web analytics

Mbah Sechah, Perang Jawa, dan Pondok Pesantren Bahrul Ulum

Mbah Sechah, Perang Jawa, dan Pondok Pesantren Bahrul Ulum
0 0
Read Time:12 Minute, 3 Second

Pada tahun 1825 terlacak sebagai titik awal sejarah berdirinya Pesantren Tambakberas, Jombang Jawa Timur. Pada tahun itu, seorang kiai, pendekar, dan panglima perang asal Tuban, Mbah Abdus Salam, berkunjung ke Jombang. Kota Tuban berada di sisi Barat Laut Kota Jombang, berjarak sekitar 90 kilometer. Mbah Abdus Salam mengunjungi dua desa di Jombang. Pertama, Desa Wonomerto, kini di Kecamatan Wonosalam, di kaki gunung Anjasmoro, sebelah tenggara dari Kota Jombang, dekat perbatasan Kabupaten Kediri dan Malang. Kedua, dusun Gedang, kini di Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang. Jarak Wonomerto dan Gedang sekitar 35 kilometer.

Mbah Abdus Salam adalah putra Syekh Abdul Jabbar asal dusun Jojogan, Desa Mulyo Agung, Kecamatan Singgahan, Tuban. Jalur nasab ke atasnya bersambung pada Joko Tingkir, raja pertama (1549-1582) Kerajaan Pajang, kini di wilayah Kartasura, Sukoharjo. Kiai Abdus Salam kemudian lebih dikenal dengan panggilan, Mbah Shoichah atau Mbah Sechah.

Beliau mengunjungi Jombang dengan tiga tujuan. Pertama, napak tilas dan ziarah ke makam leluhurnya, Pangeran Benowo, putra Joko Tingkir. Untuk hal ini, ada beberapa situs yang dinyatakan sebagai makam Pangeran Benowo, Raja Pajang ketiga dan terakhir. Salah satunya di Desa Wonomerto, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang.

Di Desa Wonomerto, Jombang, terdapat sebuah bukit yang dikelilingi lapisan bata merah model kuno, seperti candi. Di atas bukit terdapat banyak makam kuno. Salah satunya adalah makam Pangeran Benowo dan istrinya. Masyarakat sekitar mempercayai secara turun temurun bahwa situs tersebut adalah makam Pangeran Benowo. Mereka juga masih banyak yang hafal cerita lisan tentang kisah Pangeran Benowo.

Tujuan kedua kunjungan Mbah Sechah ke Jombang, untuk mencari lokasi yang tepat dalam berdakwah. Terbukti, setelah menemukan makam Pangeran Benowo di Wonomerto, Wonosalam, Mbah Sechah melanjutkan perjalanan ke arah utara dari Wonomerto, sekitar 35 kilo meter, menuju kampung Gedang,

Tujuan ketiga, beliau melakukan survei lokasi untuk mencari tempat strategis terkait Perang Jawa. Perang yang dimulai sejak 19 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830 dengan menghabiskan kas Belanda sebesar f. 25.000.000 ini terjadi antara Belanda melawan Pangeran Diponegoro, seorang pengamal tarekat Syattariyah.

Di masa muda, Pangeran Diponegoro akrab dengan beberapa pesantren dan mengaji Al-Qur’an, kitab Taqrib, Lubab al-fiqh, Muharrar, At Taqarrub, At Tuhfah al Mursalah ila Ruh al Nabi, Nasihatul Muluk, Sirah as Salatin, Tajus Salatin, dan Fatah al-Muluk. Tidak ketinggalan juga membaca suluk dan primbon, Sejarah Isfahan dan Arabia, Babad Majapahit, Sejarah Mataram, Serat Rama, Bhoma Kawya, Arjunawijaya, Arjunawiwaha, dan masih banyak lagi.

Sebagaimana ditulis Choirul Anam, dalam buku, KH. Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya, bahwa tahun 1825, Mbah Sechah ke Wonomerto Wonosalam untuk berdakwah, kemudian pergi ke Gedang. Setelah Diponegoro ditangkap tahun 1830, Mbah Sechah memindahkan basis perlawanan dari Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, ke arah Timur, hingga ke Jombang. Pendapat Choirul Anam ini mengasumsikan, Mbah Sechah hanya berkunjung sebentar ke Jombang, kemudian kembali ke Tegalrejo, untuk berperang.

Mirip dengan pendapat Choirul Anam, Agus Sunyoto, dalam buku, Fatwa & Resolusi Jihad; Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya, 10 Nopember 1945, menjelaskan, bahwa Mbah Sechah adalah satu di antara sekian banyak panglima perang pasukan Diponegoro yang ikut berjuang di telatah Mataram. Sunyoto menambahkan, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap tahun 1830, Mbah Sechah kemudian hijrah ke Jombang dan mendirikan Pesantren Tambakberas. Narasi Choirul Anam dan Agus Sunyoto tersebut perlu diklarifikasi.

Perang Diponegoro adalah perang yang terjadi di banyak daerah di Jawa, maka disebut sebagai Perang Jawa. Dalam sejarah dikisahkan, pada saat pecah Perang Jawa, wilayah kawedanan Monconegoro Timur berpihak kepada Diponegoro. Monconegoro Timur meliputi Madiun, Magetan, Kalangbret (wilayah Tulungagung), Berbek (Nganjuk), Kertosono (Nganjuk), Rowo (Tulungagung), Godean (Nganjuk), dan 16 kabupaten yang berdiri sendiri.

Pangeran Diponegoro mengirim pesan yang berisi perintah untuk memerangi orang Eropa dan Cina yang jadi musuh (ada juga Cina yang ikut perang lawan Belanda, memasok senjata dan uang untuk pasukan Diponegoro). Pesan itu disampaikan kepada para pimpinan pasukan di seluruh wilayah kesultanan: Kedu, Bagelen, Banyumas, dan Serang. Tidak ketinggalan pula ke wilayah Monconegoro Timur: Magetan, Madiun, Rajegwesi (Bojonegoro), Kertosono, Berbek, dan Rowo.

Sangat mungkin Mbah Sechah mendapat mandat untuk observasi lokasi baik untuk mengatur strategi, maupun untuk bertahan, dan menyerang Yogyakarta, tapi juga di wilayah Monconegoro Timur. Basis-basis santri di Monconegoro Timur ikut digerakkan Kiai Mojo, salah satu penasehat Pangeran Diponegoro, yang punya banyak relasi dan jaringan dengan pusat-pusat keagamaan dan politik di Jawa hingga Bali.

Kiai Mojo inilah yang memberi dasar Islam atas tujuan peperangan. Beliau seorang ulama Jawa yang dididik dan dibesarkan dengan metode tradisional dalam menafsirkan Al Qur’an dan mempunyai pengetahuan luas tentang kandungannya.

Dengan demikian, bisa dimengerti, bila daerah operasi perang Kiai Sechah saat Perang Jawa (1825-1830) berada di seputar Jombang. Daerah bekas gerbang Kerajaan Majapahit ini tidak menjadi konsentrasi kompeni Belanda. Buktinya, Tidak ada benteng stelsel yang dibangun Belanda untuk melawan pasukan Diponegoro. Benteng stelsel berada di Rajegwesi (Bojonegoro), Kapas (Bojonegoro), Bancar (Tuban), Jatirogo (Tuban), Babad (Lamongan), Poko (Pacitan), Ponorogo, Wonorejo (Madiun), dan Ngawi. Hingga tahun 1830, total ada 258 benteng di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Untuk itu, pilihan Mbah Sechah ke Jombang adalah tepat. Selain Kompeni tidak begitu banyak, sehingga lebih aman untuk penggemblengan dan pendadaran pasukan yang siap dikirim ke daerah konsentrasi Belanda di Monconegoro Timur untuk perang gerilya; dan yang tidak kalah penting, Jombang lebih dekat dengan Tuban, asal Mbah Sechah.

Mungkin ada pertanyaan, perang baru dimulai tahun 1825, mengapa Mbah Sechah sudah mencari basis perlawanan di Jombang? Jawabannya, pertama, lawatan Mbah Sechah ke Jombang memiliki beberapa misi: ziarah ke makam leluhurnya, Pangeran Benowo, dan mencari lokasi untuk pondok pesantren, seperti dijelaskan di atas. Jadi, ada tujuan lain, selain masalah perang.

Kedua, kalau dikaitkan perang, perlu dipahami, bahwa Pangeran Diponegoro membangun komunikasi dan jaringan untuk melawan Belanda tidak hanya pada tahun 1825. Tahun-tahun sebelumnya, perang sudah dirancang, dengan mengadakan sejumlah pertemuan dengan para tokoh untuk melawan Belanda.

Tercatat pada Mei 1824, Diponegoro mengalami serangkaian mimpi, dan penampakan serta perjumpaan dengan Ratu Adil -kemudian hari, Pangeran Diponegoro sendiri dilabeli sebagai Ratu Adil. Perjumpaan itu membantu menjernihkan dirinya atas peran yang ditakdirkan baginya atas pergolakan yang akan terjadi di Jawa. Selanjutnya, pada Oktober 1824, Diponegoro membuka diskusi dengan para pangeran dan pejabat resmi Kraton Mataram, terkait perlawanan terhadap Belanda.

Bahkan, 15 tahun sebelum Perang Diponegoro, terjadi pemberontakan oleh Raden Ronggo Prawirodirjo III, menantu Hamengkubuwono II, terhadap Gubernur Jenderal Daendels. Ketika Raden Ronggo bergerak ke Timur, dapat bantuan pasukan dari Bupati Padangan (Bojonegoro), Mas Tumenggung Sumonegoro. Raden Ronggo terbunuh di Sekaran, dekat Bengawan Solo. Bagi Diponegoro, Raden Ronggo adalah suri tauladan, seorang ksatria, pangeran wirayuda. Kekaguman ini diabadikan dalam babad karya Diponegoro.

Paparan di atas menyiratkan, bahwa rencana melawan Belanda sudah lama tertanam, dan pasti dikomunikasikan dengan jaringannya. Kisah tersebut juga dapat dipahami, jauh-jauh hari, sentimen anti penjajahan sudah bergolak di Monconegoro Timur. Apalagi, ayah Mbah Sechah, yakni Syekh Jabbar, juga mengobarkan peperangan terhadap Belanda di kawasan Tuban, maka tidak aneh, bila Mbah Sechah, juga menjadi pejuang di telatah Timur.

Menjadi logis pula, bila jauh sebelumnya, Diponegoro banyak mengadakan pertemuan rahasia. Untuk itu, sangat mungkin Mbah Sechah telah mendapat mandat untuk observasi lokasi yang strategis baik ketika mundur untuk mengatur strategi, maupun untuk bertahan, dan menyerang.

Ketiga, masih dikaitkan dengan poin kedua, masalah perang, patut diduga, Mbah Sechah ke Jombang pada akhir tahun 1825, setelah setengah tahun terjadi pertempuran, dengan tujuan survei lokasi untuk mencari tempat strategis. Dua kemungkinan tersebut bermuara kepada satu kesimpulan, bahwa pertempuran yang dilakukan Mbah Sechah berada di area Jombang dan sekitarnya, bukan di telatah Mataram.

Pertempuran di area Jombang ini didukung data tertulis dari Peter Carey, tentang para tokoh agama pendukung Diponegoro yang berjumlah 22 haji, 17 syekh atau syarif, dan 121 kiai. Data itu tidak menyebut nama Kiai Abdus Salam atau Kiai Sechah. Kiai pendukung Diponegoro yang tertulis dari Monconegoro Timur hanya sedikit. Itu pun hanya dari area Madiun dan Ponorogo.

Mereka yang dari Madiun adalah Kiai Banjarsari, Kiai Zainal Ngabidin, dan Haji Muhammad Sanget. Adapun yang dari Ponorogo adalah Kiai Hasan Besari dan Kiai Tapsir Anom. Jadi, lokasi perjuangan Kiai Sechah yang terpencil dan jauh dari Mataram menjadikan identitas beliau tidak tertulis, walaupun beliau termasuk tokoh penting pejuang yang ikut Perang Jawa.

Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda karena siasat licik, pada tahun 1830, Kiai Abdus Salam lebih fokus menjadikan alas (hutan) Gedang sebagai basis pendidikan agama bagi santri, dengan tetap disisipi nilai-nilai perlawanan terhadap penjajah. Sama seperti pasukan Diponegoro yang lain, Kiai Abdus Salam juga menanam pohon sawo kembar sebagai tanda rahasia dari pasukan Diponegoro.

Menurut KH. Djamaluddin Achmad, salah satu Pengasuh Pondok Tambakberas, penanaman pohon sawo kembar itu atas perintah Kiai Mojo bagi seluruh pasukan Diponegoro yang tersebar di berbagai daerah. Tradisi menanam pohon sawo ini dilanjutkan anak cucu Mbah Sechah. Kata Kiai Anshori Sehah, cicit Mbah Sechah, dulu di dekat menara Masjid Tambakberas juga ditanami pohon sawo.

Akhirnya, alas Gedang berubah menjadi sebuah perkampungan sekaligus padepokan atau pondok, yang kemudian dikenal dengan sebutan pondok “Selawe” karena hanya 25 santri yang menetap di padepokan tersebut. Ada juga yang menyebut pondok “Telu” karena padepokannya hanya memiliki tiga gothakan (kamar).

Penuturan Kiai Djamaluddin Achmad, yang didapat dari Kiai Sholichin dari Petengan, salah satu informan senior tentang Tambakberas, bahwa tiga kamar itu ditempati santri dengan spesialiasi berbeda. Kamar pertama berisi santri yang mendalami ilmu syariat. Kamar kedua berisi santri yang khusus mengkaji dan mengamalkan ilmu tarekat. Sedang kamar ketiga diisi santri yang fokus menggembleng diri dalam ilmu kanuragan. Beliau menambahkan, nantinya, pasukan Hizbullah terdidik dari model santri yang terakhir itu.

Pada saat pesantren mulai berkembang, Mbah Sechah mengambil beberapa santri untuk dijadikan menantu. Ada dua orang santri pilihan yang dinilai memiliki kemampuan lebih. Kedua santri itu adalah Usman dan Said. Usman dijodohkan dengan Layyinah, putri pertama Mbah Sechah, sedangkan Said dijodohkan dengan Fatimah, putri keduanya.

Pernikahan Usman dengan Layyinah dikaruniai Halimah (Winih), putra dan putri bernama Jebul, Tandur, Fadhil dan Hannah (Lilir). Halimah dijodohkan dengan Asy’ari (ayah KH. Hasyim Asy’ari) dari Demak. Jebul disunting Abdulloh dari Kapas (desa sebelah Tambakberas). Tandur diperistri Qosim dari Ponorogo, dan Hannah (Lilir) bersuami Aqib. Sedangkan pernikahan Said dengan Fatimah dikaruniai putra putri bernama Kasminah, Kasbi (Chasbullah), Kasdu (Syafi’i), dan Kasmo (‘Ashim).

Mengingat perkembangan pesantren semakin maju dan santrinya bertambah terus, Kiai Usman mengembangkan sayap, dengan mendirikan pondok sendiri di sebelah selatan pondok mertuanya. Sedangkan Kiai Said tetap membantu mengembangkan pondok Mbah Sechah.

Ada perbedaan spesialisasi ilmu antara Kiai Usman dan Kiai Said. Kiai Usman memiliki keistimewaan dalam pendidikan ilmu tarekat atau tasawuf, sehingga pondok Kiai Usman dikenal dengan pondok thoriqot. Sedangkan Kiai Said lebih berorientasi pada ilmu syariat.

Sepeninggal Mbah Sechah, pesantren dikelola oleh Kiai Said dan Kiai Usman. Sayang, belum ditemukan validitas data, kapan Mbah Sechah wafat. Demikian juga tahun wafatnya Kiai Usman dan Kiai Said. Hal yang disepakati, sepeninggal beliau berdua, pengembangan pondok Kiai Usman pindah ke Desa Kapas, kini di Kecamatan Peterongan, sekitar 3 kilo meter arah timur laut dari Tambakberas, di bawah asuhan Kiai Abdulloh, menantu kedua Kiai Usman.

Sebagian lagi pindah ke Desa Keras, kini di Kecamatan Diwek, tetangga Desa Tebuireng, di bawah asuhan Kiai Asy’ari (ayah KH. Hasyim Asy’ari), menantu pertama Kiai Usman. Sementara pesantren yang dipimpin oleh Kiai Said, tempatnya dipindah ke sebelah barat sungai, hanya ratusan meter dari lokasi pondok awal. Setelah Kiai Said wafat, Kiai Chasbullah yang lahir pada tahun 1850 diserahi mengelola pesantren ini.

Dalam mengembangkan pesantren di Barat sungai itu, Kiai Chasbullah didampingi istrinya, Nyai Lathifah, putri Kiai Abdul Wahab dari desa Tawangsari, Sepanjang, Sidoarjo. Perkawinan antara Kiai Chasbullah dan Nyai Lathifah dikaruniai delapan putra dan putri: Abdul Wahab, Abdul Hamid, Khodijah (istri KH. Bisri Syansuri, Denanyar), Abdurrochim, Fatimah (istri KH. Hasyim Idris dari Kapas), Sholihah (istri KH. Abdul Muhaimin, Lasem), Zuhriyyah dan Aminatur Rohiyyah.

Di masa Kiai Chasbullah inilah, Masjid Tambakberas dibangun berdampingan dengan pondok (sekarang disebut pondok Induk), yang lebih dahulu ada. Pada masa Kiai Chasbullah ini juga, pondok pesantren ini dikenal dengan sebutan Pondok Tambakberas.

Pada tahun 1932, Kiai Chasbullah wafat. Choirul Anam dalam dua bukunya yang berjudul “KH. Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya” serta “Pertumbuhan dan Perkembangan NU” dengan merujuk kepada karya Amelz yang berjudul “H.O.S. Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya” menjelaskan bahwa Kiai Chasbullah wafat tahun 1926. Tim sejarah Tambakberas lebih berpegang kepada penjelasan sahabat karib sekaligus murid Kiai Wahab Chasbullah, yakni Kiai Abdul Halim dalam bukunya “Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab”. Buku yang dicetak tahun 1970 dan sudah minta izin ke Kiai Wahab dan disusun dalam bentuk nadzoman dengan memakai tulisan pegon ini menjelaskan bahwa ketika Muktamar di Bandung, orang tua Kiai Wahab meninggal dunia pada usia 82 tahun. Tentu yang dimaksud Muktamar Bandung adalah Muktamar NU ke-7 tahun 1932. Hal ini diperkuat pada halaman lain ketika menjelaskan bahwa selama empat puluh tiga tahun sejak berdirinya NU (1926-1969/1970) dan selama dua puluh empat kongres NU (Kiai Abdul Halim terkadang menyebut muktamar, terkadang menyebut kongres, yang jelas dalam anggaran dasar tahun 1926 menggunakan nomenklatur kongres), hanya dua hari Kiai Wahab tidak hadir. Sehari di Bandung karena ayahnya wafat, dan sehari di Banjarmasin karena terlambat datangnya. Adapun tahun 1926 yang lebih tepat bukan wafatnya Kiai Chasbullah, tapi berita sakit kerasnya beliau yang menyebabkan Kiai Wahab tidak bisa hadir pada saat Kongres Al-Islam di Bandung. Mungkin karena sama-sama ada acara di Bandung, dan sama-sama menggunakan nomenklatur kongres inilah yang menjadikan keliru pemahaman.

Setelah Kiai Chasbullah wafat, kepemimpinan pesantren berlanjut ke tangan Kiai Wahab, putra tertua, dibantu adik-adiknya, seperti Kiai Abdul Hamid Chasbullah dan Kiai Abdurrahim Chasbullah. Selang beberapa tahun kemudian, keponakan Kiai Wahab, Kiai Abdul Fattah (putra KH. Hasyim Idris), juga diminta membantu mengelola pesantren.

Pada masa Kiai Wahab Chasbullah, tepatnya pada tahun 1965, empat orang santri dipanggil menghadap. Mereka adalah Ahmad Junaidi (Bangil), M. Masrur Dimyati (Dawar Blandong, Mojokerto), Abdulloh Yazid Sulaiman (Keboan, Kudu, Jombang), dan Moh. Syamsul Huda As. (Denanyar, Jombang). Waktu itu, sekretaris pondok dijabat Ahmad Taufiq (Pulo Gedang, Ploso, Jombang).

Keempat santri ini ditugasi menggagas nama pesantren. Mereka mengajukan tiga nama: Bahrul Ulum, Darul Hikmah, dan Mamba’ul Ulum. Dari hasil istikharah, Kiai Wahab memilih nama Bahrul Ulum, artinya, lautan ilmu. Dengan harapan, Pesantren Tambakberas benar-benar menjadi lautan ilmu.

Setelah itu, Kiai Wahab mengadakan sayembara pembuatan lambang pondok pesantren. Setelah melalui pemilihan, lambang yang dibuat Abdulloh Yazid Sulaiman, dari Keboan Kudu Jombang, dinyatakan sebagai pemenang. Namun demikian, oleh Kiai Wahab, lambang tersebut disempurnakan, dengan menyisipkan ayat Al-Qur’an, surat Al-Kahfi ayat 109.

Bahkan untuk prosesi ritualnya, Kiai Abdul Wahab memerintahkan salah seorang santri, bernama Djamaluddin Achmad, asal Gondanglegi Prambon Nganjuk, untuk membacakan manaqib. Hingga saat ini, nama dan lambang tersebut abadi menjadi identitas resmi Pondok Pesantren Tambakberas.

Adapun tahun 1825, saat pertama kali Mbah Sechah membabat alas Gedang untuk mendirikan pondok, diputuskan sebagai tahun awal berdirinya pondok dan diperingati sebagai haflah dan ulang tahun pondok.*

 

*Data diambil dari buku Tim Sejarah Tambakberas.

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like