“Pengurus kok boleh bawa HP, kan sama-sama santri?”
“Kok boleh keluar tanpa izin?”
“Kok boleh bawa motor, bawa laptop?”
“Kok ninggalin jama’ah?”
“Kok boleh bertemu santri lawan jenis?”
Yap, diatas adalah sebagian dari sekian banyak hal lainnya yang sering ditanyakan oleh santri, ketika pengurus memeroleh privilage alias keistimewaan dibanding santri biasa. Tapi perlu diketahui, peraturan dipesantren itu ada yang sifatnya ijmal atau menyeluruh mengikat bagi santri tak terkecuali, seperti hal-hal yang melanggar syariat (pacaran, judi, miras dll) dan kewajiban untuk ngaji di madrasah tanpa pengecualian. adapula sifatnya tafsili atau diperinci.
Peraturan yang diperinci tadi terdapat pengecualian, ya anak pesantren tahu betul kaidah kullu koidatin mustasnayat (setiap peraturan ada pengecualiaanya), nah pengurus yang pada bawa HP dan segenap privilegnya terkena aturan tafsili, alias mendapat pengecualian. ini argumen secara regulasi yaaa.
Kemudian secara rasionalitas dan realitasnya, pengurus adalah kepanjangan tangan dari seorang kiai, wakil dari kiai untuk menjamin kelancaran santri dalam segala aktifitas ngajinya. Karena dalam beberapa kondisi, sangat tidak mungkin kiai terjun langsung ngurus santri. Tidak mungkin kiai setiap hari ngimami jama’ah, maka disinilah peran pengurus jam’iyah, tidak mungkin kiai mengurus santri yang gudiken, maka hadirlah pengurus Kesehatan.
Tidak mungkin Kiai setiap hari menjamin santri tidak kabur dari pondok, maka tampillah pengurus keamanan.
Kiai juga tidak bisa ro’an setiap hari, menjamin ketersedian air apalagi turut ngecor, maka hadirlah pengurus kebersihan, pengairan dan pembangunan. Oiya jangan lupakan dewan harian, ketua pondok wa akhowatuha, Biyuhh beliau-beliau itu rela bertafakur bahkan sampai lembur, melupakan tidur meningalkan libur demi aktivitas santri ini terkondisikan.
Pengurus ini perlu banget pakai perangkat untuk menjalankan tugasnya, meskipun perangkat itu bertentangan dengan peraturan pondok, taruhlah dipagi buta sumur mati dan perlu teknisi, ya jelas dong butuh HP untuk berkomunikasi dengan pihak luar. Atau tiba-tiba santri ada yang sakit parah, perlu motor juga dong buat nganter dia ke RS. Demikian kemanan, untuk menyisir jalan-jalan tikus tempas santri kabur, ya perlu keluar masuk pesantren.
Kiai ketika tidak bisa ngimamin jama’ah atau ngajinya libur misal, ya perlu HP lagi untuk pengurus biar bisa dikabari. Apalagi dewan harian yang sudah seperti pahlawan tak kasat mata itu, perlu akses Wifi, komputer dan perangkatnya untuk segala adminitrasi termasuk input EMIS (Halo sekretaris pondok apa kabarmu dengan Emis?) huhu.
Belum lagi tim media, beyuh kantornya tuh isinya ‘barang haram’ semua jika makai standar santri.
Nah, akan tetapi tidak semua pengurus membutuhkan HP/ Motor/ dan semacamnya. Maka hanya pengurus tertentu yang mendapat legalitas membawa barang ‘haram’ itu sesuai dengan pertimbangan Kiai. Maka selama barang-barang terlarang itu digunakan untuk kepentingan pesantren, tidak jadi masalah dan harap dimaklumi.
Namun pengurus ini kadang tak sadar kalau dia itu sebagai kepanjangan tangan dari kiai, dan secara hakekat mereka tetaplah santri.
Maka terjadilah abuse of power alias penyalahgunaan kekuasaan. HP, Motor, komputer dan segala keistimewaannya yang sedianya demi kepentingan jalannya pesantren, malah digunakan diluar fungsi utamanya dan cenderung buat kepentingan pribadi (tak menutup kemungkinan santri ndalem juga begini, heu).
Bentuk abuse of power lainnya berupa pengurus yang tidak bisa memberi uswatun khasanah kepada santri, ambil contoh saja mewajibkan jama’ah tapi tanpa udzur pengurus tadi tidak ikut jama’ah. Adapula tidak masuk madrasah dengan alasan sedang bertugas, padahal tugasnya ditinggalkan pun tidak masalah. Main HP didepan para santri secara terang-terangan, termasuk merokok didepan santri bawah usia. Terparahnya akses yang diberikan untuk bertemu pengurus lawan jenis malah dia gunakan untuk merajut api asmara, hemmm.
Maka alangkah baiknya pengurus ibdak binafsik, melakukan sebelum memerintahkan dan menjauhi sebelum melarang. Perlu diingat pula privilege dan segala fasilitasnya itu untuk kepentingan pesantren dan menunjang kebutuhan santri itu sendiri, bukan untuk pribadi dan harus ditanam dalam bahwa kita yang butuh pondok, bukan pondok yang butuh kita. Serta bagi santri ndak usah sibuk ngurus pengurus, karena sudah ada yang ngawas, yaitu dzuriah. Sekiranya begitu guys gambaran sederhananya, tentu setiap pesantren memiliki aturan yang berbeda-beda. Sekian wallohu a’lam.
Setuju dg semua aturan² yg ada di pondok , cuma alangkah baik nya semua aturan² itu di berlakukan kesemua santri tanpa pengecualian walau itu pengurus ,dan lain lain ,tanpa pertimbangan lain , satu contoh tentang kesehatan saja gak mungkin kyai nangani santri gudikan ok masih masuk akal ,tetapi jika ada santri yg sakit untuk periksanya knapa di jadwal hari kamis , lha umpama sakitnya selain hari kamis periksa keklinik tetep hari kamis , trus apa guna pengecualin td untuk pengurus ,
Sakit dihari apapun tetap ditangani bapak.