Kembali memperingati haul Abah Yai Imam Yahya Mahrus yang ke-12, segenap keluarga besar dzuriyah juga santri Al-Mahrusiyah serentak menggelar majelis dzikir manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jilani dan maulidud dibaiyah.
Acara yang diselenggarakan di masing-masing gedung asrama ini juga dihadiri oleh para alumni. Istimewanya haul pada tahun ini, Ning Ochi sang putri bungsu almarhum almagfurllah KH Imam Yahya Mahrus membawakan kisah motivasi pagi para santri mengenai potret kesederhanaannya Abah Imam dengan bacground kiai.
Usai melantunkan bait-bait manaqib dan sholawat nabi di gedung baru Asrama Darsyi, Ning Ochi dengan senang hati berbagi kisah dan mengajak para santriwati bernostalgia bersama. Beliau memperkenalkan betapa sederhananya Abah Imam dikala beliau masih sugeng dulu.
Beliau bercerita, menjadi seorang kiai tak menjadikan Abah Imam seseorang yang tinggi hati, “Abah Imam selain guru juga orang tua kita, orang tua itu dibagi menjadi tiga, yang pertama orang tua biologis yaitu orang tua kandung yang melahirkan kita, kedua orang tua yang mengajari kita, bukan lain guru kita, dan ketiga orang tua yang mana menjadi sebab karena anaknya menikah dengan fulanah atau fulan, alias mertua,” tutur beliau mengawiti mauidzoh hasanah.
Beliau menjelaskan bahwa ketiga-tiganya ini orang tua kita semua, yang pertama memberi nafkah makan dan yang kedua memberi nafkah batin yang mengenalkan kita kepada Tuhan kita. Jadi kita ini semua saudara, sama-sama putri dari Abah Yai Imam.
Ning Ochi kembali dawuh, “Bagaimana usaha atau ijtihad kita agar bisa diakui santri beliau? Yaitu dengan i’tiba apa-apa yang beliau lakukan,” tutur putri bungsu almarhum almaghfurllah KH Imam Yahya Mahrus.
Kemudian beliau sedikit mengulas kisah mengenai manaqib Abah Imam. Beliau bercerita jika Abah Imam itu terkenal sososk yang humble, baik dari kalangan A,B,C, juga orang China maupun India. Dari semua kalangan yang beliau kenal itu tidak mungkin tidak memiliki kesan dekat.
Kisahnya, “Dahulu saya sering dibonceng sepeda motor, beliau itu kadang-kadang manggil saya nduk, kadang-kadang juga mbak. Kadang-kadang membahasakan ayah kadang-kadang juga abah, tapi kalau sekarang abah. Jadi, kisahnya dulu ketika beliau sedang membonceng saya naik motor, beliau sering bercanda, ‘Nduk-nduk, kalo abah bonceng kamu nanti dikira istri muda,’ humor beliau kepada Ning Ochi kecil ketika sedang jalan-jalan naik motor.
Selain humoris Abah Imam juga sosok yang menjaga amanah. Beliau juga yang memegang tonggak biru paling kuat. Buktinya apa, “Ketika suatu siang, saya menemani beliau dahar, tiba-tiba di tengah-tengah dahar beliau berhenti lalu mengucap, ‘Asstagfirullah, Ya Allah abah lupa ngga pakai peci, ambilkan peci nduk!’ kemudian segera saya ambilkan peci dan saya pasangkan di mustakanya beliau karena tangan beliau sudah kotor.” Lanjut cucu KH Mahrus Aly bercerita.
Beliau selalu istiqomah makan dengan memakai peci karena waktu dulu ketika Abah Mahrus melihat Abah Imam makan tidak pakai peci beliau marah-marah. Untuk alasannya mengapa wallahu a’lam.
Kemudian suatu hari ketika sedang menemani teman-teman Al-Mahrusiyah ziaroh, dzuriyah keluarga Al-mahrusiyah dijemput oleh keluarga Butan yang sempat manggihi masanya Abah Mahrus. Nah, dari situlah terkuak alasan mengapa Abah Imam kalo nembe dahar selalu mengenakan pecinya.
Diceritakan dari keluarga Butan, “Abah Mahrus kalo dahar itu pakai peci dan pakai pakaian yang rapi. Karena beliau berniat ikhtirom atau bersyukur kepada Allah yang telah memberi rezeki,” jelas pengasuh asrama Darsyi dan Daruz Zaenab kepada santri-santrinya.
Jadi, alasan beliau tat kala sedang dahar selalu istiqomah memakai peci, tak lain dan tak bukan untuk menghormati pemberi rizki. Diusahakan kalo makan minimal tutup kepala semisal tidak pakai baju.
Selain itu, dahulu kala juga ada beberapa kisah yang mencerminkan begitu sederhana dan humbel-nya KH Imam Yahya Mahrus. Contohnya seperti potret ketika Abah Imam sedang senam di taman toga.
Beliau itu juga dikenal sebagai seseorang yang ramah, “Ketika beliau naik motor jujur saya itu takut. Karena apa? Karena setiap ada orang beliau itu senyum, kalo sudah senyum nanti motorya agak oleng. Di setiap jalan ada yang senyum nyapa, beliau juga balik senyum dan nyapa,” tutur Ning Ochi melanjutkan cerita.
Ada juga kisah ketika Abah Imam dan Ning Ochi yang sedang beli sate. Ceitanya dulu itu Ning Ochi kecil yang disuruh beli dan menunggui hingga satenya matang. Setelah satenya matang dan dibayar, ketika Ning Ochi mencari keberadaan Abah Imam, ternyata beliau sedang ngaret rumput di sebrang jalan.
Waktu di datangi oleh Ning Ochi yang barusan membeli sate. Beliau malah turut mengajak putri bungsunya ngaret juga. Ning Ochi ngendikan, “Jadi, ini mau ngasih makan ke perut sendiri juga inget ngasih makan ke peliharaannya,” jelas beliau.
Jika diceritakan kembali, sangat banyak kenangan dari Abah Imam yang mencerminkan kesederhanaan tokoh ulama. Seyogyanya bagi kita semua dapat meniru lagi meneladani sifat-sifat mulia yang ada pada Abah Imam selaku orang tua dan juga guru kita semua.
Dengan begitu, semoga kita mendapat barokah dari beliau. Ning Ochi dawuh, “Selain meneladani beliau kita niatkan apa-apa yang kita lakukan di pondok bahkan setelah di pondok, kita niatkan khidmah pada Abah Yai Imam. Dengan cara apapun, seperti dengan cara berpakaian, adat, adab, dan silahturahmi dengan dzuriyah Al-Mahrusiyah,” pesan beliau kepada para audience haul Manaqib KH Imam Yahya Mahrus ke-12.
Alasannya tak lain karena i’tiba pada Abah Imam yang sangat menyukai silahturahmi. Ketika ingin berpergian jauh dan dapat menggunakan pesawat beliau bahkan lebih memilih menggunakan mobil pribadi karena mau mampir silahturahmi, “Dengan silahturahmi ada umur yang barokah dan umur yang panjang. Dan umur yang barokah yaitu umur yang banyak tertuang kebaikan,” dawuh Ning Ochi menutup mauidoh hasanah sekaligus manaqib Abah Imam Yahya Mahrus. Waallahu a’lam