Mengenai Wayang, Khalid Basalamah Perlu Belajar dari Sunan Kalijaga dan Kitab Mizan Al-Kubro
Kontroversi wayang yang berdengung dimedia sosial akhir-akhir ini menarik sekaligus cukup mengherankan bagi saya. Kok bisa-bisanya budaya nusantara yang sudah dijalankan sekian abad ini dipermasalahkan oleh Khalid Basalamah yang baru 46 tahun hidup dibumi pertiwi ini.
Tentu ceramahnya yang mempermasalahkan wayang ini membuat para seniman, budayawan dan masayarakat nusantara meradang. Padahal apabila Khalid Basalamah tahu (atau sudah tau tapi tetap sengaja menentang wayang) bahwa Wayang menjadi media fundamental dalam penyebaran Islam ditanah Jawa melalui dakwah bil khidmahnya Sunan Kalijaga. Dengan kecerdikan Sunan Kalijaga banyak masyarakat Jawa berbondong-bondong masuk Islam.
Bila kita logika, dakwah Sunan Kalijaga dengan Wayang ini tentu lebih banyak menyerap jama’ah dibanding dengan metode Khalid Basalamah yang mempermasalahkan Wayang. Berbagai cercaan yang diterima Khalid Basalamah sangat wajar ia terima.
Mentang-mentang dihadapan jama’ah sendiri sudah merasa benar dan mengabaikan berbagai perbedaan. Nah disinilah resikonya bila perbedaan itu langsung ia vonis seenaknya sendiri.
Akan lain cerita apabila Khalid Basalamah mau menerima perbedaan tadi atau seminimalnya tidak menyampaikan statetemenya didepan umum.
Dia mempermasalahkan wayang sama saja dia menentang dakwah yang telah dilakukaan oleh Sunan Kalijaga. Padahdal Sunan Kalijaga dakwah dengan Wayang tadi pasti melalui pertimbangan matang.Melalui istinbath hukum yang telah mendalam Istilahnya, muqtadol maqom, mampu melihat situasi dan kondisi.
Baik kondisi masyarakat Jawa yang menggemari tradisi maupun kondisi keimanannya. Maka melihat kondisi masyarakat Jawa yang gemar budaya dan tradisi, Sunan Kalijaga tidak lantas menumpas budaya wayang masyarakat jawa, beliau paham betul kaidah almuhafadhotu ala khodimi solih wal ahdu biljadidi alaslah,
“menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. Sederhanannya merawat tradisi mengawal inovasi, Sunan Kalijaga tetap merawat Wayang Kulit dan berinovasi dengan memodifikasi wayang kulit tadi penuh dengan ajaran islam.
Pemahaman Sunan Kalijaga tentang perbedaan diadopsi betul oleh kalangan pesantren. Bagi Kalangan Pesantren sudah akrab betul dengan segala perbedaan. Ketika Imam Rofi’I sering berbeda pendapat dengan Imam Nawawi, Imam Syafi’I acapkali berbeda pendapat dengan Imam Maliki yang notabene gurunya sendiri. Bahkan Imam Syafi’i berbeda dengan pendapatnya sendiri terbukti dengan adanya qoul qodim dan qoul jadid.
Menyikapi perbedaan, bagi kita (apalagi Khalid Basalamah) perlu belajar dari Imam Abdul Wahhab Sya’roni Ulama Besar abad 9 H. Beliau dalam Kitab Mizan Al-Kubronya menegaskan bahwa, ”Seperti halnya kita dilarang mencela syariat yang dibawa nabi-nabi terdahulu, maka kita tidak boleh mencela apa yang diistimbathkan oleh Imam-imam Mujtahid dengan metode itjtihad dan istihsannya masing-masing.”
Nah, sayangnya yang dilakoni Khalid Basalamah ini seenaknya langsung menyalahkan, dia tidak memikirkan kondisi masyarakat jawa serta tidak memikirkan pula kenapa sekelas Sunan Kalijaga ini menerapkan Wayang Kulit dalam dakwahnya.
Imam Sya’roni menyatakan lagi bahwa “Sesungguhnya setiap mukallaf tidak ada yang keluar dari dua kondisi, yaitu kuat dan lemah dari segi iman dan fisiknya pada waktu dan periode yang bersamaan. Maka barangsiapa yang kuat diantara mereka, maka dibebani dengan kewajiban yang berat dan mengambil ‘azimah. Dan barangsiapa yang lemah diantara mereka, maka dibebani dengan tugas yang ringan dan mengambil rukhsah. Masing-masingnya tetap dianggap berpegang dengan syariat (Islam) ketika itu. Orang yang kuat tidak diperkenankan untuk mengambil rukhsah dan orang yang lemah tidak dipaksa untuk mengamalkan ‘azimah. Dengan standarisasi ini, maka hilanglah segala bentuk pertentangan diantara dalil-dalil syariat dan begitu juga dengan kontradiksi beberapa pandangan ulama yang berbeda”.
Barangkali setiap manusia diahadapan Khalid Basalamah adalah manusia yang kuat Iman dan fisiknya lalu dia standarkan para masyarakat tadi berdasarkan kondisinya sendiri. Tidak memandang luasnya khazanah warga Indonesia.
Setelah kasus ini, Kholid Basalamah nampaknya perlu belajar dari metode dakwah Walisongo terdahulu, khususnya Sunan Kalijaga, bagaimanapun juga ladang dakwah Khalid Basalamah adalah masyarakat jawa yang telah lebih dulu kenal Sunan Kalijaga. Disisi lain dia juga tidak hanya fanatic dengan ulama wahabi yang dia anut.
Dia perlu dengan rela hati belajar kepada ulama-ulama Aswaja. Atau bila malu bisa membuka kitab-kitab turats yang biasa dipelajari kaum santri. biar tidak salah langkah dalam berdakwah serta mau berislam dengan komprehensif.
Wallohu A’lam.
Refrensi:
Kitab Mizan Al-Kubro Hal. 3 Karya Imam Sya’roni. Cetakan Haromain.