Terlahir dengan kodrat seorang wanita merupakan suatu takdir yang mulia. Karena semua umat manusia terlahir dari rahim seorang wanita. Tanpa wanita sebagai perantara, manusia tidak mungkin ada di dunia. Bahkan nabi Muhammad pun berwasiat dalam hadistnya
إستو صوا بالنساء خيرا
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita (HR: Muslim)”
Oleh sebab itu, kita sebagai umat Nabi Muhammad seyogyanya mengamalkan wasiatnya. Salah satu caranya yakni dengan menegakkan emansipasi wanita.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), emansipasi adalah pembebasan dari perbudakan dan persamaan hak dalam berbagai kehidupan masyarakat. Dilansir dari laman web Kompas.com yang mengutip dari European institute for gender equality (EIDGE) emansipasi wanita adalah proses, strategi, dan berbagai upaya para wanita untuk membebaskan diri dari otoritas dan control laki-laki dalam struktur kekuasaan tradisional.
Mengapa harus ditegakan emansipasi wanita?
Karena dari zama jahiliyah, kebebasan hak-hak wanita terbatas oleh setatus gendernya. Wanita dianggap lemah dan mendapat julukan naqisotul aqli. Padahal dipandang secara realita manusia lahir dari rahim seorang ibu, yang notabenya madrosatil ula bagi anak-anak adalah seorang ibu, makanan pokok bayi adalah asi seorang ibu.
Lalu bagaimana mungkin hak-hak wanita dibatasi sedangkan wanita adalah cikal bakal seorang ibunda? Seorang anak yang cerdas dan terpelajar adalah anak yang terlahir dari rahim ibu yang cerdas lagi berpendidikan.
Oleh sebab itu, hapuskan prespektif negatif bahwa wanita naqisotul aqli. Tidak akan ada ulama hebat yang namanya mendunia dan abadi sepanjang masa tanpa campur tangan dan didikan lagi bimbingan dari sang bunda.
Contohnya Imam Bhukori sang perowi hadist menjadi ulama hebat berkat do’a dan didikan dari sang bunda, Imam Ahmad bin Hambal menjadi imam kategori minaimatil arba’ah karena memiliki ibunda yang luar biasa, dan bukan hanya itu saja wanita muslimah terdahulu seperti Khadijah binti Khuwailid sang istri Rasulullah dikenal sebagai pedagang sukses wanita pada masanya yang menguasai perdagangan di sepanjang Jazirah Arabia, Nusayba binti Ka’ab Al-Mazneya dikenal sebagai dokter dan relawan perang yang memiliki jasa besar dalam Perang Uhud, dan di Indonesia memiliki Raden Ajeng Kartini sang pelopor kebangkitan emansipasi wanita pribumi.
Dari uraian diatas, jika di kupas lebih dalam lagi tak sedikit dari wanita dunia yang memiliki andil besar dalam perkembangan zaman tradisional menuju milenial. Di Indonesia saja tanpa adanya sosok Ibu Kartini, tidak akan mungkin wanita yang hidup pada era modern ini terbebaskan hak-haknya. Mungkin saja, wanita Indonesia akan terbatasi hak pendidikannya, hak kebebasan berkarirnya, seta hak keleluasaan mengutarakan pendapatnya. Yang pada akhirnya para wanita hanya akan berdiri di belakang dan berperang dengan bumbu-bumbu, sapu, dan timba sumur.
Padahal tolak ukur baik atau tidaknya suatu negara dilihat dari wanitanya. Wanita mendapat julukan sebagai tiang negara. Lalu apakah pantas gelar tiang negara disandingkan dengan gelar naqisotul aqli dan belum mencapai derajat emansipasi? Tentu tidak bukan.
Itu artinya untuk mengokohkan tiang negara juga untuk mewujudkan kesejahteraan negara khususnya dan dunia umumnya harus dimulai dari pondasinya terlebih dahulu. Berawal dari pondasi yang kokoh dan tiang yang kokoh maka akan tercipta menara yang kokoh pula.
Dengan demikian, negara harus menciptakan wanita-wanita yang tangguh, berwawasan luas dan mendunia, serta terpelajar dengan cara menyetarakan haknya dalam mengenyam pendididkan dan memberi kebebasan dalam mengekspresikan karirnya. Karena sejatinya, wanita adalah seorang pemimpin, seperti yang termaktub dalam hadist Nabi Muhammad yang artinya,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pemimpin negara adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. (HR. Bukhori Muslim)
Nah, dengan demikian wanita tak harus lagi berada dibelakang suami dan gagap teknologi serta buta informasi. Seperti ibu nyai kita, yakni Ibu Nyai Dlomroh garwo dari KH Abdul Karim, berkat jasa kepemimpinan dan ketelatenan beliau dalam mengelola manajemen keuangan Pondok Pesantren Lirboyo. Pondok Pesantren Lirboyo dapat berdiri kokoh dan menduduki kategori salah satu pondok pesantren salafiyah terbesar di Indonesia. Wallahu a’alam