Pemimpin Ideal, Bukan Bual-Bual!
Memasuki masa pemilu seperti saat ini, tentu semua hal menjadi terasa sangat politik sekali. Soal wakil rakyat dan kepemimpinan, gagasan-gagasan, relawan dan buzzer yang bermunculan, hingga spanduk-spanduk yang bertebaran di jalan. Belum lagi soal pedagang ayam geprek yang mensiasati tidak ada kembalian lalu ditukar dengan saos sachetan. Soal semua ini, tentu rakyat yang menjadi korban: bingung nggak karuan!
Dalam kontestasi politik seperti ini, apapun menjadi harus semarak dan hingar bingar. Mungkin juga tertuntut dan terpaksa harus memilih para wakil rakyat yang rakyatnya sendiri tidak begitu kenal dengan wakilnya. Bukan apa, ini soal nasib ke depan!
Mungkin kita akan bahas satu saja, terlebih dahulu: pemimpin.
Dan jawaban yang kita cari atas peliknya segala kebingungan ini adalah kriteria pemimpin yag ideal. Meskipun hal ini terkesan abstrak, karena ideal menurut setiap orang pasti berbeda. Ideal itu relatif.
Tapi, sebagaimana kita menilai suatu kebaikan, pasti ada suara mayoritas di balik kata relatif itu sendiri. Termasuk soal kriteria pemimpin yang ideal ini.
Mengenai hal ini, mungkin kita bisa mengambil pandangan dari Syekh Musthofa al-Gholayini, sebagai salah satu Ulama sekaligus Jurnalis pada zamannya yang tidak perlu diragukan lagi argumentatifnya. Dalam kitabnya, Idhotunnasyi’in, beliau berpendapat:
ولا يكون الرئيس رئيسا حقا حتى تتوفر فيه شروط الرئاسة من العقل والعلم والصحة الوجدان والمرؤة والشهامة وطهارة السريرة وحسن السيرة والكرم والبذل الجم في سبيل إحياء الأمة ونشر العلم في ربوعها
“Pemimpin belum bisa dianggap sebagai pemimpin sejati (ideal), kecuali dia telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan, yakni berpikiran cerdas, berwawasan luas, baik pendapatnya, bisa mengendalikan diri, perkasa, bersih dan tulus hatinya, baik perilakunya, dermawan, banyak memberikan bantuan keuangan demi kesejahteraan umat dan giat menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluruh pelosok tempat tinggal umat.”