Ngaji Jurnalistik 4; Kenangan dan Pengalaman Ginanjar Sya’ban
Kediri, Elmahrusy Media.
Rabu (15/02) Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah mengadakan Ngaji Jurrnalistik ke-4 dengan mengusung tema ‘ Santri Salafi Membumikan Literasi’. Dalam acara ini dipelopori oleh Madarasah Aliyah Al-Mahrusiyah yang bekerja sama dengan Pers Mahrusy. Dan acara Ngaji Jurnalistik kali ini mengambil narasumber dari Pekalongan yang masih Alumni Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah, yaitu Bapak Ginanjar Sya’ban. Beliau adalah ahli filologi dan manuskrip, seorang Dosen pasca sarjana Fakultas Islam Nusantara di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta.
Pada kesempatan kali ini, beliau menjelaskan kenangan dan pengalamannya selama studi dan berjunalisnya. Mulai dari kenangan beliau awal mondok di Pondok Pesantren Lirboyo HM Al-Mahrusiyah. Beliau awal masuk di tahun 1998-2002. Beliau bercerita,
“Datang ke sini, serasa datang ke mesin waktu. Bernonstalgia. Saya dulu nggak pintar-pintar amat. Saya pernah kena pukul Yai Imam saat dibangunin istighosah. Saya juga pernah kena hukum keamanan gara-garamain PS. Haha.”
“Awal mondok, saya itu tidak bisa Bahasa jawa karena memang sayaa asli sunda. Jadi, tak heran jika saya kerap kali dijaili kakak kelas tentang bahasa jawa. Seperti membeli jarang jeding panas dan disuruh naik ke kantor keamanan untuk bikin kartu tanda meril. Haha. Itu kenangan dulu.”
Beliau juga menceritakan bagaimana santri dulu itu makan, seperti ngeliwet. Beliau mengatakan bahwa makanan yang paling enak adalah kerak bekas ngeliwet itu. Beliau juga menceritakan bahwa santri dulu jika ingin makan, ya masak dahulu. Bahkan beliau bisa masak gara-gara diajar masak oleh kakak kelas dan makanan pertama yang berhasil beliau masak adalah kangkung goreng. Itu pun masih kurang matang, ucap beliau.
Setelah itu, beliau mulai menjelaskan perjalanannya setelah dari Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah ke dunia luar. Beliau melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar, Mesir. 13 tahun di sana. Tidak hanya ke Mesir, beliau juga berkeliling kota-kota di dunia. Hal itu tampak dijelaskan beliau lewat foto-foto yang ditampilkan di proyektor, cuplikan-cuplikan kegiatan beliau selama pengembaraan di luar negeri. Tampak beliau di Amsterdam, Ultrecht, Sille, Istanbul, Edirne, vrije Universiteit, Dinani, dan Leiden. Di kota-kota tersebut beliau merampungkan misinya untuk mencari berbagai data-data dan manuskrip tentang ulama nusantara yang bertebaran di perpustakaan dunia. Seperti manuskrip list nama para ulama nusantara yang ditulis oleh ilmuan belanda di tahun 1889, jaringan keilmuan genealogi intelektual ulama-ulama jawa di tahun 1890,dan surat KH Abdul Wahab Hasbullah untuk Konsul Belanda di Jeddah. Beliau sangat menekankan kepada santri pada khususnya untuk melek terhadap karya para ulama nusantara yang bercecer di mana-mana. Tugas kita adalah mengumpulkan itu semua dan mengenalkannya pada dunia.
Berkeliling dunia, selain untuk misi mencari data dan manuskrip, beliau juga mengisi beberapa seminar dan pameran karya-karya ulama nusantara dan kepesantrenan. Beliau tetap menunjukan kesantriannya kepada dunia. Bahkan di beberapa slide foto, terlihat beliau sedang memakai sarung. Sebut saja di Dinant dan Leiden. Ternyata, menurut beliau, orang-orang luar sangat penasaran dan antusias mengenai islam dan ulama nusantara. Maka dari itu, setiap ada pameran dan seminar tentang kepesantrenan dan karya para ulama nusantara, mereka menyimak dengan seksama.
Lalu, setelah itu, moderator yang memimpin jalannya Ngaji Jurnalistik memberi kesempatan kepada para peserta untuk bertanya terkait apa yang sudah ddisampaikan oleh pemateri. Tentu mereka sangat antusias, beberapa peserta putra dan putri mengangkat tangan untuk bertanya. Mereka bertanya seputar tulisan pegon jawi yang ternyata lebih dikenal sebagai arab melayu oleh dunia luar.
”sejarah pegon memang sudah sejak dulu digunakan oleh para kaum muslim. Sebenarnya banyak jenis tulisan arab. Kita bisa lihat saja dalam word microsoft, ada seperti arabic saudi, Arabic tradisional, begitu pun pegon yang lebih dikenal dengan arab melayu. Karena mereka lebih berani menunjukan pegon mereka pada dunia luar, sehingga lebih cepat mendapatkan pengakuan. Tugas kita adalah mengangkat pegon arab kita pada dunia luar. Dalam sejarahnya, pegon tidak hanya digunakan oleh kaum pondokan, tapi juga sejak dahulu, sejak masa transisi penjajahan inggris ke belanda yang dipimpin oleh jendral raflfes, selaku orang yang mendirikan negara Singapura, pegon menjadi komuditi tulisan para aparat negara. Seperti surat para raja untuk para meneer belanda. Dan pegon semakin berkembang semenjak zaman Syaikhona Kholil Bangkalan. Hingga pegon mengalami kemajuan, seperti adanya lambang dalam memaknai pegon.”
Selain itu para peserta juga penasaran dan bertanya mengenai cara mencari manuskrip yang tentunya tidak mudah. Beliau menjawab,
”Tentu dalam mencari manuskrip, tidak hanya usaha dzohir, tapi juga ada usaha batin. Ini semua tidak terlepas dari barokah Yai Imam yang saya rasakan. Selain itu, manuskrip ketika kita sudah menemukan satu, maka manuskrip-manuskrip lainnya akan berdatangan sendiri. Seperti ada saja orang yang memberi kabar tentang data-data dan manuskrip yang sedang kami cari. Jadi, setiap do’a dan usaha pasti ada jalan.”
Setelah para peserta mengulik ilmu yang dalam dari bapak Ginanjar Sya’ban, para peserta gentian ditanya dalam sesi quiz. Dalam sesi quiz ini, moderator akan bertanya mengenai materi yang sudah disampaikan. 3 penjawab tercepat dari pertanyaan yang ditanyakan akan mendapat doorprize dari panitia. Dan terpilihlah 2 orang peserta putri dan 1 peserta putra.
Acara ditutup dengan foto bersama dengan pemateri. Sekian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.