Lebaran adalah momen kesadaran. Setelah kita berlelah-lelah puasa menahan haus dahaga, juga nafsu amarah, lebaran adalah momen puncak perjuangan. Momen yang dinanti-nanti oleh seluruh umat Islam. Dengan hati yang kembali bersih setelah puasa, sebersih bayi yang baru dilahirkan, kita sudah jauh-jauh hari menyiapkan lebaran ini. Menyiapkannya untuk segala totalitas ibadah di bulan Ramadhan. Lalu, terhadiahkan lebaran untuk balasannya.
Lebaran penuh suka cita. Selain momen luap rindu-rindu bagi mereka yang jauh: suami pada istri, anak pada orang tua, saudara pada keluarga, teman pada sebaya, ataupun kekasih pada kekasih. Mereka meluapkannya di momen itu. Lebaran juga penuh sarat akan makna. Kekeluargaan begitu terasa, saling maaf-memaafkan, juga saling beri-memberi. Semua terasa begitu indah.
Sudah dari gelap subuh lantunan takbir bergema memenuhi angkasa. Kita serempak pergi ke masjid untuk sholat Ied dengan pakaian terbaru dan bersih, sebersih hatinya para shoimun. Dengar khutbah, sholat, lalu tumpah perasaan itu. Namun, tidak beruntungnya semua orang bisa berkumpul dengan mereka yang tersayang. Lebaran dengan berbagai kecamuk perasaan.
Namun tidak sedikit dari kita yang sadar akan lebaran. Ya, lebaran adalah momen kesadaran. Mungkin semua orang bisa menggunakan baju bagus, pakaian baru di hari raya. Mungkin semua orang bisa menggunakan kendaraan terbaik untuk mengarungi deras gempita di hari raya. Dan mungkin semua orang bisa tebar rekah senyum Bahagia menyambut hari raya. Itulah yang dinamakan lebaran. Itu adalah potret orang-orang yang merayakan lebaran.
Tapi, apakah kita juga termasuk orang-orang yang merayakan idhul fitri? Termasuk orang yang diterima amal ibadahnya, lalu menjadi orang yang fitri? Suci kembali?
فائدة: جعل اللّه للمؤمنين في الدنيا ثلاثة أيام: عيد الجمعة والفطر والأضحى، وكلها بعد إكمال العبادة وطاعتهم. وليس العيد لمن لبس الجديد بل هو لمن طاعته تزيد، ولا لمن تجمل باللبس والركوب بل لمن غفرت له الذنوب.
“Faidah: Allah swt menjadikan tiga hari raya di dunia untuk orang-orang yang beriman, yaitu, hari raya jum’at, hari raya Fitri, dan Idul Adha. Semua itu, (dianggap hari raya) setelah sempurnanya ibadah dan ketaatannya. Dan Idul Fitri bukanlah bagi orang yang menggunakan pakaian baru. Namun, bagi orang yang ketaatannya bertambah. Idul Fitri bukanlah bagi orang yang berpenampilan dengan pakaian dan kendaraan. Namun, Idul Fitri hanyalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni.” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasiyah al-Bujairami alal Khatib, juz 5, h. 412)
Seharusnya yang menjadi fokus dan tuju buka pada lebarannya, tapi pada Idhul Fitrinya. Seharusnya tidak percaya diri bahagia saja karena menjadi bersih atas puasa yang kita lakukan, tapi juga resah takut apakah amalan ibadah kita diterima dan menjadi golongan orang yang kembali suci itu!
Makanya jika kita lihat ada orang yang setelah Ramadhan kok dia makin rajin ibadahnya, makin rajin jama’ah pergi ke masjidnya, makin kuat tadarus baca Al-Qur’annya, semakin ringan tangan untuk bersedekah itu tidak lain dan tidak bukan adalah karena perasaan resah takut itu. Rasa yang timbul dari diri seorang hamba yang telah memahami makna hamba itu sendiri.
“Lalu intinya bagaimana?”
Ada 2 poin di sini. Pertama, saat lebaran. Kita gunakan momen lebaran itu sebagai kesadaran kita terhadap manusia. Kita perbaiki hablu minannas-nya dengan segala hal yang dapat mengokohkan ukhwah Islamiyah kita. Saling memaafkan, tebar senyum, berbagi, tutur kata santun. Usahakan saudara kita yang jauh untuk mendekat kembali dan yang dekat agar lebih dekat hubungannya. Lebaran tidak ada lagi kata gegeran.
Dan yang kedua, setelah lebaran. Ini adalah momen kesadaran kita sebagai status hamba pada tuhannya. Hablu minallah. Apa-apa yang sudah kita lakukan di Ramadhan jangan sampai putus. Kebaikan harus sama semangatnya seperti saat di bulan Ramadhan. Hingga, terbuktilah value ikhlas kita. Ibadah tidak hanya memandang banyak pahala yag diberi. Semata-mata hanya karena Allah Swt.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Habib Abdullah bin Syahab, “Puasa tidak akan berakhir, Al-Qu’an tidak akan pergi, masjid-masjid tidak akan tutup, ijabah do’a tidak akan berhenti, pahala tidak akan terputus. Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai datang kepadamu kematian. Jadilah orang yang Rabbani, yang setiap saatnya beribadah, bukan menjadi orang beribadah hanya di bulan Ramadhan.”
Karena itu pula, makna idhul fitri memiliki keutamaan yang luar biasa, seperti yang disabdakan Nabi,
عَنْ ابنِ مَسْعُوْد عَنِ النَّبِي ﷺ أَنَّهُ قَالَ اِذَا صَامُوْا شَهْرَ رَمَضَانَ وَخَرَجُوْا اِلَى عِيْدِهِمْ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالىَ: يَا مَلاَئِكَتِيْ كُلُّ عَامِلٍ يَطْلُبُ أَجْرَهُ وَعِبَادِيْ اللَّذِيْنَ صَامُوْا شَهْرَهُمْ وَخَرَجُوْا اِلَى عِيْدِهِمْ يَطْلُبُوْنَ أُجُوْرَهُمْ أَشْهِدُوْا أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ. فَيُنَادِي مُنَادٍ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ اِرْجِعُوْا اِلَى مَنَازِلِكُمْ قَدْ بَدَلْتُ سَيِّئَاتِكُمْ حَسَنَاتٍ. فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: يَا عِبَادِيْ صُمْتُمْ لِيْ وَأَفْطَرْتُمْ لِيْ فَقُوْمُوْا مَغْفُوْرًا لَكُمْ.
“Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dari Nabi Muhammad ﷺ, bahwa Nabi bersabda: ketika umat Nabi melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan dan mereka keluar untuk melaksanakan shalat Idul Fitri, maka Allah berfirman: wahai Malaikatku, setiap yang telah bekerja akan mendapatkan upahnya. Dan hamba-hambaku yang telah melaksanakan puasa Ramadhan dan keluar rumah untuk melakukan shalat Idul Fitri, serta memohon upah (dari ibadah) mereka, maka saksikanlah bahwa sesungguhnya aku telah memaafkan mereka. Kemudian ada yang berseru, ‘wahai umat Muhammad, kembalilah ke rumah-rumah kalian, aku telah menggantikan keburukan kalian dengan kebaikan’. Maka Allah swt berfirman: wahai hamba-hamba-Ku, kalian berpuasa untukku dan berbuka untukku, maka tegaklah kalian dengan mendapatkan ampunan-Ku terhadap kalian.”
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam.