Di dunia lirih, negara perih, kota rintih, kampung letih, gang risih, hiduplah gejolak didih.
Di sana gelap. Agak kedap. Penuh harap-harap. Lama waktu ia menetap menginap. Mencoba resap. Ia malah terhisap, “Tuhan, aku lenyap!”, “Lenyap, aku lenyap!”, “Lenyap aku siap!” Teriaknya meratap.
Tak pernah apa mengenyam pendidikan, tapi tak sebodoh mereka bersuara menerawang ingatan akan bulatan. Bentuk-bentuk dan lengkungan. Tau apa mereka tentang hati, cinta, dan perasaan? Ini kampung halaman! Bukan hanya tak selaman, mereka tanpa pengalaman. Gejolak berunek-unek menipis iman. Dahaga aman.
Gejolak semakin menjambak, perih seperti tertembak. Menerobos, menjelma darah yang meledak. Ke jantung ke aorta ke pembuluh nadi ke pembuluh kapiler ke pembuluh balik atas ke pembuluh balik bawah ke jantung dengan mendadak. “Dak!”, “Dak!”, “Dak!” Tersedak.
Pintarnya ia meraih tuas menghindar naas. Tanpa pantas, tanpa pintas, tanpa pentas. Mengudaralah ia pada partikel nafas. Ia bebas.
Apa yang mengalasi perjuangan ini? Susah payah, tersiksa begini? Kekasih…Kekasih…Aku tak bisa seromantis Puisi Hujan Bulan Juni! Aku Puisi Berani! Gejolak yang rupa awur hembus angin itu mulai berimajinasi. Sulit mengendalikan diri. Cintanya mandiri.
Samar-samar ia terlempar. Terdampar. Dari rintang lebat rimba semak belukar, tatih daki gunung sukar, arung samudra sepi lebar, hingga pedesaan masyarakat sadar, atau tata kota gedung pencakar. Semoga saja alamat kekasih tak tertukar. Berulang kali tertampar panas matahari membakar. Berusaha pegang teguh kata kekar dan sabar, terbayang indah harum senyum bunga kekasih yang bermekar.
Semakin kaki melangkah, tak sedikitpun rasa ingin menyerah. Gejolak menerka arah. Mematah pasrah berserah.
Dekat, dekat, dekat tempat-tempat yang menyapa ingat. Hatinya merapat. Lidahnya tercekat. Bayang-bayang kekasih berkelebat. Jantungnya berdesir hebat. “Lihat! Lihat!” Ucapnya pada tangis, darah, debu, lumpur, dan keringat yang melekat.
“Oh, mana yang lebih menggembirakan dari terawang bayang orang tersayang? Biarpun burung kenari, pelangi, awan menyelimuti, dan lembut langit senja sehabis rintik hujan yang tenang, aku takan melayang! Cukuplah hadirmu membasuh dan menghapus gundah gulana hatiku yang mengerang!”
Gejolak tak kuat, tak mampu, tak bisa, takan bisa lagi menahan luap hatinya yang mengadu. Matanya sendu. Hatinya penuh rindu. Hingga di depan sebuah rumah yang warna catnya hampir kelabu, mata mereka beradu.
“Gejolak!?” Ucapnya kekasih tak percaya pada waktu yang semesta mengizinkan kembali. “Kau kah ini?” Lanjutnya lagi.
“Kau kah sebab akibat yang menjadikan malam terasa sunyi? Siang menjadi sepi? Indah pelangi, manja senja, mekar bunga, rumpun awan, lantun ilalang, gemercik hujan, dan hangat lamunan menjadi tak berarti?” Gejolak tak berkata, mulutnya terkunci.
Semua masih sama. Lentik mata itu, rapih alis itu, mancung hidung itu, singkap telinga itu, juntai rambut itu, halus pipi itu, tipis bibir itu, manis senyum itu, teduh rupawan wajah itu masih sama. Tak ada beda. Hingga, semampai, gemulai, dan lerai kata-katanya yang membelai masih sama. Ingin terus berlama-lama.
Tetapi gejolak masih saja diam, mukanya merah padam, lalu berpaling penuh dalam. Harapnya kelam. Hatinya tertikam.
Sepersekian detik dari belakang, pinggang itu bersambut peluk erat. Penuh sarat. Kau salah jika menyangka dan menebak bahwa gejolak lah yang memeluk ataupun dipeluk kuat. Bukankah ia telah berpaling beberapa saat? Gejolak tak mampu melihat, ia tak banyak berbuat. Begitu dahsyat.
Hati menyerahkan akhir cerita ini agar ditutup oleh pikir otak. Perasaan sama sekali tak menyentuh kontak.
Hingga di potongan puzzle terakhir yang sudah tergeletak…
Gejolak, giginya gemertak.
Hatinya retak.
Egonya berontak.
Di sekian langkah detik, takdir memutus detak.