Kiai merupakan pembimbing jasmani dan rohani. Pembimbing untuk segala hal, baik duniawi maupun ukhrowi. Dalam budaya pesantren, “manut kiai” wajib hukumnya tanpa terkecuali. Namun, pengaruh budaya barat dalam aspek pendidikan makin terasa. Hal ini sempat diperdebatkan oleh beberapa tokoh pendidikan seperti, Sutan Takdir Alisjahbana yang berpegang teguh dengan westernisnya dan Dr. Soetomo yang menjunjung tinggi tradisionalismenya.
Sutan Takdir mengkritisi pendapat Dr. Soetomo tentang pendidikan, bahwa pendidikan pesantren adalah pengajaran sempurna dan akan membawa kemajuan. Sutan Takdir berpendapat, “didikan barat mengajarkan mereka (para santri) berpikir sendiri, mengajarkan mereka mengkritik dan membantah kiai, serta memberanikan mereka membuang segala adat dan tradisi yang mengikat kaki dan tangan bangsa kita untuk mulai berlomba dengan bangsa lain”. Pendapat yang kala itu begitu kontroversial. Perdebatan ini terjadi pada tahun 1935 sebelum Indonesia merdeka, beberapa tokoh sudah memikirkan mau dibawa ke mana budaya bangsa ini.
Mereka memperdebatkan relevansi pendidikan pesantren untuk bangsa, di masa yang akan datang. Konsep-konsep pendidikan mana, yang harus dianut oleh bangsa Indonesia. Lambat laun, zaman menjawab perdebatan ini, terlihat begitu banyak budaya barat yang mempelopori konsep-konsep pendidikan di zaman setelahnya sampai sekarang.
Sudah maklum kita pahami, bahwa kurikulum “manut kiai” sudah ada sejak zaman ulama salaf. Sampai saat ini pun, masih dipegang teguh oleh santri. Namun yang mengenaskan, di zaman sekarang hal semacam ini seakan makin pudar, terbawa zaman yang mengandalkan intelektualitas. Dengan dalih sudah bisa berpikir sendiri dan bisa membenarkan yang benar, para santri seakan lupa bahwa intuisi guru lebih tajam dari mereka. Padahal, Imam Az-Zarnuji sudah mengingatkan kita lewat kitab Ta’alim Muta’alim karangan beliau, bahwa kita tidak boleh melawan guru. Beliau juga menyarankan kita untuk memilih guru yang sesuai dengan jalan pikiran kita, agar tidak terjadi perselisihan pemikiran ketika belajar. Bukti kehati-hatian beliau, pada murid yang membantah gurunya.
Banyak pula, kisah santri yang merasakan langsung begitu dahsyatnya manfaat andil seorang guru dalam menentukan pilihan hidupnya. Karena keberkahan bersumber dari ilmu dan ilmu didapatkan dari guru. Tanpa seorang guru mungkin kita bisa jadi orang berilmu, tapi belum tentu berbudi. Banyak ulama yang berpendapat, bahwa guru begitu penting dimiliki orang yang sedang belajar. Seperti yang dikatakan Imam Abu Yazid Al-Busthomi berikut:
من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان
“Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.” (Tafsir Ruhul Bayan fi Tafsir Al-Quran, Ismail Haqqi Al-Hanafi, 5/264).
Mirisnya, “manut kiai” sekarang mulai dipolitisasi. Ada yang berpendapat, jika dalam pemilu kita harus mengesampingkan hal ini. Tidak sedikit pula, yang masih berpegang teguh dengan kiai, menyerahkan sepenuhnya pada kiai, dengan alasan pilihan seorang guru (kiai) pasti lebih baik. Melihat hal ini, tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, kita sebagai santri pastinya memiliki ideologi masing-masing. Dalam menyikapi masalah ini diperlukan pertimbangan matang, tidak bisa sembarangan dan jangan mudah terpengaruh oleh beberapa statement.