web analytics

Mengapa Kiai Yang dirayakan Kematiannya, sedangkan Nabi Kelahirannya?

Mengapa Kiai Yang dirayakan Kematiannya, sedangkan Nabi Kelahirannya?
0 0
Read Time:1 Minute, 54 Second

Selepas menghadiri Haul KH Imam Yahya Mahrus kemarin (9/9), Aku kembali teringat teka-teki yang masih menjadi misteri. Yap, mengapa Kiai yang dirayakan adalah kematiannya sedangkan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. umat berselebrasi atas kelahirannya?

Padahal kalau kita dihadapi dua keadaan bersamaan maka berlaku kaidah,
الفرح يغلب الحزن

“Kebahagiaan mengalahkan kesedihan”

Makannya tgl 12 Robiul Awal bertepatan sebagai Hari Lahir dan Wafatnya Nabi, yang dirayakan kelahirannya, bukan wafatnya beliau.

Jelas juga karena kelahiran Nabi adalah awal dari segala kebahagiaan.
Lantas ketika Kiai yang diHauli apakah berarti kematian kiai itu adalah sebuah kebahagiaan? Bukankah kematian itu identik dengan kesedihan? Kenapa bukan kelahiran Kiai yang dirayakan?

Disuatu obrolan malam, Dr Hery membuka diskusi ini, kemudian menanyakan bagaimana pendapatku dulu, lalu Kujawab, “Karena Kiai itu ketika wafat, meninggalkkan ilmu, meninggalkan pesantren, kerukunan warga dll. maka letak bahagianya Pas Meninggal ini pak” Jawabku.

“Nah, ketika Nabi Lahir kan membawa banyak keberuntungan, contohnya Padamnya Api yang disembah kaum Majusi, Istana Kisra berguncang, Langit bercahaya terang, dll.” Begitu Argumentasiku yang bersifat insidentil.

Kemudian Dr Hery mengutarakan pendapatnya, kurang lebih seperti ini, Sejak Nabi Lahir, itu dalam keadaan Maksum artinya terjaga dari segala dosa, maka sudah nyata kalau Nabi ini bahagianya sejak dari lahir dan Wafatnya auto Husnul Khotimah, beda dengan Kiai, kiai lahir itu masih berpotensi berbuat dosa, jadi belum terbentuk masa depan kiai ini nanti bagaimana,

Nah kejelasannya Kiai ya ketika sudah wafat, karena Pas Wafat itu adalah puncak kebahagiaan kiai, karena berhasil meninggalkan dunia ini dengan husnul Khotimah, maka kita lebih merayakan wafatnya Yai, daripada kelahirannya, karena jelas puncak kebahagiaan Kiai adalah disaat wafatnya, bukan kelahirannya.”
Begitu pendapat Dr Hery, hal ini juga mengingatkan saya mengenai kisah barseso yang selama Hidup terkenal jadi wali, eh wafatnya malah suul khotimah, naudzubillah.

Sekarang lagi  memasuki bulan Maulid Nabi, mari kita rayakan teringat dawuh Sayyidina Abu Bakar,
مَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا عَلَى قِرَاءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ رَفِيْقِيْ فِي الْجَنَّ
“Barangsiapa yang berinfaq satu dirham untuk membaca Maulid Nabi ﷺ niscaya orang tersebut kawan karibku didalam Surga.”

Bila masih mempertanyakan dalil merayakan maulíd Nabi, maka kecintaannya kepada Nabi patut dipertanyakan, sekian Wallohua’lam.

@elnahrowi

About Post Author

Elnahrowi

Santri Pondok Al-Mahrusiyah yang suka Menulis dan Berjurnalis. Asal dari Sragen Jawa Tengah
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like