Nilai-Nilai Kehidupan dari Kaca Mata Santri
Saat ini, kehidupan penuh dengan persaingan dan ego tinggi, lantaran pengaruh globalisasi yang semakin membumi. Semua orang sibuk dengan diri pribadi, hingga kesan manusia sebagai makhluk sosial mulai kehilangan jati diri, atau lumrah dikenal sebagai kondisi anti sosial, mengutip laman Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, antisosial merupakan gangguan kepribadian dimana terjadi penyimpangan perilaku dari norma-norma yang terus dilakukan dari waktu ke waktu, dan mengarah pada perbuatan yang berpotensi membahayakan diri penderita maupun orang lain.
Berkaca pada kegiatan sosial di lini pesantren, membuktikan bahwa tingkat pergaulan sosial dalam pondok terhitung tinggi, keseharian para santri tak lepas dengan yang namanya bersama-sama, mulai dari makan, tidur. Kadang kala bercengkrama dan bermusyawarah sampai subuh pun menjadi kegiatan rutinitas sebagai santri. Seperti contoh di Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah, Kota Kediri, kegiatan santri dimulai dari jam 3 pagi untuk istighosah bersama-sama, dilanjutkan dengan Murotilil Qur’an yang dilakukan secara berkelompok, kemudian makan, juga bersama-sama. Terus sekolah, madrasah diniyah, dan dimalamnya mereka berinteraksi dalam wadah bahtsul masail, memecahkan masalah dengan hasil kesepakatan bersama.
Kepatuhan dan beretika sosial pun hampir menyamai negeri-negeri dengan penyimpangan sosial rendah seperti korea, jepang, ataupun negara barat lainnya. Semisal kegiatan mengantri, sudah menjadi keharusan bagi santri mengingat banyaknya jiwa yang tinggal dalam satu tempat. Dari sini mereka akan dilatih untuk mengesampingkan ego demi kemaslahatan orang banyak, melatih untuk selalu berlapang dada serta berjiwa besar.
Istilah ini dinamakan dengan itsar, mendahulukan kepentingan bersama demi kemaslahatan orang banyak, salah satu contohnya adalah sesepuh pondok lirboyo Kiai Marzuki Dahlan, santri alumni ponpes tebu ireng jombang tersebut selalu mencontohkan kebaikan berupa itsar. Dr. KH Ahsin Sakho Muhammad, Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta mengatakan “Sebagai salah satu santri Lirboyo, saya melihat profil Kiai Marzuqi sebagai seorang alim ulama yang benar-benar ikhlas dalam mendidik santrinya, mendedikasikan kehidupannya untuk kemajuan pondok pesantren, seorang yang sama sekali tidak mempunyai jiwa materealistis, seorang yang qalbuhu mu’allaqun bilmasajid, seorang yang dzakirinallaha katsiran, seorang yang mukhlis (menerima keikhlasan) dan sabar.”
Kesopanan dan tata krama juga menjadi hal utama, dalam lingkup pesantren seorang santri akan bisa menempatkan hubungan nya terhadap para guru dan dewan mustahiq, teeman, pengurus pondok, dan anak-anak. Mereka akan terlihat patuh dan sopan ketika berhadapan guru maupun dewan mustahiq, dihadapan teman sebaya mendapatkan tentang belajar menghargai pendapat orang lain dan mengggalang sebuah organisasi untuk kemaslahatan orang banyak, menghadapi seseorang di bawah umurnya, kepekaan untuk saling mengasihi, bertanggung jawab, dan menyayangi akan timbul. Hablumminalllah wa hablum minannas,
Sama halnya dengan hal keruhanian, para santri akan menjaga hal yang menjadi keyakinannya, terlepas dari kesibukan yang selalu menyertai tak lantas lupa akan murobbi yang memberikan ruh kepada seorang manusia. tak peduli dengan letihnya badan lantaran kegiatan yang tak kunjung padam.
Berangkat dari sini management waktu menjadi pelajaran luar biasa, kebiasaan seperti ini akan menjadi daya lebih tersendiri, di tengah tempaan kehidupan dunia yang cepat dan akurat, para santri akan terbiasa dalam menghadapinya, tak perlu meragukan atau bahkan merendahkan, karena itu sebuah penilaian yang salah.
Jiwa kesederhanaan yang sudah mengakar, membuat mereka tak risih ketika jalan tak pakai sandal, ataupun soal baju kusut karena jarang disetrika dengan lembut, tapi, semua itu bukan menjadi persoalan, karena mereka yakin sopo wonge seng soro moko bakal dadi, kesusahan akan membawa kesenangan, bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian.