web analytics

Mengapa Ulama Mendekat ke Orang Kaya dan Pejabat ?

Mengapa Ulama Mendekat ke Orang Kaya dan Pejabat ?
Foto Gus Miftah Gus Ipang dan Penulis (kiri)
0 0
Read Time:3 Minute, 19 Second

Ulama kita kenal sebagai tokoh yang menguasai ilmu agama islam sekaligus mengamalkannya. Dipandangan masyarakat, sebagai warosatul anbiya’ -pewaris para Nabi- Ulama’ acapkali dicap sebagai manusia yang suci tanpa silau dengan hal-hal duniawi. Seluruh hidupnya tercurahkan terhadap perkara-perkara ukhrowi. Ulama juga menjaga diri dari orang kaya dan pejabat dua entitas yang begitu dekat dengan materi.

Namun, seringkali kita disuguhkan pemadangan ketika ulama itu sering bersamaan dengan pengusaha dan pejabat, duduk di atas panggung yang sama bahkan saling berkunjung, di dunia Medsos pun saling follow memfollow.
Padahal ada hadits dhoif yang berbunyi “Seburuk-buruk ulama adalah yang mendatangi umara dan sebaik-baik umara adalah yang mendatangi ulama.” Meskipun demikian, kita sebagai masyarakat awam tidak boleh suudzon terhadap hal itu.

Lalu bagaimana kita menyikapinya?

Kedekatan Ulama kepada pengusaha dan pejabat ini sudah dibahas dari dulu, dikisahkan oleh Imam Mawardi dalam Kitabnya Adabu dunnya waddin, tatkala bapak bazarjamhar ditanya, ”Apakah ilmu itu lebih baik dari harta?” “tentu lebih baik ilmu”, “Lalu bagaimana sikap kita ketika melihat ulama’ itu berada di pintu para orang kaya, sedangkan kita tidak melihat orang kaya berada di Pintu rumah para ulama?” Mendapat todongan pertanyaan itu, bapak bazarjamhar menjawab,
لمعرفة العلماء بمنفيةالمال

وجهل الغنياء بفضل العلم

“Karena mengetahuinya ulama dengan manfaatnya harta,

dan ketidaktahuannya orang kaya dengan keutamaan ilmu.”

Cerita yang disajikan Imam Mawardi di atas barangkali menjadi patokan bagi kita ketika melihat ulama dekat dengan orang kaya dan pejabat. Barangkali niat ulama tadi untuk mengarahkan harta dan kekuasaan dua orang tadi. Supaya tersalurkan kepada perkara yang baik. Ketika orang kaya itu dekat dengan ulama’ tentu pentasarufannya bisa kedalam hal-hal positif. Pengembagan fasilitas pendidikan, membantu orang miskin, merenovasi tempat ibadah dll. Begitu pula apabila dekat ulama dekat dengan pejabat, maka akan lebih mudah untuk mengadakan pengajian, menyelenggarakan event-event keagamaan dan semacamnya.

Nah, hal di atas tidak akan bisa terjadi apabila ulama dengan orang kaya dan pejabat itu tidak saling dekat dan guyub rukun. Apa yang terjadi coba apabila orang kaya dan pejabat tadi dekatnya bukan kepada ulama, tapi kepada orang-orang ‘preman’? Tak terbayang betapa banyak kemaksiatan dan kejahatan tumpah ruah berserakan.

Perilaku Ulama ini juga mencerminkan Hadits Nabi,

مَنْ أَرَادَ أَنْ ينصح لذي سُلْطَانِ بِأَمْرِ فَلَا يُبْدِهِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذ بِيَدِهِ فَيخلُو بِهِ فَإِنْ كَانَ قَبل مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا قَدْ كَانَ أَذى الَّذِي عَلَيْهِ (رواه أحمد)
“Barang siapa hendak menasihati orang yang mempunyai kekuasaan (pemerintah), janganlah menyampaikannya secara terang-terangan. Namun, hendaknya dia mengambil tangannya menyampaikan nasihat tersebut secara pribadi. Jika (pemerintah itu) mau menerima nasihatnya, itu yang diharapkan. Jika tidak, sungguh dia telah menyampaikan kewajiban yang ditanggungnya.” (HR. Ahmad).

Tentu untuk mengamalkan nasihat Nabi ini yang paling jitu adalah dekat dengan pejabat. Barangkali Ulama’ tahu betul jika terlalu jauh dengan orang kaya dan pejabat itu akan sulit amar’ ma’ruf dan apabila terlalu dekat akan terlalu rikuh untuk nahi munkar. Maka ulama lebih tau kapan haru dekat dan kapan musti menjaga jarak.

Intinya kita tidak boleh su’udzon kepada ulama. Jangan sampai ada ucapa ‘menjilat’ dan hal-hal negatif lainnya. Buktinya, rata-rata ulama yang berani mendekat tadi sudah berangkat dengan harta yang melimpah, mobil mewah dan pakaian yang wah. Artinya kedekatannya tidak berpengaruh pada berkurang atau tambahnya harta ulama’. Tujuan Ulama tadi mengarahkan pengusaha dan pejabat supaya menggunakan titipanya diarah yang tepat.

Kalau kita mau menengok, Ulama’ zaman dulu sudah banyak yang dekat dengan orang kaya dan pejabat. Sebut saja Walisongo, Syekh Arsyad Al-Banjari, Syekh Nuruddin As-Sumatrani, KH Hasyim Asy’ari, KH Mahrus Aly bahkan sekarang ulama itu jadi wakil Presiden. Maka sangat tidak elok bagi kita suudzon kepada ulama yang demikian. Beliau-beliau lebih tahu, lebih berilmu, dan bersikap dengan bijak, kapan dekat dan kapan berjarak.

Sekian, wallahu a’lam.

About Post Author

Elnahrowi

Santri Pondok Al-Mahrusiyah yang suka Menulis dan Berjurnalis. Asal dari Sragen Jawa Tengah
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like