web analytics

Ngaji Rasa, Bentuk Toleransi di Pesantren

Ngaji Rasa, Bentuk Toleransi di Pesantren
0 0
Read Time:3 Minute, 9 Second

Pesantren adalah tempat mengaji. Sebagai wadah yang menampung berbagai fan ilmu agama, pesantren tak mengecualikan pula dengan ilmu formal. Beberapa banyak pesantren yang memiliki lembaga pendidikan sendiri atau membiarkan para santri untuk memilih sekolah di luar lingkungan pesantren.

Mengaji atau mengkaji adalah bentuk usaha belajar yang lebih mendalam. Tak hanya membaca, menulis, dan mendengar, mengaji juga butuh fokus dan berbagai macam penerapan dalam penelitian agar sampai pada paham yang dituju.

Pesantren tentu telah menyiapkan kurikulum dan strategi pembelajaran yang efektif, yang telah diatur sedemikian rupa demi kelancaran belajar mengajar. Tak mungkin bagi santri tingkatan dasar langsung dijejali Alfiyah ataupun Fathul Muin dalm fan fiqihnya. Karena Alfiyah adalah fan nahwu shorof yang diajarkan bagi santri jenjang atas, begitu pula Fathul Muin. Maka dari itu, semua kitab pelajaran pasti telah disesuaikan menuurut kelas tingkatannya masing-masing. Dan untuk masuk di kelas-kelas itu, pasti akan diadakannya tes-tesan masuk untuk mengukur seberapa kualitas kadar keilmuan santri dan menemukan kelas yang tepat untuknya.

Tapi, dalam pesantren tak hanya ilmu-ilmu agama saja yang dipelajari. Ada juga yang namanya ngaji rasa. Apa itu ngaji rasa? Yaitu merupakan belajar bersikap yang cenderung menggunakan perasaan. Meskipun bukan menjadi kurikulum pesantren, ngaji rasa ini sangat penting dipelajari kaum santri.

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Orang Islam adalah orang yang bisa menjadikan Muslim lain selamat dari perilaku lisan dan tangannya” (HR Bukhari: 10).

Mengingat bahwa pesantren adalah ruang lingkup yang diisi oleh berbagai macam daerah dan latar belakang yang berbeda, menjadikan perlu adanya sikap saling menjaga perasaan orang lain. Orang Solo tentu berbeda dengan orang Jakarta, orang Ciamis tentu berbeda dengan orang Medan. Begitu pula anak buruh tentu berbeda dengan anak pedagang atau anak wiraswasta tentu berbeda dengan anak Kiai. Maksud berbeda di sini yaitu berbedanya sifat satu dengan yang lainnya dan tanpa adanya rasa merendahkan. Sama sekali.

Pentingnya ngaji rasa itu di sini. Kita bisa dengan mudahnya memahami dan bersikap sesuai dengan karakternya mereka masing-masing. Memberikan masukan dan bantuan, meminta pendapat dan pertolongan, dan bersosial dengan menyesuaikan kadar latar belakang mereka yang berbeda. Bersikap kepada orang yang lebih tua, kepada sesama, dan kepada yang lebih muda. Semua ada cara dan tatakramanya. Bukankah hal yang menurut kita baik, belum tentu itu baik menurut sebagian orang? Ngaji rasa membuat kita lebih memperhatikan perasaan dalam berpikir dan bertindak. Melatih ego dan gengsi yang tinggi.

Begitupun saat kita mendapat masukan dari orang Jakarta ataupun orang medan. Menurut kita itu kasar, keras, ataupun sedikit menyinggung, tapi itu menurut kita, menurut mereka (orang Jakarta dan Medan) adalah hal biasa. Jadi kita tak perlu baper karena memang logat dan sifat mereka yang seperti itu.

Perasaan memang adalah hal yang sensitif dalam manusia. pusing bisa diobati, batuk bisa diobati, bahkan luka memar pun masih bisa diobati. Tapi bagaimana jika perasaan yang luka? Bagaimana cara  mengobatinya? Siapa  yang berani menjamin sembuhnya? Maka dari itu ada pepatah ’Mulutmu Harimaumu’ ataupun ’Diam itu Emas.’ Karena itu semua sejalan dengan Hadist Nabi,

مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَو لِيَصْمُتْ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari).

Jika kita tak bisa mengatakan hal yang baik, Nabi menganjurkan untuk diam. Lebih baik diam dari pada harus mengatakan hal-hal buruk hingga sampai harus melukai perasaan orang lain. Itulah pentingnya ngaji rasa.

Saya kira, jika santri pandai dan bijak dalam ngaji rasa ini, maka akan mudah terciptanya ruang lingkup yang rukun dan harmonis. Ukhwah Ma’hadiyah akan bisa begitu terasa. Ngaji rasa merupakan bentuk toleransi di pesantren. Tapi sayang, masih jarang santri yang sadar akan hal itu.

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like