Makna Santri Sebagai Tonggak Negeri
Berbincang mengenai santri dan tentang siapa sebenarnya santri, pasti teman-teman pembaca sudah tidak asing lagi dengan kata populer satu ini. Secara umum santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama di pondok pesantren. Menurut bahasa santri berasal dari bahasa sansekerta “shastri” yang memiliki akarkata sama dengan sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. Dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia santri memiliki artian orang yang mendalami agama islam, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, dan orang yang sholeh.
Namun, pada pembahasan kali ini, kita akan membahas kacamata santri menurut pendapat beberapa tokoh. Menurut pendapat Habib Muhammad Al-Habsyi kata santri itu dinukil dari bahasa Arab yang berarti orang yang mencari ilmu. Setelah diserap kedalam bahasa Indonesia santri lebih populer diartikan sebagai seseorang yang menimba ilmu agama dalam lingkup dunia pesantren. Begitu juga menurut Agus Nabil Aly Utsman santri itu sama, baik yang di luar pagar maupun di dalam pagar. Maksudnya seseorang dapat disebut sebagai seorang santri apa bila memiliki sifat sebagaimana layaknya seorang santri entah itu di luar maupun di dalam pondok pesantren.
Dari dua pendapat diatas dapat diartikan bahwa santri itu luas pandangannya. Tidak hanya terkhusus bagi mereka saja yang berdomisili dalam lingkup pesantren. Seperti dawuh Habib Muhammad Al-Habsyi tat kala mengaji kitab Manhajussawi, “Santri adalah seseorang yang mencari ilmu agama baik dalam lingkup pesantren maupun tidak. Meskipun itu hanya sekedar menghadiri acara pengajian”
Perlu diketahui juga, santri itu tidak diukur dalam segi umur tidak pula memandang jabatan apalagi gelar kehormatan. Alias santri itu netral dan luas pemaknaanya. Tidak hanya terkhusus pada mereka kaum sarungan dan berpeci saja. Mau yang tua atau muda, mau DPR atau presiden sekalipun. Selama menimba ilmu agama dan berakhlaq sebagaimana santri maka layak dihukumi santri.
Selanjutnya, beralih kepembahasan santri menurut pandangan sosial. Dalam pandangan sosial santri adalah kaum berpredikat baik dan identik dengan kedalaman ilmu agama, berwawasan luas, dan juga luhur budi pekertinya. Bagi masyarakat awam, setiap orang yang berstatus santri pasti mendapat stemple baik. Dan juga dicap sebegai kaum yang tahu-menahu segalanya seputar ilmu agama. Jika seperti itu, mau tak mau kita sebagai santri secara tidak langsung dituntut untuk belajar segala hukum, memahaminya, dan juga memprektekkanya. Padahal tak sedikit dari jutaaan santri nusantara yang mondok karena paksaan orang tua.
Akibatnya, santri tersebut menjadi malas-malasan dalam belajar, sering melanggar peraturan, dan selalu mengaharap kebebasan. Imbasnya ketika nanti sudah terjun kedalam dunia masyarakat santri akan jauh dari ekspetasi dan harapan masyarakat. Santri yang dulunya masyhur akan budi pekerti luhur dan keluasan wawasan ilmu pengetahuanya menjadi tercemar. Padahal tak semua santri memiliki pola pikir dan pribadi yang sama. Atau dengan kata lain satu salah semua pun ikut salah. Peribahasanya nila setitik rusak susu sebelanga.
Maka dari itu, kita sebagai santri harus pandai-pandai menjaga nama baik. Yang notabenya menjadi penerus perjuangan dakwah para ulama. Jangan sampai masyarakat awam lebih percaya kepada mereka para penda’i yang hanya bermodal kuota internet saja. Dakwah kesana-kemari tanpa tahu hukum yang sebenarnya. Berguru pada syekh google tanpa mempelajari kita-kita salaf karangan para ulamasalafussholah
Kesimpulannya, sebagai santri harus bisa menjadi tonggak bagi negri. Karena kalau bukan santri siapa lagi. Dakwahkan agama sebagaimana ijtihad para ulama. Jangan sampai masyarakat tersesat hanya karena salah berguru. Sebagaimana seorang guru yang menjadi lentera, santri itu bagaikan kompas penunjuk arah bagaimana nasib masyarakat kelak. Selamat Hari Santri Nasional, semoga kelak kita bisa menjadi tonggak negeri tercinta ini. aminn
22 Oktober 2021