Memperingati Hari Ulang Tahun Sholat, Ning Rifa berpesan agar Iman Diperkuat
Kediri, Pers Mahrusy. Asrama Al-Misky sukses gelar acara Peringatan Isra’ Mi’raj. Acara ini diselenggarakan pada malam Jum’at, 08 Februari 2024 M / 27 Rajab 1445 H. Usai jama’ah maghrib, segenap santriwati berbondong-bondong menuju Aula Al-Misky untuk melakukan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailany dan pembacaan Maulid ad-Dziba’i.
Rangkaian acara selesai pada pukul 21.58 WIB dan dilanjut dengan Mau’idloh Hasanah oleh Ning Hj. Niswatul Arifah. Pada kesempatan kali ini, Istri dari K.H. Reza Ahmad Zahid ini menyampaikan tentang Sejarah dan Hikmah dibalik peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Isra’ Mi’raj bukanlah legenda atau cerita rakyat biasa yang tidak bisa dipertanggung jawabkan validitasnya. Isra’ Mi’raj memiliki landasan autentik yang mapan, sehingga patut diyakini dan diimani sepenuh hati bahwa peristiwa ini benar-benar dialami Baginda Nabi. Ialah Sang Pembawa Rahmat, Nabiyullah Muhammad SAW.
Peristiwa spektakuler yang kita peringati setiap tanggal 27 Rajab ini merupakan peristiwa yang sulit dirasionalkan dan dinalar oleh akal. Bagaimana tidak, perjalanan menjelajahi tujuh lapis langit dan menyaksikan luasnya jagat raya hanya terjadi dalam waktu satu malam? Dan bagaimana mungkin, seseorang dapat menembus ‘Arsy bahkan hanya berjarak Qaba Qausain Aw Adna dengan Penciptanya? Padahal Jibril sebagai Malaikat paling mulia di sisi Allah saja akan terbakar apabila melewati batas Sidratul Muntaha.
Tapi Inilah bukti kebesaran Allah SWT yang wajib kita yakini dan kita imani sebagai umat Baginda Nabi. Inilah cara Allah memperlihatkan kepada seluruh makhluk di jagad raya sebagaimana ditegaskan dalam Q.S Al-Isra’ ayat 1;
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S Al-Isra’ ayat 1)
Pada ayat tersebut, dijelaskan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi di malam hari. Mengapa? Ini karena waktu malam identik dengan keheningan, kemesraan, kekhusyu’an dan ketenangan. Berbeda dengan waktu siang, dimana pikiran sudah tersibukkan dengan banyak urusan. Dalam hal ini, didalam kitab Al-Isra’ wa Al-Mi’raj li As-Suyuthi, seorang Ulama’ kebanggaan Mesir, Ibn al-Munir (w. 683 H) pernah mengatakan;
“Isra’ Mi’raj terjadi pada malam hari, karena malam adalah waktu umumnya berkhalwat dan waktu spesial… Malam juga merupakan momen berkumpul dengan para kekasih.”
الإسراء والمعراج للسيوطي (ص:٤١)
قال ابن المنير: إنما كان الاسراء ليلا لأنه وقت الخلوة والاختصاص عرفا… ولأن الليل محل الاجتماع بالأحباب
Sebagaimana ungkapan Imam Syafi’i:
مَنْ طَلَبَ الْعُلَا سَهِرَ الَّليَالِي
“Barangsiapa yang mendambakan martabat utama, maka perbanyaklah terjaga di waktu malam.”
Kata الَّليَالِي di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya. Sedangkan arti لَيْلًا dalam ayat pertama Surat Al-Isra’ di atas menunjukkan makna anagogis, yang lebih menekankan aspek kekuatan spiritual malam (the power of night) yang dialami Rosulullah SAW.
Kekuatan emosional-spiritual malam hari yang dialami Rosulullah SAW dipicu oleh suasana sedih yang sangat mendalam. Tahun itu kemudian dikenal sebagai ‘Amul Huzn lantaran Rosulullah SAW terus mengalami ujian yang sangat berat, mulai dari embargo ekonomi, dicaci-maki, serta dikucilkan Kaum Quraisy dari kehidupan sosial.
Disaat dakwahnya tidak disambut hangat oleh para pendahulu kota Mekkah, Rosululloh SAW justru kehilangan orang-orang terkasihnya, yaitu meninggalnya Sayyidah Khadijah R.A sebagai Istri tercinta, serta Paman Beliau yang bernama Abu Thalib R.A. Keduanya merupakan penopang perjuangan dakwah Rosulullah SAW yang senantiasa menemani dan mendukungnya dengan segenap jiwa, raga dan hartanya.
Tak hanya itu, Beliau kemudian hijrah ke daerah Thaif untuk bertemu sahabat-sahabatnya sebagai pelipur lara, namun Rosululloh SAW malah diusir dan dilempari batu hingga pelipisnya mengeluarkan darah. Kesedihan dan kepasrahan yang begitu memuncak itu membuat Rosulullah SAW semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga Allah menganugerahinya peristiwa Isra’ Mi’raj sebagai ‘bingkisan’ atas kuatnya Rosululloh SAW dalam menghadapi cobaan.
Subhanallah. Inilah uswatun hasanah yang harus kita teladani sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Pantaskah kita mengeluh? Padahal cobaan yang kita hadapi tidak ada apa-apanya dengan cobaan yang menimpa Nabi kita.
Maka dari itu, marilah kita memperbaiki hidup kita. Tak perlu bingung mau memulai dari mana. Mulailah dari memperbaiki sholat, yang mana sholat merupakan sebuah pondasi, sebagaimana maqolah;
الصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّيْنِ
“Sholat adalah tiang agama”
Sholat juga berkaitan erat dengan peristiwa Isra’ Mi’raj. Sejarah pensyari’atan sholat pertama kali inilah jatuh pada malam 27 Rajab ketika Rosululloh SAW melakukan perjalanan spiritual dari Mekkah ke Palestina (Isra’) dan dari Palestina ke Sidrotul Muntaha (Mi’raj). Dalam kajian historisnya, Nabi Muhammad SAW telah melakukan negosiasi berkali-kali dengan Tuhannya, dan menjadikan Nabi Musa A.S sebagai penasihat demi kecintaannya pada umat.
Pada peristiwa mulia itu, Allah SWT tak hanya menganugerahi ‘Kekasih’ nya dengan peristiwa Isra’ Mi’raj, akan tetapi juga mempersembahkan bingkisan kepada hamba-Nya yang menjadi umat Muhammad, yaitu sholat.
Didalam kitab Mirqotul Mafatih halaman 134, sholat bahkan dianggap sebagai ‘Mi’raj-nya’ umat Nabi Muhammad SAW yang beriman;
الصلاةُ مِعْرَاجُ المُؤْمِن
“Sholat adalah mi’rajnya orang yang beriman.”
Setelah sholat diringkas, dari yang awalnya 50 menjadi 5 waktu dalam sehari semalam, Nabi Musa A.S masih menyarankan agar Rosululloh SAW kembali lagi ke ‘Arsy karena khawatir umatnya keberatan. Namun saat itu Rosululloh SAW merasa malu apabila harus meminta dispensasi lagi kepada Sang Ilahi. Masya Allah, lihatlah akhlak Nabi kita. Beliau benar-benar memiliki sifat pemalu kepada Penciptanya.
Ini juga hikmah yang dapat kita petik dari kisah diatas. Pemalu bukan berarti malu ketika ditanya ataupun malu untuk speak up di dalam forum musyawaroh. Memiliki sifat pemalu bisa diterapkan apabila auratnya terlihat, ataupun malu saat berhadapan dengan lawan jenis.
Pada momentum ‘hari ulang tahun sholat’ ini Ning Rifa mengingatkan kembali kepada para santri untuk menguatkan iman.
“Perkuat iman kalian. Beruntunglah kalian di Indonesia yang masih bisa melakukan ibadah secara totalitas, lengkap dengan segenap fasilitas. Coba renungkan saudara kita yang berada di Palestina, apakah iman kita bisa sekuat mereka apabila dalam kondisi yang sama?”
Beliau melanjutkan, “Istiqomahlah. Perbanyak membaca do’a اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان setiap selesai sholat, serta perbanyak istighfar menimal 100 kali setiap hari.”
Terakhir, Beliau menghimbau kepada para santri Asrama Al-Misky untuk bersedekah, atau bisa juga diganti dengan memperbanyak sholawat. Dengan harapan, semoga amaliyah yang sudah kita jalankan selama satu tahun ini dapat memperberat timbangan kebaikan kita kelak di yaumil qiyamah. Aamiin.
Wallahu a’lam.