Mengapa Nabi Berpoligami?
Nabi adalah manusia sempurna tanpa cela. Baik paras, sifat, dan sikapnya indah tidak terkira. Sayyidah Aisyah sampai mengatakan bahwa Nabi adalah Al-Qur’an berjalan. Saking indahnya perangai Nabi. Oleh karena itu, atas segala derajat dan mulianya Nabi, tentu kita sebagai umat harus benar-benar ta’zhim hormat dengan sepenuh cinta.
Tapi, di zaman sekarang, tidak sedikit dari khalayak yang kurang rasa ta’zhim pada Nabi dengan hal-hal yang tidak patut. Mereka mencari celah-celah salah dari manusia yang terjaga dari salah itu. Mungkin tidak sedikit dari mereka yang masih membahas dan mempermasalahkan tentang poligaminya Nabi. Dengan segala tidak ucapan tidak patut dan menyudut, mereka menyebut atas poligami itu dengan ungkapan Nabi adalah budak syahwat dan nafsu. Seorang lelaki hiperseks. Sungguh ungkapan yang tidak terpuji.
Lalu, bagaimana tanggapan kita selaku umat, jika mendapat pernyataan seperti itu? Belum lagi jika kita disudutkan dengan pertanyaan kritis, ‘di hukum syariat islam dan di Al-Qur’an sudah jelas-jelas bagi muslim laki-laki hanya bisa memiliki istri maksimal 4 dengan catatan harus adil, masna wa tsulasa wa ruba’. Kok Nabi memiliki istri 11 dan bertentangan dengan hukum syariat dan Al-Qur’an?’ bagaimana sikapmu jika mendapat pertanyaan seperti itu?
Sebelum dijawab, padahal Al-Alamah Imam Haramain Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini As-Syafi’i sudah menjelaskan dalam kitab Al-Waroqotnya, ‘bahwa hukum itu ada yang umum ddan khusus. Sedangkan hukum khusus itun diperuntukan bagi orang yang khusus, seperti menikahnya Nabi dengan lebih dari empat orang perempuan.’
Hal itu memang sudah menjadi ke khususan bagi Nabi dan menjadi dalil bahwa Nabi itu memiliki adil yang luar biasa. Dan segala perilaku Nabi itu tidak mengharap sesuatu kecuali atas izin dan kehendak Allah Swt. termasuk memiliki 11 istri; Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakar, Hashah binti Umar bin Khattab, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsyi, Juwairiyah binti Al-Harits, Ummu Habibah, Shafiyah binti Huyay, dan Maimunah binti Al-Harits.
Dengan banyaknya jumlah Istri Nabi tak ayal membuat para pembenci itu mempermasalahkan mengenai poligaminya Nabi. Untuk menjawab pertanyaan di atas sebelumnya, Syekh Muhammad Ali al-Shabuni telah menjelaskan dalam kitabnya, Syubuhat wa Abathil haula Ta’adud Zaujat al-Rasul, tentang 2 poin sangkalan pernyataan dan pertanyaan para orientalis tersebut. beliau menjelaskan, ‘ اولا لم يعدد الرسول الكريم صلى الله عليه وسلم زوجاته الابعد بلوغه سن الشيخوخه اي بعد ان جاوز من العمر الخمسين ثانيا جميع زوجاته الطاهرات ثيبات ارامل ماعدا السيدة عائشة رضي الله عنها فهي بكر وهي الحيدة من بين نسائه التي تزوجها صلى الله عليه وسلم وهي في حالة الصبا والبكارة
‘Pertama, Rasul yang mulia tidak melakukan poligami kecuali setelah usia beliau menginjak senja, yaitu setelah melewati usia 50 tahun. Kedua, semua istri beliau yang suci itu berstatus janda, kecuali Sayyidah Aisyah Ra. yang berstatus gadis (perawan). Dia adalah satu-satunya di antara istri beliau yang dinikahi saat masih kecil dan gadis.’
Beliau meneruskan, ‘jika tujuan dari pernikahan itu adalah menuruti syahwat, mengikuti hawa nafsu atau hanya bercumbu dengan para wanita, maka sungguh Nabi akan menikah saat usia muda bukan saat usia senja, dan beliau tentu akan menikahi para gadis yang masih muda, bukan janda-janda yang sudah berumur.’
‘apakah masuk akal jika beliau menikahi para janda dan meninggalkan para gadis, dan menikah saat usia senja dan meninggalkan usia remaja, jika tujuannya adalah bercumbu dan melampiaskan syahwat.’
Sungguh masuk akal apa yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Ali al-Shabuni. Jawaban singkat, padat, dan cerdas yang mampu mengkritisi apa yang disangkalkan pertanyaan dangkal mereka, para pembenci. Terjaganya Nabi dari segala cela dan hina. Allahumma Sholi Ala Muhammad!
Selanjutnya untuk poligami Nabi sudah dijelaskan oleh Syekh Muhammad Ali al-Shabuni, bahwa nabi menikahi para perempuan itu bukan semata-mata untuk melampiaskan syahwat dan bersenang-senang. Dan hal ini, dalam poligami Nabi ada beberapa hikmah di baliknya yang menjadi tujuan pernikahan Nabi.
Pertama, al-hikmah al-ta’limiyah atau hikmah yang bersifat pengajaran. Tujuan mendasar dari poligami yang dilakukan Nabi adalah penjelasan beberapa ajaran untuk kaum wanita. Beliau mengajari mereka hukum-hukum syar’i. Kaum wanita itu separo dari populasi masyarakat. Kepada mereka diwajibkan beban (taklif) sebagaimana diwajibkan kepada kaum lelaki. Banyak dari mereka yang malu bertanya kepada Nabi Saw tentang sebagian masalah syar’i khusunya yang berkaitan dengan mereka, seperti hukum haid, nifas, jinabah, permasalahan rumah tangga, dan lainnya.
Seorang wanita berusaha mengalahkan rasa malunya ketika ingin bertanya kepada Nabi yang mulia tentang masalah-masalah ini. juga Nabi tercipta dengan memiliki rasa malu yang besar. Beliau –seperti diriwayatkan dalam kitab-kitab sunnah- memiliki rasa malu yang sangat besar dari pada para gadis yang dipingit.
Oleh karena itu, Nabi Saw tidak mampu untuk menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepada beliau yang berhubungan dengan kaum wanita secara jelas dan sempurna. Bahkan, beliau membuat kinayah (metonimi, tidak secara terang-terangan) di sebagian waktu dan terkadang seorang wanita tidak paham dengan cara kinayah yang dimaksud oleh Nabi.
Sayyidah Aisyah Ra meriwayatkan, bahwa ada seorang perempuan dari kalangan Anshar (Penduduk Madinah) yang bertanya kepada Nabi Saw tentang cara mandi setelah haid. Nabi Saw mengajarinya bagaimana cara mandi. Kemudian beliau berkata kepada perempuan itu, ‘Ambilah sepotong yang diberi minyak misik, yakni sepotong kapas yang diberi minyak wangi, lalu bersucilah dengannya.’ Perempuan itu bertanya, ‘bagaimana aku bersuci dengannya?’ Nabi menjawab, ‘bersucilah dengannya.’ Dia kembali bertanya, ‘bagaimana wahai Rasulullah, aku bersuci dengannya?’ Beliau kembali menjawab, ‘Subhanallah, bersucilah dengannya.’
Sayyidah Aisyah berkata, “Lalu aku tarik dia dengan tangannya, kemudian aku katakan, ‘Letakan sepotong kapas itu di sini dan di sini, dan usapkanlah pada bekas darah haid. Dan aku jelaskan kepadanya tempat di mana dia perlu meletakan kapas itu.”
Maka, istri-istri Nabi adalah sebaik-baiknya pengajar dan yang menunjukkan mereka (wanita anshar). Dengan perantara mereka, para wanita memahami ajaran agama Allah.
Kedua, al-hikmah al-tasyri’iyyah atau hikamh yang berkaitan dengan pelaksanaan syariah. Hikmah ini jelas bisa ditemukan dengan mudah, yaitu hikmah itu berkaitan dengan penghapusan sebagian tradisi jahiliyah yang munkar. Dicontohkan seperti, tradisi adopsi atau al-tabanni, mengangkat anak yang dilakukan orang-orang Arab sebelum islam. Tradisi itu menjadi ajaran agama yang diwarisi secara turun temurun di kalangan mereka. Salah seorang mengangkat anak yang bukan dari keturunan kandungnya, dan menjadikannya seperti hukum anak kandung.
Jika salah seorang mengangkat anak orang lain, maka dia berkata kepada anak itu, ‘engkau anakku, maka aku bisa mewarisimu dan engkau bisa mewarisiku.’ Islam tidak menyetujui mereka yang melakukan kebatilan dan tidak membiarkan mereka terjerembab dalam kegelapan masa jahiliyah.
Seperti Nabi yang pernah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak, sebelum beliau diutus. Begitulah Nabi yang mulia mengadopsi Zaid bin Haritsah dan akhirnya orang-orang memanggil Zaid setelah peristiwa itu dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Lalu, turunlah ayat, ‘Panggilah mereka (anak-anak itu) dengan (memakai) nama ayah-ayah mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah.’ (QS. Al-Ahzab/33:5). Nabi lantas berkata: ’Engkau adalah Zaid bin Haritsah bin Syaharil.’ Nabi Saw menikahkan Zaid dengan putri bibi beliau, Zainab binti Jahsy al-Asadiyyah.
Zainab hidup bersama Zaid dalam masa tertentu. Namun, itu tidak lama. Hubungan keduanya memburuk. Ucapan orang-orang terasa berat bagi Zaid. Zainab merasa lebih mulia dari pada Zaid, karena Zaid dulunya adalah seorang budak sebelum diadopsi Nabi, sedangkan Zainab adalah Wanita yang memiliki darah biru.
Karena hikmah yang dikehendaki Allah, Zaid menceraikan Zainab, lalu Allah memerintahkan Nabi agar menikahi Zainab, untuk membatalkan adopsi dan menegakkan dasar-dasar Islam, dan menghancurkan sendi-sendi jahiliyyah.
Namun, Nabi merasa khawatir terhadap ucapan orang-orang munafik dan orang-orang fasik jika mereka membicarakan hal itu dan mengatakan, ‘Muhammad menikahi istri anaknya.’ Maka Nabi lambat melakukan itu sehingga turun ayat yang menegur Nabi Saw dengan keras dalam firman Allh Swt, ‘Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia, supay tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.’ (QS. Al-Ahzab/33:37).
Dengan demikian selesai hukum adopsi dan batal tradisi-tradisi yang diikuti pada masa jahiliyyah daan yang menjadi ajaran agama yang diikuti tanpa bisa dihindari.
Ketiga, al-hikmah al-ijtima’iyyah atau hikmah yang berssifat sosial-kemasyarakatan. Hal ini tamapak jelas dalam pernikahan Nabi Saw dengan putri al-shidiq, Sang Wazir pertama. Kemudian dengan putri wazir kedua (Umar) Ra. Selanjutnya dengan hubungan Nabi Saw dengan Quraisy sebagai hubungan mertua-menantu (mushaharah) dan nasab. Pernikahan beliau dengan beberapa Wanita itu menghubungkan antara klan-klan (buthun) dan kabilah-kabilah (qabail) dengan ikatan kuat.
Nabi Saw tidak menemukan balasan yang layak untuk Abu Bakar di dunia yang lebih besar dari pada memberinya kebahagiaan dengan menikahi putrinya. Begitupun dengan Umar, Umar adallah pahlawan Islam yang dengannya Allah memuliakan Islam dan umat Islam. Dengannya pula Allah meninggikan mercusuar agama. Oleh karena itu, hubungan Nabi Saw dengannya melalui mushaharah merupakan sebaik-baiknya balasan atas apa yang dilakukan Umar di jalan Islam.
Keempat, al-hikmah al-siyasiyyah atau hikmah yang bersifat siasat politik. Nabi Saw menikahi sebagian para Wanita dengan tujuan melunakkan hati dan mengumpulkan para kabilah yang ada di sekitar beliau.
Seperti diketahui, manusia jika menikah dengan orang yang satu kabilah dan satu keluarga, maka anatara dia dan mereka ada hubungan kerabat dann hubungan mertua-menantu (mushaharah). Hal itu, sesuai watak manusia akan menjadikan mereka (kabilah, keluarga) untuk menolong dia dan melindunginya.
Dicontohkan, seperti pernikahan Nabi dengan Sayyidah Juwairiyah binti Al-Harits di mana Al-Harits adalah pimpinan Bani al-Musthaliq. Juwairiyah menjadi tawanan beserta kaum dan keluarganya. Selanjutnya, setelah menjadi tawanan, dia ingin menebus dirinya, lalu dia mendatangi Nabi Saw seraya minta tolong kepada beliau dengan harta (meminta pembebasan dengan tebusan harta).
Nabi yang mulia lalu menawarkan untuk memberi tebusan dan menikahinya. Juwairiyah menerima tawaran itu, lantas Nabi menikahinya. Umat Islam berkata, ’Apakah keluarga Rasulullah Saw masih ada di bawah tangan kita?’ Yakni mereka yang menjadi tawanan. Umat Islam lalu memerdekakan semua tawanan yang ada di bawah tangan mereka (mereka kuasai).
Ketika Bani Musthaliq melihat kehormatan dan kemuliaan ini serta keluhuran dan keperwiraan ini, mereka lantas masuk islam semuanya, masuk ke dalam agama Allah dan menjadi orang-orang mukmin. Pernikahan Nabi dengan Juwairiyah menjadi berkah pada dirinya, kaumnya dan keluarganya, karena itu menjadi sebab keislaman mereka dan kemerdekaan mereka. Juwairiyah menjadi tangan kanan bagi kaumnya.
***