web analytics

Onthel

Onthel
0 0
Read Time:4 Minute, 33 Second

“Maaf, Pak.”

Sudah berkali-kali dan ini yang ketujuh puluh empat. Entah kenapa sial selalu datang menghampiri. Perasaan aku tak pernah jahat pada orang. Entahlah.

Bapak-bapak penjual siomay itu terlihat meringis kesakitan. Terjatuh. Tergeletak. Tergelepar di antara hamparan tahu putih, pare, kol, kentang, dan butiran-butiran siomay yang masih mengepulkan asap. Pancinya penyak-penyok. Sepeda dagangannya terbelah dua. Padahal hanya ditabrak sepeda. Sama-sama sepeda. Meskipun kenyataannya sepeda tukang siomay itu lemah karena kalah dalam tabrakan yang menegangkan, tetap saja sepedaku yang salah. Sepeda onthel klasik yang baru kubeli akhir-akhir ini.

“Maaf, Pak.”

Kuulangi permintaan maafku. Lagi-lagi tak ada respon dari Sang Bapak paruh baya itu. Kubawa bapak itu ke pinggir jalan agar tak mengganggu pengendara lain dan tertabrak. Kembali. Kupinggirkan pula potongan sepedanya yang tak berdaya. Orang-orang hanya bergumam melihat tanpa mau menolong. Sekalinya ada yang datang menghampiri, orang itu malah memunguti siomay-siomay yang terhampar. Lalu, dimakan. Pakai bumbu kacang, saos, kecap. Ambil sendiri.

Aku segera mencarikan ojek untuk membawa bapak itu ke klinik. Takut kenapa-kenapa. Aku tanggung biaya pengobatannya. Biaya bengkel untuk potongan sepedanya. Tanggung jawab. Kebetulan sekali aku membawa uang yang rencananya untuk membeli bahan masakan dan kebutuhan dapur. Untuk masak. Untuk makan. Tapi, malah seperti ini jadinya. Nasib. Tak apalah.

Baca Juga: Daster

Aku menaiki sepeda onthel itu dan beranjak kembali ke pondok setelah urusan tadi dianggap beres. Entah apa yang harus kukatakan pada teman-teman dengan perut-perut kosong mereka.

Sesampainya di pondok, kuparkirkan sepeda. Teman-teman yang melihat kedatanganku menyambut dengan antusias.

“Kok, udah pulang? Kok, cepat? Kok, nggak bawa apa-apa? Kok, diam aja?”

Kardi selaku chef dapur pojok, dapur kami, mencercaku dengan pertanyaan beruntun. Dengan suara menghakimi, ekspresinya tampak menyudutkan. Ia memang memiliki cita-cita wartawan, namun tak tersampaikan. Akhirnya jadi tukang masak ala kadar. Bahasa kerennya, chef.

Belum sempat aku menjawab, Aji nyeletuk.

Baca Juga: Lampu dan Lilin

“Paling nabrak orang lagi!”

Memang semenjak aku membeli sepeda onthel baru itu dan kejadian nabrak menabrak orang akhir-akhir ini, mereka menjadi terbiasa. Mungkin juga muak.

Aku ceritakan kronologi kejadian itu; peristiwa siomay berdarah. Hihihi.

“Kayaknya ada yang aneh dengan onthel itu, deh!” Iqbal bersuara. Berspekulasi aneh-aneh setelah mendengar cerita itu.

Memang ini adalah peristiwa ketujuh puluh empat, setelah menabrak tukang cilok, cimol, batagor, bakso, mie ayam, es doger, es cincau, cilung, sempol, pentol, seblak, makaroni, jamur krispi, tahu krispi, ayam geprek, gado-gado, molen, roti bakar, martabak bangka, telor gulung, gorengan, nasi uduk, nasi goreng, nasi kuning, es pisang ijo, es oyen, bubur kacang ijo, kue ape, crepes, bubur ayam, pecel lele, burger, es selendang mayang, es teh, tauco, ketoprak, es mambo, kerupuk kulit, kerupuk udang, ketan keju, kue pancong, nasi besek, kentang balado, nasi putih hangat, pepes teri, semur jengkol, ikan bakar asam manis, sayur asem, sambel terasi, lalapan, dan lailn-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada tukang dagangnya, juga rasa lapar ini.

“Tapi, dari semua kejadian nabrak menabrak ini kok korbannya tukang jajanan semua, ya?” Tanya Aji bingung. Aku mengangkat kedua bahu. Tak tau.

“Onthelnya lapar kali!” Timpal Chef Kardi. Aku kembali mengangkat kedua bahu. Dua kali. Tak tau menau.

“Iya, lapar!” Sahut Aji.

“Lapar lapar.” Iqbal juga.

“Lapaaaaaaar!” Lalu, chef.

Aku juga ingin bilang lapar. Tapi, tatapan mereka mengerikan. Serempak memandangku dalam. Emang aku pisang apa!

“Terus?” Tanyaku bingung.

Mereka bertiga semakin menatapku dalam. Sangat dalam. 7 meter. Terus tersenyum lebar. Menyeringai.

“JUAL ONTHEL ITU!”

Butuh nasi.

Baca Juga: Evolusi

 

***

 

Sore itu di jaman penjajah.

“Mas, langitnya indah, ya?”

“Iya. Tapi, tetap lebih indah kamu.”

“Mas bisa aja. Nama aku kan emang Indah. Indah Permata sari!”

Mereka tertawa.

Sepasang suami istri yang belum genap pernikahan dua tahun itu tengah menikmati suasan sore. Hamil muda, Sang Istri katanya pengen jalan-jalan. Sang Suami hanya menuruti. Di atas kayuh onthel pun tak apa. Sudah senang. Apalagi berdua denganmu. Kamu. Iya kamu. Cieee.

“Menurut Mas, anak kita laki-laki atau perempuan?” Tanya Sang Istri saat melewati jembatan.

“Pengennya sih laki-laki.”

“Kenapa?”

“Biar kecantikan ibunya nggak ada yang nandingin.”

“Ihhhh, co cwit!”

Hehehe.

“Mas aku boleh ngidam, nggak?” Tanya Sang Istri lagi dan lagi.

“Boleh. Apa sih yang nggak buat kamu.” Jawab Sang Suami lagi dan lagi. Penuh cinta.

“Aku mau jajan aja. Aku mau cilok, cimol, batagor, bakso, mie ayam, es doger, es cincau, cilung, sempol, pentol, seblak, makaroni, jamur krispi, tahu krispi, ayam geprek, gado-gado, molen, roti bakar, martabak bangka, telor gulung, gorengan, nasi uduk, nasi goreng, nasi kuning, es pisang ijo, es oyen, bubur kacang ijo, kue ape, crepes, bubur ayam, pecel lele, burger, es selendang mayang, es teh, tauco, ketoprak, es mambo, kerupuk kulit, kerupuk udang, ketan keju, kue pancong, nasi besek, kentang balado, nasi putih hangat, pepes teri, semur jengkol, ikan bakar asam manis, sayur asem, sambel terasi, lalapan.”

Mendengar ucap itu, Sang Suami tak langsung menjawab. Ia sempat menoleh ke belakang. Ke wajah istrinya. Menyembunyikan segenap kata yang tak tersampaikan.

“Kamu ngidam atau kesurupan?”

 

***

 

Di tengah suasana indah langit sore dan hati yang berbunga-bunga bagi sepasang pengantin baru, tiba-tiba saja roda sepeda itu harus direm paksa oleh Si Pengemudi.

“Hai, Pribumi. Kera! Berani-beraninya kamu.”

Baca Juga: Ampun

Suara itu begitu khas. Logat suara orang-orang putih.

“Slaaat.”

“Praak.”

“Sraak.”

“Kraak.”

Baca Juga: Rasa Aksara

“Ciaat.”

“Jleb kedebug.”

“Klontang.”

“Dor..dor.”

“Duum blegerrrrr!”

Sulit sekali menceritakan kejadian itu. Kondisi mereka yang tak bersalah begitu cepat menghadap kematian. Terutama pada jabang bayi di perut itu. Hanya tumpahan darah di tanah, juga sepeda yang mampu berbicara. Onthel itu.

 

***

 

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Baca Juga: Is’al!

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like