Menelaah Ekspresi Ketika Dipuji
Ketika dipuji orang lain, bagaimana sikap untuk menanggapinya? Pastinya bahagia kan, karena kalau anda bersikap datar maka akan aneh, bisa-bisa nantinya dikatakan seperti zombie yang tak punya ekspresi.
Memang, sebagai manusia kita dituntut untuk beperilaku baik dalam berkehidupan sosial, seperti halnya menanggapi ketika dipuji ini. Tetapi ada batasan-batasan tertentu agar nantinya tidak menimbulkan mudhorot bagi diri kita sendiri, Al-Habib Umar Bin Hafidz memberikan keterangan mengenai beberapa sikap yang perlu dihindari ketika kita dipuji, dalam sebuah kitabnya yang berjudul Qobasu An-Nur Al-Mubin min ihya ulumuddin (Ringkasan dari Kitab Ikhya Ulumuddin yang mengkaji tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembersihan hati). Beliau memberikan keterangan, bahwa ada dua kemungkinan sikap yang dapat menimbulkan mudharat (dosa) tatkala dipuji,
Pertama, dikhawatirkan ketika seseorang dipuji akan timbul benih-benih kesombongan atau kebanggaan diri. Sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan, pastinya reflek bangga diri akan muncul, apalagi dalam situasi penuh bahagia karena telah mencapai kesuksesan, terkait hal semacam seperti ini, kita perlu mawas diri agar dapat menghindari perilaku-perilaku yang memicu adanya sikap sombong. Mengingat, dalam kitab Tanbihul Ghofilin Karangan Al-Imam Al-Faqih Abu Laits As-Samarqondi, terdapat sebuah keterangan yang mengatakan, “Orang sombong kelak di Hari Kiamat mengecil seperti semut, ia terhina di tempat mana saja, masuk neraka diberi minum thinatul khabal (yaitu) darah campur nanah penghuni neraka” ngeri kan!.
Pernah juga terjadi suatu peristiwa pada masa Sahabat Khulafaurrasyidin yang mengajarkan untuk selalu berhati-hati pada saat dipuji orang. Dimana, ketika Sahabat Umar Ra sedang duduk bersama sekelompok orang, tiba-tiba datang Sahabat Al-Jarud Ibn Mundzir, lantas dari sekelompok orang itu berkata, “Orang ini adalah Kepala suku Rabi’ah.” Perkataan ini didengar langsung oleh Umar dan orang-orang yang ada disekitarnya, termasuk Al-Jarud, Ketika Al-Jarud mendekati Umar, Umar langsung memukulnya dengan cambuk yang ada di tangannya.
Al-Jarud lantas bertanya, “Ada masalah apa antara diriku dan dirimu, hingga engkau mencambukku wahai Amirul Mu’minin?” Umar menjawab , “Apakah engkau tidak mendengar perkataan tadi?” Al-jarud lalu menjawab, ”Aku mendengarnya, lantas kenapa?” Umar kemudian berkata, ”Aku khawatir perkataan tadi memengaruhi hatimu (menjadi sombong), maka aku ingin menundukan kepalamu.” Cerita tersebut dikutip dari Kitab Qobasu An-Nur Al-Mubin min ihya ulumuddin.
Kemudian, yang kedua, terkadang Orang yang dipuji akan menjadi besar hati, senang lalu menjadi lemah dan malas untuk berbuat baik. Bisa saja, menjadi malas karena sudah menganggap sukses terhadap sesuatu yang telah dicapai, takutnya, juga membuat sesorang menganggap dirinya selalu yang terbaik lantaran sudah terbuai dengan ungkapan-unkapan manis dari orang lain.
Al-Habib Umar Bin Hafiz telah merefleksikan hal ini melalui pemikiran-pemikran ulama zaman dahulu, seperti sebuah keterangan, salah satu Ulama yang bernama Muthariff berkata, “Setiap kali aku mendengar pujian atau sanjungan, jiwaku pasti bergetar.” Sedangkan ziyad bin Abu Muslim berkata, “Setiap orang yang mendengar pujian atau sanjungan untuk dirinya, pasti akan digoda oleh setan untuk bersikap Riya’, akan tetapi orang mukmin akan selalu melihat dirinya sendiri Tawadhu’.”
Ibnu Mubarok menanggapi dua perkataan ulama tadi “Perkataan Ziyad dan Muthariff itu benar, yang dimaksud oleh Ziyad adalah hati orang awam, sedang yang dimaksud oleh Muthariff adalah hati orang khusus.” Jika pujian atau sanjungan tidak membahayakan orang yang dipuji atau yang memuji, maka pujian tidak dilarang, bahkan kadang dianjurkan. Rasulullah terkadang memuji sahabat-sahabat beliau, beliau memuji dengan penuh kejujuran dan mata batin. Dan para sahabat tidak menjadi sombong, bangga diri dan hilang semangat untuk ibadah dengan pujian itu, karena kemuliaan kedudukan mereka.
Dari sini kita mendapatkan pelajaran bahwasanya, orang yang dipuji hendaklah bisa menjaga diri dari bahaya kesombongan, bangga diri dan hilang semangat dalam kebijakan. ketika kita dipuji juga alangkah baiknya mengetahui dari bahaya dan resiko yang dapat merusak amal kebajikan.
Sufyan ibn Uyainah berkata, “Pujian tidak akan berbahaya bagi orang yang mengenali dirinya.”
Wallahu A’lam.