Seperti yang kita ketahui pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang saat ini sedang banyak diminati oleh masyarakat, baik dari kalangan bawah maupun atas. Hal ini merupakan suatu perkembangan yang ditunggu-tunggu. Dari sekian banyak santri baru yang datang tidak sedikit pula santri yang pulang dengan berbagai alasan.
Alasan yang paling masyhur ialah karena tidak kerasan entah faktor lingkungan yang kurang nyaman atau sulitnya beradaptasi sehingga kurang bersosialisasi dengan teman. Padahal, tanpa kita sadari justru hal-hal yang kita benci dalam lingkungan pesantren itulah yang akan menjadi ciri khas kehidupan santri.
Santri itu pilihan, di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadien Lirboyo dari ribuan santri yang datang hanya ratusan yang mampu bertahan hingga menjadi tamatan. Tamatan? menyelesaikan pendidikan dan lulus dengan nilai memuaskan adalah hal yang paling dinanti oleh setiap santri.
Tamatan bukan sekedar tamatan tapi menjadi mutakhrorijin yang khusnul khotimah dan berkah itulah yang paling diimpikan mbak-mbak dan kang-kang santri.
Menurut Kiai Imam Yahya Mahrus santri tamatan pondok pesantren atau alumni itu ada dua yaitu, santri yang alim dan santri yang alum. Kalau santri yang alim itu jelas ketika dia pulang dari pondok ia mau mengabdi di masyarakat, saget ngaos. Setidaknya minimal ia mau mendoakan guru-gurunya, mendoakan para masyayikhnya.
Kalau santri yang alum itu juga jelas, jelas tidak pernah mendoakan gurunya, tidak pernah sowan kepada gurunya, itulah santri yang alum. Sebab itulah Gus Nabil Aly Utsman memberi tambahan bahwa macam-macam alumni tidak hanya alim dan alum tapi juga ada yang sholeh dan sholah.
Sholeh dan sholah?
“Sholeh niku sowan karo nggowo oleh-oleh, kalau sholah itu sowan karo nggowo masalah. Mereka curhat tentang berbagai masalahnya di rumah, tentang berbagai keburukan-keburukan di masyarakat”
Begitulah tutur putra ke empat Yai Imam ini, beliau juga menuturkan bahwa menuntut ilmu di pondok pesantren itu ada tiga bekal yang harus kita genggam, tidak hanya untuk para santri tetapi juga para orang tua. Berikut adalah tiga bekal menuntut ilmu yang sempat beliau tuturkan:
1. Harus muttasil sanad ilmunya hingga kepada Rosulullah SAW.
Ketika kita menuntut ilmu maka harus benar-benar jelas siapa gurunya, dan guru kita dapat ilmu dari siapa dan dari mana. Karena kelak segala yang kita lakukan, segala yg kita dapatkan, itu akan menjadi pitakon atau pertanyaan di akherat kelak, entah itu hal yang baik ataupun hal yang buruk.
“kamu belajar wudhu, dan sholat ini dari siapa? Gurunya siapa?” sebab itulah, dalam mencari ilmu kita benar-benar dituntut untuk mencari guru yang jelas sanadnya. Seperti halnya di pondok pesantren itu sudah jelas gurunya siapa dan ngajinya kepada siapa.
Semua akan ditanyakan oleh malaikat hingga sanad ilmu tersebut jelas sampai kepada Rosulullah, disinilah pentingnya kalau mencari ilmu itu harus kepada guru yang jelas.
Tidak seperti sekarang semua searching di mbah google, ya memang benar mbah google itu maha tau, akan tetapi belum tentu maha benar. Berbeda tipis dengan yang dinamakan netizen. Kalau netizen itu maha benar tapi belum tentu maha tau.
Ketika kita mejawab pertanyaan malaikat “saya tau cara sholat dari mbah google”
Siapa itu mbah google? dicari maqbarohnya pun tidak akan pernah ada. Perbuatan semacam itu ketika sumbernya tidak jelas dari mana kita mendapatkannya maka tidak akan bisa dipertanggung jawabkan.
Seperti itulah ketika sanad keilmuan tidak jelas muttasil atau tidaknya hingga ke Rosulullah
2. Santri harus bersungguh-sungguh dalam belajar
Dalam artian tinggal di pondok pesantren tidak hanya makan, tidur, dan mencari teman sebanyak-banyaknya tapi melupakan tujuan utamanya untuk belajar, tidak akan berhasil justru akan sia-sia bila seperti itu. Karena kunci yang kedua itu santri di pondok harus tenanan.
Gus Nabil sempat menceritakan tentang kisah beliau bersama almaghfurllah Yai Imam ketika beliau hendak berangkat ke pondok pesantren. Dimana Yai Imam selalu menunjuk kening beliau sambal dawuh “niato tirakat” dengan diulang sebanyak tiga kali.
Ketika putra ke empat beliau ini akan berangkat ke Yaman, beliau juga melakukan hal tersebut di bandara, bahkan beliau sempat menegaskan niatnya untuk sang putra dengan lantang “nawaitu ngguwak awakmu” beliau mengibaratkan untuk membuang sang putra, memang sungguh miris didengarnya.
Akan tetapi ucapan tersebut mengandung makna yang begitu mendalam. Beliau menegaskan untuk bersungguh-sungguh Ketika di pondok pesantren, dengan meninggalkan semua tittle yang kita miliki di rumah, meninggalkan segala kemewahan, makan dengan seadanya, menerima fasilias seadanya itulah yang dinamakan tirakat oleh Yai Imam. Ketika kita benar-benar menjalankannya maka kita bisa disebut sebagai santri seng tenanan.
Siapapun kita di rumah, di pesantren kita tetaplah santri dengan satu ambisi yakni ridho kiai.
3. Wong tuane kudu tenanan
Tidak hanya santri dan kiainya saja yang yang harus bersungguh-sungguh, tetapi orang tua di rumah juga harus tenanan. Ketika menempatkan anaknya di pondok pesantren orang tua juga harus punya niatan tirakat. Kenapa?
Karena jauh dari anak itu berat, itu berat. Sebab itulah orang tua yang memondokan putra-putrinya juga harus tenanan, Entah dalam segi pembiayaan atau pun do’a nya. Maka dari itu orang tua yang memondokan anaknya harus punya niatan tirakat.
“Dari segi pembiayaan ojo eman eman, estu ojo eman eman. Terutama untuk membeli kitab, dengan segala biaya untuk belajar anak, Ini juga tirakat.”
Begitulah dawuh Gus Nabil kala itu. Ketika tiga bekal ini telah terpenuhi, insyaallah santri ketika pulang akan menjadi orang alim dan sholeh bukan alum dan sholah.
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam.