Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan seringkali membuat perdebatan akan kesetaraan. Dengan kesimpulan sepihak berpendapat bahwa kaum laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Padahal Islam tidak pernah mencela seorang perempuan sebagaimana dalam Surat An-Nisa ayat 124 terdapat frasa Min Dzakarin au Unsa, dalam ayat tersebut membuktikan bahwa perempuan adalah objek yang juga disapa oleh Al-Qur’an. Menerobos stigma negatif dan dikotomi kendali Al-Qur’an memperkuat bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki itu setara.
Syariat sendiri telah mengatur tentang konsep kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki. Sayangnya stigma dan labelitas ketidaksetaraan ini terkadang muncul dari sebuah argumentasi dan spekulasi yang setengah-setengah hingga tumbuh menyebar di masyarakat kita. Misalnya saja pertanyaan tentang bolehkah perempuan berkarir? Atau berpolitik sekaligus? Nah ini yang masih menjadi bumbu deskriminasi yang sampai hari ini terjadi. Jika kita menengok pada zaman nabi banyak sekali para shahabiyyah yang berkiprah dalam dunia kerja. Seperti Rubayyi binti Mu’awwiz dan Ummu Athiyah yang bekerja sebagai pelayan dan pemberi obat bagi laki-laki yang ikut berperang, Zainab istri sahabat Abdullah Ibn Mas’ud yang bekerja sebagai pedagang, Ummu Mu’asyir yang bekerja sebagai pengelola kebun kurma.
Dalam peradaban Fikih Syafi’i juga telah dijelaskan bahwa ketika perempuan telah beranjak dewasa dan dirasa mampu, maka tanggung jawab orangtua dalam menafkahinya telah gugur. Ia berhak bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan dalam kondisi tidak ada yang menafkahi ia berkewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan ketika ia sudah ruumah tangga ia tetap memiliki hak untuk berkarir. Dengan prinsip kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu tetap ia lakukan, baik pekerjaannya berada di dalam atau di luar rumah atas seizin suami.
Dengan dihadapkan realita yang seperti itu sungguh hebat perempuan yang bisa mengedalikan perjalanan karirnya tanpa mengesampingkan tugas utamanya dalam mengurus rumah tangga. Perempuan dalam ruang politik juga seringkali dianggap makhluk yang kurang secara akal hal ini mendominasi laki-laki lebih rasional dibandingkan perempuan. Namun Kehadiran perempuan di ranah politik juga sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan suara perempuan di parlemen. Keterlibatan perempuan dalam sistem politik untuk tujuan representasi memang diperlukan, tetapi harus diimbangi dengan kualitas pengetahuan dan pengalaman politik untuk dapat diterima dan mewakili kepentingan umum masyarakat. Dengan mewujudkan tujuan politikus perempuan diharapkan mampu menetapkan aturan yang maslahat bagi perempuan serta sesuai dengan kepentingan dan kapasitasnya. Dengan adanya tulisan ini penulis mengharapkan segenap aparat pemerintah dan pemangku kebijakan lainnya membentuk kebijakan yang mendukung kesetaraan gender untuk mencapai kebijakan inklusif yang kuat dan berkelanjutan. Melalui program kesetaraan gender yang menempatkan hak dan kedudukan perempuan tanpa ada deskriminasi budaya maupun agama.