Memperingati Haul Ibu Nyai Hj. Zainab, Ning Hj. Niswatul Arifah sampaikan 3 Ridlo yang harus diharapkan seorang Perempuan
Kediri, Pers Mahrusy. Asrama Al-Misky sukses gelar acara Pembacaan Manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jailany dan Maulid ad-Dziba’i dalam rangka memperingati Haul Ibu Nyai Hj. Zainab binti KH. Abdul Karim. Beliau merupakan istri dari Romo Yai Mahrus Aly, Abah dari KH. Imam Yahya, Ayahanda KH. Reza Ahmad Zahid.
Acara ini diselenggarakan pada malam Ahad, 24 Desember 2023 /11 Jumadil Akhir 1445 H yang bertempat di Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah 3 Ngampel tepatnya di Aula Al-Misky. Dimulai pada pukul 19.00 WIB, Santri Putri Asrama Al-Misky melantunkan sholawat dan dzikir pada Ilahi Robbi. Acara dilanjutkan dengan pembacaan Manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jailany dan Maulid ad-Dziba’i oleh Tim Manaqib, Tim Marawis dan Tim Habsyi Asrama Al-Misky.
Pada kesempatan kali ini, Ning Hj. Niswatul Arifah (istri tercinta KH. Reza Ahmad Zahid) menyampaikan sekilas terkait silsilah keluarga Lirboyo yang mana hal ini penting untuk diketahui oleh para santri yang ber-tholabul ilmi di Pondok Pesantren Lirboyo. Selanjutnya, Beliau menceritakan tentang peran perempuan dan sumbangsih Shohibul Haul terhadap sejarah Pondok Pesantren Lirboyo yang mana keberkahan beliau bisa dirasakan oleh anak cucu dan seluruh santrinya hingga detik ini.
“Perjuangan Mbah Yai Abdul Karim dalam mendirikan Pondok Pesantren di Lirboyo tidak menafikan peran perempuan yang selalu mendampinginya, yakni istri beliau Ibu Nyai Dlomroh.
Begitu pula dengan putrinya, Ibu Nyai Zainab yang malam ini kita hauli, Beliau merupakan istri yang ta’at kepada suaminya. Meskipun Mbah Yai Mahrus merupakan santri dari abahnya (KH. Abdul Karim), Ibu Nyai Zainab tetap menghormatinya sebagai imam sekaligus kepala keluarga. Keduanya sama-sama sam’an wa tho’atan dan sama-sama saling memuliakan.” Tutur Ning Rifa.
Kemudian, Beliau menyampaikan tentang 3 Ridlo yang harus diharapkan oleh seorang perempuan;
1. Ridlo Orang tua
Telah masyhur hadist yang menjelaskan kewajiban menghormati orang tua, terutama seorang Ibu. Dan ini harus dibuktikan dengan haliyah kita, jangan sekedar kata-kata belaka. Disamping itu, pembiasaan menghormati orang tua perlu dilakukan agar hal tersebut dapat melekat dan pada akhirnya terbiasa.
2. Ridlo Guru
Tak hanya bagi Perempuan, Ridlo Guru juga sangat diharapkan para pejuang ilmu, baik itu kaum hawa maupun kaum adam. Di zaman milenial ini, akhlakul karimah semakin terkikis, adab dan sopan santun pun mulai terkuras habis.
Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas tarbiyah dhohiriyah dan ruhaniyah anak didiknya, seorang Guru wajib untuk dihormati dan diharapkan ridlonya. Meskipun suatu saat kita sudah keluar dari Pondok Pesantren atau suatu institusi, kewajiban menghormatinya jangan sampai terhenti.
3. Ridlo Suami
Setelah menginjak masa dewasa dan mengarungi bahtera rumah tangga, seorang Perempuan juga berkewajiban untuk sam’an wa tho’atan kepada suaminya.
Kita dapat mengambil ibroh dari Kisah Sayyidina Ali RA dan Sayyidah Fatimah RA. Suatu saat Sayyidina Ali baru pulang setelah mencari معيشة. Kemudian Beliau memanggil istrinya untuk mengambilkan air minum yang telah berada didekatnya, karena Sayyidah Fatimah sedang mengurus anaknya dan juga sibuk di dapur untuk menyiapkan hidangan, Sayyidah Fatimah akhirnya memohon kepada sang suami untuk mengambil sendiri.
Sekekita Sayyidina Ali terdiam karena marah dan cemburu karena permintaannya diduakan oleh pekerjaan yang lain, meskipun itu untuk dirinya juga. Setelah tau kalau suaminya duko, Sayyidah Fatimah langsung membujuknya hingga amarahnya redam.
Kemudian, suatu saat Sayyidah Fatimah menceritakan hal tersebut kepada Ayahandanya. Rosululloh SAW pun menjawab; “Demi Allah, ya Fatimah. Andaikan saat itu kamu meninggal dan suamimu belum ridlo atas perbuatanmu, Demi Allah, Ayah tidak bisa menolongmu.”
Namun, apakah seorang Perempuan tidak bisa melakukan apa-apa tanpa adanya Ridlo? Tidak. Ridlo bukanlah satu-satunya landasan seorang Perempuan dalam mengarungi lika-liku kehidupan. Dalam mengambil suatu keputusan, kita dianjurkan untuk ber-musyawarah sebagai wasilah menemukan jalan keluar.
Begitu juga dengan kaum hawa, mereka dapat menyuarakan hak dan pendapatnya tanpa menafikan Ridlo, kuncinya adalah musyawarah. Ingat, emansipasi wanita tetap berlaku selagi adab dan sopan santun tertanam dalam kalbu dan tingkah laku.
Mbah Nyai Dlomroh, di masa awal pernikahannya dengan Mbah Yai Abdul Karim pun mengalami demikian. Dulu Mbah Yai Abdul Karim sempat mengalami dilema antara merintis perjuangannya dalam dunia Pendidikan atau melaksanakan tanggung jawabnya sebagai Kepala rumah tangga. Keduanya sama-sama penting bagi Beliau. Kemudian Mbah Nyai Dlomroh mengajukan pendapat agar Mbah Yai Abdul Karim fokus di dalam Pondok Pesantren saja, sedangkan perihal معيشة akan diupayakan oleh Mbah Nyai Dlomroh.
Ini merupakan bukti emansipasi wanita, bahwa seorang wanita tetap dapat menyuarakan pendapatnya tanpa menghilangkan kodrat wanita yang harus sam’an wa tho’atan, baik kepada orang tua, guru maupun pasangannya.
Ning Rifa kembali berpesan; “Jangan sekali-kali kalian ingin keluar dari Pondok Pesantren sebelum kalian faham betul 3 Ridlo yang harus kalian harapkan sebagai seorang Perempuan. Kehidupan di luar itu sangat berbeda dengan kehidupan di Pondok Pesantren. Oleh karena itu, tetap ikutilah apa yang sudah diajarkan oleh Guru-Guru kita. Ikutilah uswatun hasanah yang telah dicontohkan Baginda Nabi Muhammad SAW.”
Semoga amaliyah dan do’a yang telah kita panjatkan pada malam hari ini menjadi amaliyah yang bisa menghantarkan kita pada Ridlo orang tua dan tentunya para Guru kita. Semoga barokah Shohibul Haul dapat meluber kepada para guru, orang tua, keluarga dan kita semua. Semoga kita selalu mendapat ilmu yang barokah, manfaat, dan maslahat dunia akhirat. Aaamin.
Wallahu a’lam.