My Place For Himmah
Oleh: Sitti Rofiqotus Shalehah (Santri MTs Al Mahrusiyah)
Malam yang sunyi hanya ada bunyi jam dan seorang gadis yang sedang duduk sambil memurojaah aliyahnya, setiap malam memang sudah jadi rutinitas gadis itu. Dia gadis pintar dan baik, ia juga dengan keluarga ndalem. Gadis itu sangat ingin melanjutkan pendidikannya di makkah.
Pagi yang sejuk, Zara sedang menyapu halaman ndalem dan tiba-tiba Bu Nyai memanggilnya.
“Zara, sini!” Bu Nyai menunggu sambil duduk di depan ndalem. Zara pun menaruh sapu yang ia pegang dan menghampiri Bu Nyai.
“Nggih Bu, Pripun?” tanya Zara.
“kamu siapkan barang-barangmu, nanti saya mau pergi.”
Zara tak perlu bertanya lagi ia pun langsung meninggalkan tempat itu, ia pun memasuki kamarnya lalu membereskan barang-barang yang akan dibawanya. Di saat ia sedang membereskan barangnya, tiba-tiba Izza memanggilnya.
“Zara mau ke mana?” ucap Izza sembari makan.
“Tidak tahu, aku diperintah Bu Nyai buat beresin barang-barangku.” ucap Zara sedikit ragu. Ia pun tak tahu Bu Nyai akan pergi ke mana. Ia hanya manut apa yang diperintah Bu Nyai.
Dirrt… Dirrt… Dirrt… Sekitar pukul dua siang handphone yang ada di kamar pun bergetar, Izza mengambil handphone itu.
“Bu Nyai” ucap pelan sembari mengangkat telepon itu.
“Hallo! Izza, Zara jam setengah tiga sudah harus siap. Saya tunggu di depan ndalem.” Bu Nyai pun langsung mematikan telepon itu.
Tak lama beliau menyuruh supirnya untuk berangkat. Di tengah perjalanan Zara semakin penasaran. Kenapa arahnya menuju bandara? Batinnya Zara.
Sesampainya di bandara mereka menunggu pesawat, sekitar dua puluh menit mereka pun langsung masuk pesawat yang akan menuju ke Jeddah, ia merasa sedikit takut karena belum pernah naik pesawat.
Setelah sekian lama di pesawat akhirnya pesawat pun mendarat di bandara Jeddah. Turun dari pesawat itu mereka duduk ide ruang tunggu. Sekitar dua jam menunggu penjemputan tak lama kemudian mobil pun datang.
Sang sopir membawakan barang-barang yang beliau. Jarak bandara dan hotel yang mereka tempati sekitar satu jam. Di sepanjang jalan Zara melalar nadzom alfiyahnya, karena ia tak pernah lepas dari nadzom itu.
Pagi pun tiba, Zara sudah menyiapkan makanan untuk beliau. Ia pun mengerjakan apa yang seharusnya ia kerjakan. Usai mengerjakan semuanya, ia tak lupa mengerjakan kewajibannya.
Hari-hari ia lalui, tidak terasa Zara sudah hampir dua bulan di kota ini. Ia merasa rindu dengan teman-temannya, namun Zara tidak bisa apa-apa. Tak lama saat Zara sedang di balkon hotel, tiba-tiba Bu Nyai menghampirinya.
“Zara!” sambil menepuk bahu Zara. Zara terkejut dan langsung berbalik dan menundukkan pandangannya, lalu Bu Nyai dawuh.
“Zara, saya tahu kamu sebenarnya sudah lama ingin melanjutkan pendidikanmu di Makkah.” Zara hanya mendengar perkataan itu.
“Saya membawa kamu ke sini agar kamu bisa melanjutkan pendidikanmu.” Tanpa diduga Zara meneteskan air matanya. Ia sangat terharu, tidak menyangka bahwa ia akan melanjutkan pendidikannya di sini.
“Sudahlah, jangan menangis. Kamu memang berhak untuk mendapatkan keberuntungan ini.” Ucap Bu Nyai sembari mengelus kepala Zara. Bu Nyai pun pergi meninggalkan Zara. Zara masih tidak percaya, apa ini hanya sebuah mimpi? Batinnya.
Keesokan harinya Zara dipanggil Bu Nyai di kamar beliau di kamar beliau.
“Assalamualaikum Bu.” Sambil membuka kamar beliau.
“waalaikumsalam, masuk saja.” Bu nyai sedang duduk di sofa kamar.
“Zara, persiapkan barang-barangmu yang mau kamu bawa ke asramamu. Jangan sampai ada yang tertinggal.” Ucap Bu Nyai.
“Nggih Bu.” Jawabnya pelan.
“ya sudah sana sambil di persiapkan dari sekarang.” perintah Bu Nyai. Zara pun pergi dari kamar beliau. Usai membereskan semuanya, Zara langsung mengambil wudlu untuk shalat isya’.
Sekitar jam tiga pagi, ia bangun untuk sholat tahajud. Bu Nyai pun mendatangi kamar Zara.
“Nduk, besok jam sembilan berangkat. Kamu harus sudah siap.” Ucap Bu Nyai.
“Nggih Bu.” Ucap Zara dengan lirih.
Keesokan harinya, Zara segera bersiap-siap untuk pemberangkatannya ke Makkah.
“Zara, ayo kita berangkat.” Ucap Bu Nyai.
“Nggih Bu. Njenengan yakin Bu dengan ini?” Ucap Zara dengan ragu.
“Yakinlah nduk. Apa sih yang buat tidak yakin?” Ucap Bu nyai sembari merangkul Zara. Bu Nyai sangat sayang pada Zara. Zara adalah abdi ndalem yang paling beliau sayang dan yang paling beliau percaya.
Sesampainya di parkiran, Zara sudah mulai sedih karena akan berpisah dengan Bu Nyai.
“Kamu jaga diri baik-baik. Sungguh-sungguh belajarnya.” Bu Nyai sembari memeluk.
“Nggih Bu. terima kasih banyak Bu.” Zara pun berpamitan dengan menyalami tangan beliau.