Mensyukuri Takdir I CERPEN
Ketika jam sudah menunjukkan pukul 16.00, aku melangkahkan kaki menuju rumah yang kira-kira jaraknya 30 menit dari tempatku mengajar ngaji. Walaupun aku sendiri sedang diserang rasa lelah, tapi tetap aku paksakan agar bisa cepat sampai rumah. Ini semua gara-gara motorku yang harus masuk bengkel karena usianya yang sudah tua. Sebuah motor bermerek astrea tahun 90-an pemberian almarhum ayahku yang sampai saat ini masih kurawat dan kujaga.
Ibuku sedang sakit, dan ia sendirian di rumah. Tidak ada seorang pun yang menjaganya. Kalau saja ibu tidak mengizinkanku untuk mengajar, maka aku akan menemaninya selama sehari penuh.
Sesampainya di depan pagar rumah, mataku tertuju pada seorang kakek tua berbaju putih dan bertongkat yang dihadang 2 laki-laki yang mengendarai motor. Kecurigaanku bertambah ketika salah satu dari laki-laki itu mengeluarkan sebilah pisau.
Tanpa berpikir dua kali, aku segera mendekat ke arah 2 laki-laki tersebut dan menendangnya dengan gaya ala bruce lee lengkap dengan beberapa jurus silat yang pernah aku pelajari sewaktu di pondok pesantren.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk memberikan mereka berdua pelajaran hingga mereka berdua lari tunggang-langgang. Aku meraih tangan kakek yang sempat syok melihat kejadian barusan. Aku menuntunnya menuju jalan yang ingin dilaluinya.
Tak berselang lama, sebuah mobil avanza putih lewat, berhenti tepat di depanku dan kakek. Seseorang di dalamnya menurunkan kaca mobilnya. Aku tersenyum ramah ke arahnya. Ia adalah bang Cenot.
“Kenapa ini, Mad?” tanyanya padaku.
“Tolong Kakek ini, Bang. Tadi hampir dibegal sama orang nggak dikenal. Sekarang kakek ini tidak kuat berjalan,” jawabku.
Tanpa berlama-lama, aku dan bang Cenot langsung mengantarkannya ke rumah sesuai dengan alamat yang diberitahukan oleh kakek tersebut.
***
Di dalam mobil, alam bawah sadarku memaksaku untuk mengingat ibu yang sekarang sedang sakit dan tidak ada yang menjaganya di rumah. Kata bang Cenot, aku disuruh meminta bi Neneng—istri bang Cenot—untuk menjaga ibu.
Dalam kebingungan ini, aku mencoba mencari nomor bi Neng di handphoneku dan menghubunginya.
“Iya, kenapa, Mad?” suara bi Neng terdengar nyaring dari balik telpon.
“Ini, Bi. Ahmad mau minta tolong Bibi untuk menjaga ibu yang sedang sakit di rumah, soalnya Ahmad pulang agak telat kayaknya.”
“Ada apa emangnya?” bibi bertanya padaku.
“Ahmad tadi ketemu Kakek di jalan. Ahmad nggak tega ninggalin dia, Bi. Tadi mau dibegal soalnya. Makanya sekarang Ahmad sama Bang Cenot sedang mengantarkan kakek itu ke rumahnya.”
“Oh, begitu.”
Aku dan bibi saling diam dalam waktu yang cukup lama.
“Ya sudah, bilang ke Bang Cenotnya, jangan lama-lama,” pesan bi Neng.
“Iya, Bi. Terimakasih.”
Bi Neng lebih dulu menutup pembicaraan. Bang Cenot yang sejak tadi menyimak pembicaraan antara aku dan bi Neng, angkat suara terkait pembahasan yang aku bicarakan pada bi Neng.
“Bi Neng bilang apa tadi, Mad?”
“Kata Bi Neng jangan lama-lama, Bang,” jawabku singkat sesuai pesan yang disamaikan oleh bi Neng.
***
Mobil melaju kenang melewati perkampungan yang terlihat asri dan bernuansa islami. Banyak sekali anak-anak kampung yang mengaji.
Setelah 20 menit perjalanan, mobil yang sedari tadi kami kendarai terparkir rapi di depan rumah kakek yang didndingnya dibuat dari kayu tua cukup rapuh. Ukuran rumahnya cukup luas, cukup untuk menampung aku, bang Cenot dan kakek.
Kami disambut hangat oleh keluargannya ketika masuk ke dalam rumah kakek tersebut. Kakek tadi juga memerintahkan salah seorang untuk membuatkan minuman. Bukan hanya itu saja, kakek tersebut juga memoersilahkan kami untuk menikmati cemilan-cemilan yang sudah disediakan di meja.
Aku, bang Cenot, dan kakek duduk melingkar di ruang tamu serta mulai menikmati hidangan yang ada, lengkap dengan secangkir kopi panas yang baru saja disuguhkan di depan kami seraya bercakap-cakap tentang apa yang terjadi pada kakek di jalan tadi.
“Makasih, ya, Nak. Berkat kamu saya selamat. Kalau tidak ada kamu saya tidak tahu apa yang terjadi.”
Kakek membuka pembicaraan. Aku dan bang Cenot hanya bisa menundukkan kepala seraya tersenyum ramah melihat sang kakek bisa kembali ke rumahnya dalam kondisi selamat.
“Iya, Kek. Saya hanya membantu sebisa saya.”
“Tapi ngomong-ngomong, jurus kamu tadi hebat juga, nak. Belajar di mana? Oh, iya. Saya lupa tanya namamu. Namamu siapa”
“Nama saya Ahmad, Kek.”
“Kalau ini?”
Kakek menunjuk seseorang yang sedari tadi diam di sampingku.
“Kalau ini Bang Cenot, Kek. Paman saya.”
“Oh …”
Agar suasana lebih tenang, kakek mempersilahkan aku dan bang Cenot untuk menikmati secangkir kopi dan suguhan cemilan yang ada.
Saat aku hendak menyeruput kopi yang dihidangkan oleh kakek, seorang pemuda yang mengenakan peci dan bersarung datang dengan sopan dan menundukkan kepalanya di depan kakek.
“Maaf, Kyai. Tempat untuk rapat nanti diadakan di mana?”
Aku tersentak kaget mendengar penuturan pemuda tersebut. Hampir saja aku memuntahkan kopi yang baru kutelan ketika mendengar nama kyai disebutkan olehnya. Kalau saja apa yang dikatakannya benar, berarti anak-anak yang mengaji dalam jumlah banyak itu adalah santri-santrinya. Tapi, apakah kakek tua di depanku ini memang benar seorang kyai?
“Kamu tanyakan saja pada yang lain, Mi. Saya sedang ada tamu.”
“Baiklah, Kyai,” jawab pemuda tadi lembut dan beranjak pergi.
Karena keingintahuanku semakin memuncak, aku tanyakan langsung hal ini padanya.
“Apakah benar kakek ini seorang Kyai?”
“Alhamdulillah, saya diamanahi mengasuh beberapa santri di sini.”
Suasana hening untuk sesaat. Aku dan bang Cenot saling memandangi satu sama lain.
“Oh, ya, Mad. Pertanyaanku tadi belum kamu jawab. Kamu belajar jurus silat seperti itu di mana?”
“Itu Kyai, saya mempelajarinya sewaktu di pondok pesantren,” jawabku ramah ketika menyadari bahwa ia adalah seorang kyai di sini. Untuk menghormatinya, aku tidak akan lagi memanggilnya dengan sebutan kakek.
“Jadi kamu mondok? Mondok di mana kalau boleh tahu?”
“Di kediri, Kyai. Tapi sudah tamat beberapa tahun lalu.”
“Wah, bagus itu. Nggak ada keinginan untuk mondok lagi?”
“Pengennya sih ke Yaman, Kyai. Tapi sayang banyak kendala yang membuat saya harus bersabar untuk bisa kembali melanjutkan rihlan keilmuan saya di sana.”
“Kalau saya boleh tahu, kendala apa yang kamu maksudkan?”
“Tes masuk untuk bisa nyantri adalah dengan membayar sekian juta atau hafal al-Qur’an 30 juz. Kalau lewat pembayaran, saya sepertinya kurang mampu, keluarga saya juga menengah ke bawah. Jadi tidak ada pilihan selain menghafal 30 juz.”
“Masyaallah, berarti kamu sekarang sudah khatam hafalan al-Qur’annya?”
“Masih 24 juz, Kyai. Minta doanya sekalian agar diberi kelancaran,” pintaku tulus pada kyai.
Kyai menyuruhku untuk menunggu di tempat dudukku sekejap. Aku dan bang Cenot saling bercakap-cakap ketika kyai beranjak dari tempatnya. Malu dan menyesal bercampur menjadi satu ketika tahu bahwa seorang kakek yang aku selamatkan tadi adalah seorang tokoh besar di sini.
Ketika kembali, kyai menyodorkan sebuah kitab padaku. Aku membaca judulnya. Syarh Muhadzab karya monumental dari Imam an-Nawawi.
“Sekarang coba kamu baca.”
Kyai yang tiba-tiba menyuruhku untuk membaca kitab tersebut membuatku sedikit gemeteran. Lihatlah! Kitab seteba kamus besar bahasa indonesia ini bahkan tidak ada harokat dan maknanya sama sekali.
Apa yang sebenarnya diinginkan oleh kyai sehingga ia menyuruhku membaca kitab ini?
“Bi bismillah, silahkan kamu baca. Apa aku merepotkanmu?” tanya kyai memastikan karena melihat guratan wajahku yang menandakan kecemasan.
“Tidak kyai,” jawabku mantap.
Sejujurnya, enggan sekali aku menuruti perintah kyai. Ajaran untuk bersikap rendah hati yang diwariskan dari guruku telah tertancap dalam hati. Menunjukkan apa yang kita bisa pada orang lain hanya akan membuat kita semakin merasa sombong dan tinggi hati, begitu kata mustahiq-ku di pondok dulu.
Namun, aku merubah pikiranku karena tidak ingin menahan malu ketika berkata bahwa aku telah tamat dari pondok pesantren, dan aku tidak bisa membaca kitab kuning. Aku tidak ingin hal itu terjadi.
Setelah kira-kira membaca selama 15 menit dan menjelaskan juga terkait murod kitab tersebut, kyai menyuruhku berhenti dan tersenyum ramah ke arahku.
“Besok kamu ke sini lagi, ya?”
“Untuk apa, Kyai?” tanyaku kebingungan.
“Saya kekurangan pengajar yang mumupuni dalam kitab kuning di sini. Hampir sebagian besar alumni yang sudah tamat madrasah tidak mau mengamalkan ilmunya pada santri-santri lain yang masih awam. Seringkali saya mengeluhkan ini pada pengurus-pengurus lain ketika mengadakan sidang istimewa di aula pondok, dan hasilnya tetap sama, setiap santri yang baru menyelesaikan madrasahnya seketika langsung mendaftar di universitas-universitas ternama tanpa mau mengaji lagi.”
Aku mendengarkan penjelasan kyai dengan khidmat. Begitu juga dengan bang Cenot.
“Apa kamu berkenan untuk mengajar di sini, Mad?”
Antara iya dan tidak. Aku bingung harus menjawab dengan apa.
“Setelah kamu menyelesaikan hafalanmu, kamu bisa mencari ilmu di Yaman seperti yang kamu mau. Insyaallah, seluruh biaya hidup dan kebutuhanmu akan saya cukupi di sana.”
Hanya air mata yang mampu menjawab pertanyaan dari kyai. Tidak ada kata ataupun diksi yang pantas untuk mewakili kebahagiaanku saat ini. Aku menunduk di atas hamparan tanah, di bawah kakinya, menyucup kedua tangannya dan menangis sesenggukan di pangkuannya.
***
Esok harinya, aku datang kembali ke pondok ini lagi seperti perintah Kyai. Sambil menunggunya, aku sempatkan melihat-lihat pondok miliknya yang terbilang cukup luas.
Aku bertanya tentang nama Kyai yang belum aku ketahui pada salah seorang yang melintas di depanku.
“Maaf, Kang. Pimpinan pondok ini siapa, ya?”
“Kyai Muhidin, Kang.”
“Oh, makasih, ya?”
“Iya, sama-sama,” katanya ramah lalu pergi begitu saja.
Tepat saat ia pergi, Kyai Muhidin datang dan memerintahkanku untuk mengajar di kelas aliyah.
__________
Itulah tadi cerita singkat tentang awal masuk pondok pesantren Miftahul Husna asuhan Kyai Muhidin. Sampai pada suatu ketika, aku dipanggil beliau di teras rumahnya.
“Umur kamu berapa, Mad?” tanya kyai Muhidin padaku.
“32 tahun, Kyai,” jawabku malu-malu.
“Wah, itu usia yang cukup mapan, Mad, untuk menikah.”
Aku diam saja mendengarnya.
“Bagaimana dengan impianmu ke Yaman? Jadi, kan?”
“Masih saya usahakan, Kyai.”
“Sudah berapa juz hafalan al-Qur’anmu?”
“Alhamdulillah. Sudah genap 30, Kyai. Tinggal melalarnya saja.”
Kyai Muhidin diam beberapa saat dan mulai membaca basmalah dan membaca ayat al-Qur’an. Aku mendiamkan diri sejenak, mencoba memahami apa yang beliau maksudkan.
“Lanjutkan!” kata Kyai Muhidin seraya tersenyum ramah ke arahku.
Sebelum menerima “tantangan” dari kyai Muhidin, aku lebih dulu membalas senyumnya dan memulainya dengan bacaan basmalah seperti yang beliau lakukan.
Kyai Muhidin memulainya dari surat al-Baqoroh, al-Anfal, al-Mujadalah, al-Hjir, dan ditutup dengan surat Ibrahim. Tepat ketika beliau selesai membaca satu ayat, aku lanjutkan hingga beberapa ayat dan beliau langsung meloncat di surat berikutnya. Begitu seterusnya, hingga beliau menyuruhku berhenti dan tersenyum ramah untuk kesekian kalinya padaku.
“Cukup! Kamu lulus!”
Aku diam saja dan menyimak perkataan beliau.
“Aku akan menikahkanmu dengan seseorang. Namanya Annisa. Dia adalah anak bungsu saya. Bagaimana menurutmu?”
Tubuhku seperti tidak bisa digerakkan bak tersambar petir yang membuatku harus mematung di depan kyai Muhidin.
“Annsia itu juga hafal al-Qur’an. Impiannya sejak dulu juga ingin melanjutkan pencarian ilmunya di Yaman. Menurutku, kamu adalah orang yang tepat sebagai pasangan hidupnya.”
Kyai Muhidin melanjutkan kalimatnya. Lagi-lagi, aku tidak mampu berkata-kata mendengar pejelasan beliau.
“Seluruh prosesi pernikahan mulai dari akad dan yang lainnya akan saya urus.”
“Ki, kira-kira, kapan Kyai?” ujarku terbata-bata.
“Bulan depan gimana? Lebih cepat lebih baik, kan?”
Aku tidak tahu harus berkata apa sekarang. Mimpi apa aku semalam hingga akan dinikahkan oleh anak seorang kyai terkenal?
Aku menatap dalam kelopak mata kyai Muhidin, lantas tanpa sebab meneteskan airmata dan menciumi kedua tangannya dengan halus.
***
Waktu merangkak begitu cepat.
Sebentar lagi, aku akan menjadi suami Annisa. Keluarga besarku termasuk ibu dan bang Cenot sudah merapat dalam masjid untuk meresmikan acara akad nikah. Aku bersyukur sekali pada takdir yang digariskan oleh Allah padaku. Tidak ada puisi yang layak untuk menggambarkan kegembiraanku saat ini. Kalau pun ada kata yang pantas, maka hal itu tak lebih dari ungkapan, “Alhamdulillah.”
Apa kamu sudah siap, Mad?” tanya bang Cenot yang sejak tadi memegangi kedua tanganku yang tak henti-hentinya bergetar hebat.
“Insyaallah, siap, Bang!” kataku mantap yang disambut pelukan hangat oleh bang Cenot.
Pandanganku lurus menatap seisi masjid yang ramai oleh orang-orang yang sejak tadi menunggu kedatanganku. Aku kembali mengembuskan nafas perlahan, berharap semua baik-baik saja untuk saat ini, untuk nanti, dan untuk selamanya.
Mensyukuri Takdir
Karya dari : Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati/Bekasi/M:12/XI/2 Tsanawi
Ketika jam sudah menunjukkan pukul 16.00, aku melangkahkan kaki menuju rumah yang kira-kira jaraknya 30 menit dari tempatku mengajar ngaji. Walaupun aku sendiri sedang diserang rasa lelah, tapi tetap aku paksakan agar bisa cepat sampai rumah. Ini semua gara-gara motorku yang harus masuk bengkel karena usianya yang sudah tua. Sebuah motor bermerek astrea tahun 90-an pemberian almarhum ayahku yang sampai saat ini masih kurawat dan kujaga.
Ibuku sedang sakit, dan ia sendirian di rumah. Tidak ada seorang pun yang menjaganya. Kalau saja ibu tidak mengizinkanku untuk mengajar, maka aku akan menemaninya selama sehari penuh.
Sesampainya di depan pagar rumah, mataku tertuju pada seorang kakek tua berbaju putih dan bertongkat yang dihadang 2 laki-laki yang mengendarai motor. Kecurigaanku bertambah ketika salah satu dari laki-laki itu mengeluarkan sebilah pisau.
Tanpa berpikir dua kali, aku segera mendekat ke arah 2 laki-laki tersebut dan menendangnya dengan gaya ala bruce lee lengkap dengan beberapa jurus silat yang pernah aku pelajari sewaktu di pondok pesantren.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk memberikan mereka berdua pelajaran hingga mereka berdua lari tunggang-langgang. Aku meraih tangan kakek yang sempat syok melihat kejadian barusan. Aku menuntunnya menuju jalan yang ingin dilaluinya.
Tak berselang lama, sebuah mobil avanza putih lewat, berhenti tepat di depanku dan kakek. Seseorang di dalamnya menurunkan kaca mobilnya. Aku tersenyum ramah ke arahnya. Ia adalah bang Cenot.
“Kenapa ini, Mad?” tanyanya padaku.
“Tolong Kakek ini, Bang. Tadi hampir dibegal sama orang nggak dikenal. Sekarang kakek ini tidak kuat berjalan,” jawabku.
Tanpa berlama-lama, aku dan bang Cenot langsung mengantarkannya ke rumah sesuai dengan alamat yang diberitahukan oleh kakek tersebut.
***
Di dalam mobil, alam bawah sadarku memaksaku untuk mengingat ibu yang sekarang sedang sakit dan tidak ada yang menjaganya di rumah. Kata bang Cenot, aku disuruh meminta bi Neneng—istri bang Cenot—untuk menjaga ibu.
Dalam kebingungan ini, aku mencoba mencari nomor bi Neng di handphoneku dan menghubunginya.
“Iya, kenapa, Mad?” suara bi Neng terdengar nyaring dari balik telpon.
“Ini, Bi. Ahmad mau minta tolong Bibi untuk menjaga ibu yang sedang sakit di rumah, soalnya Ahmad pulang agak telat kayaknya.”
“Ada apa emangnya?” bibi bertanya padaku.
“Ahmad tadi ketemu Kakek di jalan. Ahmad nggak tega ninggalin dia, Bi. Tadi mau dibegal soalnya. Makanya sekarang Ahmad sama Bang Cenot sedang mengantarkan kakek itu ke rumahnya.”
“Oh, begitu.”
Aku dan bibi saling diam dalam waktu yang cukup lama.
“Ya sudah, bilang ke Bang Cenotnya, jangan lama-lama,” pesan bi Neng.
“Iya, Bi. Terimakasih.”
Bi Neng lebih dulu menutup pembicaraan. Bang Cenot yang sejak tadi menyimak pembicaraan antara aku dan bi Neng, angkat suara terkait pembahasan yang aku bicarakan pada bi Neng.
“Bi Neng bilang apa tadi, Mad?”
“Kata Bi Neng jangan lama-lama, Bang,” jawabku singkat sesuai pesan yang disamaikan oleh bi Neng.
***
Mobil melaju kenang melewati perkampungan yang terlihat asri dan bernuansa islami. Banyak sekali anak-anak kampung yang mengaji.
Setelah 20 menit perjalanan, mobil yang sedari tadi kami kendarai terparkir rapi di depan rumah kakek yang didndingnya dibuat dari kayu tua cukup rapuh. Ukuran rumahnya cukup luas, cukup untuk menampung aku, bang Cenot dan kakek.
Kami disambut hangat oleh keluargannya ketika masuk ke dalam rumah kakek tersebut. Kakek tadi juga memerintahkan salah seorang untuk membuatkan minuman. Bukan hanya itu saja, kakek tersebut juga memoersilahkan kami untuk menikmati cemilan-cemilan yang sudah disediakan di meja.
Aku, bang Cenot, dan kakek duduk melingkar di ruang tamu serta mulai menikmati hidangan yang ada, lengkap dengan secangkir kopi panas yang baru saja disuguhkan di depan kami seraya bercakap-cakap tentang apa yang terjadi pada kakek di jalan tadi.
“Makasih, ya, Nak. Berkat kamu saya selamat. Kalau tidak ada kamu saya tidak tahu apa yang terjadi.”
Kakek membuka pembicaraan. Aku dan bang Cenot hanya bisa menundukkan kepala seraya tersenyum ramah melihat sang kakek bisa kembali ke rumahnya dalam kondisi selamat.
“Iya, Kek. Saya hanya membantu sebisa saya.”
“Tapi ngomong-ngomong, jurus kamu tadi hebat juga, nak. Belajar di mana? Oh, iya. Saya lupa tanya namamu. Namamu siapa”
“Nama saya Ahmad, Kek.”
“Kalau ini?”
Kakek menunjuk seseorang yang sedari tadi diam di sampingku.
“Kalau ini Bang Cenot, Kek. Paman saya.”
“Oh …”
Agar suasana lebih tenang, kakek mempersilahkan aku dan bang Cenot untuk menikmati secangkir kopi dan suguhan cemilan yang ada.
Saat aku hendak menyeruput kopi yang dihidangkan oleh kakek, seorang pemuda yang mengenakan peci dan bersarung datang dengan sopan dan menundukkan kepalanya di depan kakek.
“Maaf, Kyai. Tempat untuk rapat nanti diadakan di mana?”
Aku tersentak kaget mendengar penuturan pemuda tersebut. Hampir saja aku memuntahkan kopi yang baru kutelan ketika mendengar nama kyai disebutkan olehnya. Kalau saja apa yang dikatakannya benar, berarti anak-anak yang mengaji dalam jumlah banyak itu adalah santri-santrinya. Tapi, apakah kakek tua di depanku ini memang benar seorang kyai?
“Kamu tanyakan saja pada yang lain, Mi. Saya sedang ada tamu.”
“Baiklah, Kyai,” jawab pemuda tadi lembut dan beranjak pergi.
Karena keingintahuanku semakin memuncak, aku tanyakan langsung hal ini padanya.
“Apakah benar kakek ini seorang Kyai?”
“Alhamdulillah, saya diamanahi mengasuh beberapa santri di sini.”
Suasana hening untuk sesaat. Aku dan bang Cenot saling memandangi satu sama lain.
“Oh, ya, Mad. Pertanyaanku tadi belum kamu jawab. Kamu belajar jurus silat seperti itu di mana?”
“Itu Kyai, saya mempelajarinya sewaktu di pondok pesantren,” jawabku ramah ketika menyadari bahwa ia adalah seorang kyai di sini. Untuk menghormatinya, aku tidak akan lagi memanggilnya dengan sebutan kakek.
“Jadi kamu mondok? Mondok di mana kalau boleh tahu?”
“Di kediri, Kyai. Tapi sudah tamat beberapa tahun lalu.”
“Wah, bagus itu. Nggak ada keinginan untuk mondok lagi?”
“Pengennya sih ke Yaman, Kyai. Tapi sayang banyak kendala yang membuat saya harus bersabar untuk bisa kembali melanjutkan rihlan keilmuan saya di sana.”
“Kalau saya boleh tahu, kendala apa yang kamu maksudkan?”
“Tes masuk untuk bisa nyantri adalah dengan membayar sekian juta atau hafal al-Qur’an 30 juz. Kalau lewat pembayaran, saya sepertinya kurang mampu, keluarga saya juga menengah ke bawah. Jadi tidak ada pilihan selain menghafal 30 juz.”
“Masyaallah, berarti kamu sekarang sudah khatam hafalan al-Qur’annya?”
“Masih 24 juz, Kyai. Minta doanya sekalian agar diberi kelancaran,” pintaku tulus pada kyai.
Kyai menyuruhku untuk menunggu di tempat dudukku sekejap. Aku dan bang Cenot saling bercakap-cakap ketika kyai beranjak dari tempatnya. Malu dan menyesal bercampur menjadi satu ketika tahu bahwa seorang kakek yang aku selamatkan tadi adalah seorang tokoh besar di sini.
Ketika kembali, kyai menyodorkan sebuah kitab padaku. Aku membaca judulnya. Syarh Muhadzab karya monumental dari Imam an-Nawawi.
“Sekarang coba kamu baca.”
Kyai yang tiba-tiba menyuruhku untuk membaca kitab tersebut membuatku sedikit gemeteran. Lihatlah! Kitab seteba kamus besar bahasa indonesia ini bahkan tidak ada harokat dan maknanya sama sekali.
Apa yang sebenarnya diinginkan oleh kyai sehingga ia menyuruhku membaca kitab ini?
“Bi bismillah, silahkan kamu baca. Apa aku merepotkanmu?” tanya kyai memastikan karena melihat guratan wajahku yang menandakan kecemasan.
“Tidak kyai,” jawabku mantap.
Sejujurnya, enggan sekali aku menuruti perintah kyai. Ajaran untuk bersikap rendah hati yang diwariskan dari guruku telah tertancap dalam hati. Menunjukkan apa yang kita bisa pada orang lain hanya akan membuat kita semakin merasa sombong dan tinggi hati, begitu kata mustahiq-ku di pondok dulu.
Namun, aku merubah pikiranku karena tidak ingin menahan malu ketika berkata bahwa aku telah tamat dari pondok pesantren, dan aku tidak bisa membaca kitab kuning. Aku tidak ingin hal itu terjadi.
Setelah kira-kira membaca selama 15 menit dan menjelaskan juga terkait murod kitab tersebut, kyai menyuruhku berhenti dan tersenyum ramah ke arahku.
“Besok kamu ke sini lagi, ya?”
“Untuk apa, Kyai?” tanyaku kebingungan.
“Saya kekurangan pengajar yang mumupuni dalam kitab kuning di sini. Hampir sebagian besar alumni yang sudah tamat madrasah tidak mau mengamalkan ilmunya pada santri-santri lain yang masih awam. Seringkali saya mengeluhkan ini pada pengurus-pengurus lain ketika mengadakan sidang istimewa di aula pondok, dan hasilnya tetap sama, setiap santri yang baru menyelesaikan madrasahnya seketika langsung mendaftar di universitas-universitas ternama tanpa mau mengaji lagi.”
Aku mendengarkan penjelasan kyai dengan khidmat. Begitu juga dengan bang Cenot.
“Apa kamu berkenan untuk mengajar di sini, Mad?”
Antara iya dan tidak. Aku bingung harus menjawab dengan apa.
“Setelah kamu menyelesaikan hafalanmu, kamu bisa mencari ilmu di Yaman seperti yang kamu mau. Insyaallah, seluruh biaya hidup dan kebutuhanmu akan saya cukupi di sana.”
Hanya air mata yang mampu menjawab pertanyaan dari kyai. Tidak ada kata ataupun diksi yang pantas untuk mewakili kebahagiaanku saat ini. Aku menunduk di atas hamparan tanah, di bawah kakinya, menyucup kedua tangannya dan menangis sesenggukan di pangkuannya.
***
Esok harinya, aku datang kembali ke pondok ini lagi seperti perintah Kyai. Sambil menunggunya, aku sempatkan melihat-lihat pondok miliknya yang terbilang cukup luas.
Aku bertanya tentang nama Kyai yang belum aku ketahui pada salah seorang yang melintas di depanku.
“Maaf, Kang. Pimpinan pondok ini siapa, ya?”
“Kyai Muhidin, Kang.”
“Oh, makasih, ya?”
“Iya, sama-sama,” katanya ramah lalu pergi begitu saja.
Tepat saat ia pergi, Kyai Muhidin datang dan memerintahkanku untuk mengajar di kelas aliyah.
__________
Itulah tadi cerita singkat tentang awal masuk pondok pesantren Miftahul Husna asuhan Kyai Muhidin. Sampai pada suatu ketika, aku dipanggil beliau di teras rumahnya.
“Umur kamu berapa, Mad?” tanya kyai Muhidin padaku.
“32 tahun, Kyai,” jawabku malu-malu.
“Wah, itu usia yang cukup mapan, Mad, untuk menikah.”
Aku diam saja mendengarnya.
“Bagaimana dengan impianmu ke Yaman? Jadi, kan?”
“Masih saya usahakan, Kyai.”
“Sudah berapa juz hafalan al-Qur’anmu?”
“Alhamdulillah. Sudah genap 30, Kyai. Tinggal melalarnya saja.”
Kyai Muhidin diam beberapa saat dan mulai membaca basmalah dan membaca ayat al-Qur’an. Aku mendiamkan diri sejenak, mencoba memahami apa yang beliau maksudkan.
“Lanjutkan!” kata Kyai Muhidin seraya tersenyum ramah ke arahku.
Sebelum menerima “tantangan” dari kyai Muhidin, aku lebih dulu membalas senyumnya dan memulainya dengan bacaan basmalah seperti yang beliau lakukan.
Kyai Muhidin memulainya dari surat al-Baqoroh, al-Anfal, al-Mujadalah, al-Hjir, dan ditutup dengan surat Ibrahim. Tepat ketika beliau selesai membaca satu ayat, aku lanjutkan hingga beberapa ayat dan beliau langsung meloncat di surat berikutnya. Begitu seterusnya, hingga beliau menyuruhku berhenti dan tersenyum ramah untuk kesekian kalinya padaku.
“Cukup! Kamu lulus!”
Aku diam saja dan menyimak perkataan beliau.
“Aku akan menikahkanmu dengan seseorang. Namanya Annisa. Dia adalah anak bungsu saya. Bagaimana menurutmu?”
Tubuhku seperti tidak bisa digerakkan bak tersambar petir yang membuatku harus mematung di depan kyai Muhidin.
“Annsia itu juga hafal al-Qur’an. Impiannya sejak dulu juga ingin melanjutkan pencarian ilmunya di Yaman. Menurutku, kamu adalah orang yang tepat sebagai pasangan hidupnya.”
Kyai Muhidin melanjutkan kalimatnya. Lagi-lagi, aku tidak mampu berkata-kata mendengar pejelasan beliau.
“Seluruh prosesi pernikahan mulai dari akad dan yang lainnya akan saya urus.”
“Ki, kira-kira, kapan Kyai?” ujarku terbata-bata.
“Bulan depan gimana? Lebih cepat lebih baik, kan?”
Aku tidak tahu harus berkata apa sekarang. Mimpi apa aku semalam hingga akan dinikahkan oleh anak seorang kyai terkenal?
Aku menatap dalam kelopak mata kyai Muhidin, lantas tanpa sebab meneteskan airmata dan menciumi kedua tangannya dengan halus.
***
Waktu merangkak begitu cepat.
Sebentar lagi, aku akan menjadi suami Annisa. Keluarga besarku termasuk ibu dan bang Cenot sudah merapat dalam masjid untuk meresmikan acara akad nikah. Aku bersyukur sekali pada takdir yang digariskan oleh Allah padaku. Tidak ada puisi yang layak untuk menggambarkan kegembiraanku saat ini. Kalau pun ada kata yang pantas, maka hal itu tak lebih dari ungkapan, “Alhamdulillah.”
Apa kamu sudah siap, Mad?” tanya bang Cenot yang sejak tadi memegangi kedua tanganku yang tak henti-hentinya bergetar hebat.
“Insyaallah, siap, Bang!” kataku mantap yang disambut pelukan hangat oleh bang Cenot.
Pandanganku lurus menatap seisi masjid yang ramai oleh orang-orang yang sejak tadi menunggu kedatanganku. Aku kembali mengembuskan nafas perlahan, berharap semua baik-baik saja untuk saat ini, untuk nanti, dan untuk selamanya.
Karya dari : Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati/Bekasi/M:12/XI/2 Tsanawi