Lampu dan Lilin
Warna langit kian cerah dan ratu surya mulai terik, rasa panas mulai menggerayangi kulit seseorang yang bertemu langsung dibawahnya. Angin tanpa permisi mengibaskan ujung jilbabnya. Gadis cantik nan elok itu sesegera mungkin meneduhkan diri di bawah pohon rimbun yang daun-daunya menjuntai menyapa siapa saja yang melihatnya. Dibangku panjang tepat dibawah pohon, gadis tersebut mendudukkan dirinya dengan sebuah buku di tangannya. Kini jarinya mulai aktif membuka lembar demi lembar dan sesekali dia tersenyum kecil, tak lupa ia juga membubuhkan coretan-coretan kecil dibuku tersebut. Hingga datangnya seseorang.
“Punten Ning, ditimbali Umi ten ndalem”. Ucap seorang Abdi Ndalem dengan badan sedikit merunduk. Yang dipanggil Ning tersebut pun membalas dengan anggukan kecil kemudian beranjak berdiri hendak menghampiri Uminya. Ya. Dia adalah Ning Hasna. Hasna Abdullah.
Hasna berjalan dengan tenang menuju Ndalem, karena memang jarak antara taman favoritnya dengan Ndalem berjarak sekitar 10 M. Tiba-tiba dahi Hasna berkerut saat melihat pemandangan depan rumahnya tampak beberapa mobil terpakir rapi disana. Tidak ingin pusing dengan itu Hasna kembali berjalan kembali.
Ceklek..
Pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya tengah duduk diruang belakang. Melihat putrinya seulas senyum timbul diwajah sepuhnya.
“Pripun, Mi?”. Tanya Hasna sembari berjalan menuju tempat dimana Uminya duduk.
“Sini Nduk, Umi pengen nanya sama kamu”. Ucapnya dengan suara khas dari seorang Bunyai Maysaroh. Kini ekspresi bingung terpasang diwajah Hasna.
“Sekarangkan kamu kan sudah dewasa, Umi dan Abahmu juga sudah sepuh. Kalau semisal Abah sama Ibu punya rencana masa depan buat kamu gimana, Nduk?”. Penuturan Bunyai Maysaroh tersebut membuat Hasna bingung. Melihat kebingungan putrinya itu Bunyai Maysaroh menarik napasnya dalam.
“Jadi Abah sama Umi pengen jodohin kamu sama anak kenalan Abahmu, Nduk”. Jeda Bunyai Maysaroh. “Umi sama Abah bukannya gimana-gimana. Tapi Abah sama Umi ingin yang terbaik buat putri umi. Orang tua mana yang tega nyemplungin anaknya jika itu bukan perkara baik?”. Umi kembali menjeda penuturannya.
Hasna ingin langsung menolak, namun masih ingin mendengarkan penuturan Uminya.
“Kamu ingat setoran Qur’anmu tadi malam? Surah Az-Zukhruf pas ayat 37. Disitu disebutkan ‘Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapatkan petunjuk’. Maka jangan kamu anggap perjodohan adalah hal yang buruk, masa depanmu akan tetap berjalan apalagi jika disandingkan dengan orang yang tepat”. Jelas Bunyai Maysaroh.
“Tapikan tergesa-gesa itu datangnya dari syaitan, Mi?”. Tanya Hasna yang tetap dengan perasaan ingin menolaknya.
“Tergesa-gesa memang datangnya dari syaitan, namun pengecualian untuk 5 hal, memberikan tamu, merawat mayit, membayar hutang, taubat, dan yang satu lagi adalah menikahkan anak gadisnya”. Balas Bunyai Maysaroh. “Kamu tenang saja, Nduk. Dia orang baik, bertanggung jawab dan tahu agama kok”. Tambahnya.
SKAKMAT.
Hasna sudah tidak memiliki alasan untuk menolak rencana Abah dan Uminya ini. Hasna sudah tau betul, kedua orang tuanya adalah orang yang bertekad dan selektif dalam segala hal. Lebih-lebih Hasna ingin menangis keras ketika mengingat planning masa depan yang sudah ia catat tinggal ia adukan kepada tuhannya, agar terwujud bersama dengan berjalannya waktu ia ingin menempuhnya dengan kembali melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.
“Keluarga dan pemuda yang akan dijodohkan denganmu juga ada disini, Nduk”. Ucap Bunyai Maysaroh. Kini air mata Hasna ingin keluar.
“Yasudah, Mi. Terserah Umi sama Abah saja. Hasna manut”. Ucap Hasna dengan nada lemah. Kemudian berjalan keluar ke taman yang ia tinggalkan bersama buku kesayangannya yang juga ia tinggalkan. Ingin berlari dari kenyataan? Mungkin bisa dibilang begitu.
Namun sesampainya di taman, Hasna melihat seorang laki-laki berpakaian rapi dengan peci yang bertengger seolah mahkota, tampak usianya lebih tua diatas Hasna. Tapi siapa? Berani-beraninya dia berada di taman Ndalem. Matanya membelalak ketika melihat yang ada di tangan laki-laki itu adalah buku miliknya. Sadar sang pemilik buku datang, laki laki itu menutup buku namun dengan kepala yang masih menunduk.
“Ehm, Hasna?”. Tanya lelaki itu tanpa melihat lawan bicaranya. Dan hanya dibalas dengan anggukan.
“Jika kamu tidak suka, kamu bisa menolaknya”. Ujar laki-laki itu. Sedangkan yang diajak bicara menunjukkan raut ekspresi bingung. “Setelah saya membaca buku ini, nampaknya masa depanmu lebih berharga dari perjodohan ini”. Lanjutnya. Kini Hasna paham akan alur pembicaraan yang dimaksud laki-laki didepannya.
“Jika kamu disuruh memilih. Pilihlah lampu”. Jeda laki-laki itu. “Selain dia menyinari sekelilingnya, dia juga tampak bahagia dengan membuat dirinya sendiri bersinar”. Lelaki itu menarik napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya.
“Jangan kamu menjadi lilin. Mungkin lilin membuat sekitar bahagia dengan cahayanya. Namun dia membakar dirinya sendiri untuk membuat orang lain bahagia”.
Hasna memahami kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki yang dirinya saja belum kenal. Namun perkataannya mampu menembus pikirannya hingga ia mampu mencernanya.
“Ingat. Pikirkan baik-baik. Karena ini menyangkut tentang masa depan dan dirimu sendiri”. Setelah mengucapkan kata-kata itu laki-laki itu melenggang pergi dan lenyap dari pandangan Hasna.
-Selesai-