang merasa tegang, kepalanya sakit seperti diikat, tidur pun terganggu, nafsu makan berkurang hingga konsentrasi buyar, kalau hal semacam ini terjadi pada seorang santri dapat mengganggu proses ngaji dan belajar.
Cara mudah paham dan belajar ikhlas
Manakala hapalan karena tuntutan, akan berbeda rasanya dengan hapalan penuh keasyikan, seperti halnya lalaran. Kita akan bisa menghayati dari setiap gubahan syair dari para ulama’, menimbulkan perasaan ikhlas dalam hati,
العمل جسم وروحه الإخلاص
“Amal adalah sebuah jism dan ruhnya adalah ikhlas” Dawuh Syeikh Musthofa Al-Gholaini dalam kitab Idhotun nasyi’in.
Selain itu, jika bait nadhom diulang terus menerus, kemungkinan besar kaidah-kaidah dasar suatu fan ilmu akan berada di luar kepala, hal seperti ini, memudahkan santri untuk memahami pelajaran yang disampaikan pengajar. Al fahmu ba’da hifdzi, hapal dulu baru akan paham.
Begitu juga dari segi kekompakan, Ibarat seorang tentara yang terlihat kompak dikala mengumandangkan yel-yelnya, begitulah lalaran bagi santri, mereka harus menjaga satu suara untuk selalu sama dalam satu frekuensi, jika ada yang membelot, maka akan terlihat berantakan. “ Orang yang hanya mendengarkan suaranya sendiri, apa bedanya dengan orang tuli?” KH. Mustofa Bishri.
Melestarikan tradisi, pahala juga akan terisi
Dalam sebuah kaidah disebutkan“Al-Mukhofadatu Ala qadimissholih wal akhdu bil jadidi asshlah,” menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil suatu baru yang lebih baik, itulah mengapa lalaran perlu dilakukan seorang santri, dengan tujuan menjaga nilai-nilai tradisi pesantren di tengah tempaan arus modernitas yang semakin kontras. Secara teori, menghafal ilmu bagi santri sangat dianjurkan, seperti yang diterangkan dalam muqoddimah kitab Hadist Al-Arbain An-Nawawiyah, karangan Syekh Syarif ad-Din An-Nawawi,
أن رسول الله ص.م قال: “من حفظ على أمتي أربعين حديثا من أمر دينها بعثه الله يوم القيامة في زمرة الفقهاء والعلماء
“Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa dari umatku menghafal 40 hadist yang termasuk persoalan agamanya maka Allah akan membangkitkannya di hari kiamat di dalam golongan para fakih dan ulama”
Walaupun dalam penjelasan muqoddimah itu, Syeikh Syarifuddin An-Nawawi mengatakan hadist tersebut dhoi’f,
وقد اتّفق العلما ء على جواز العمل بالحديث الضّعيف في فضا ئل الأعمل
Akan tetapi sebagai fadhail al-a’mal, mengutamakan nilai amalnya, karena isi dari kitab karangan Syekh Syarif Nawawi tersebut menjelaskan tentang persoalan agama. Jika dibenturkan dengan nadzhaman, maka akan sama dalam segi substansi, sama-sama mendapatkan pahala, karena nadzhaman berisi tentang pengetahuan agama, oleh karena itu, menjaganya dengan melakukan lalaran.
Wallahu A’lam