web analytics

Penjajahan Kultural Santri Millenial

Penjajahan Kultural Santri Millenial
Gus Nabil saat menjadi pembina upacara Hari Santri Nasional
1 0
Read Time:5 Minute, 22 Second

            Banyak catatan sejarah Indonesia mengabadikan kisah-kisah perjuangan rakyat nusantara dalam mempertahankan kemerdekaan. Dari jenjang sekolah dasar hingga jenjang perguruan tinggi, mata pelajaran sejarah merupakan konsumsi wajib bagi pelajar dalam progam study. Namun, meskipun sudah dicekoki dengan berbagai kisah-kisah sejarah yang menggugah. Tak sedikit dari pemuda Indonesia hanya menjadikan kisah sejarah sebagai dongeng cerita belaka. Hal ini semata-mata hanya untuk pembelajaran tanpa dijadikan sebagai pelajaran kehidupan.Yang mana hal tersebut menjadi pemicu faktor internal minimnya jiwa nasionalisme Bangsa Indonesia.

            Sebagaimana konteks judul yang tertera. Penjajahan kultural atau penjajahan budaya merupakan bentuk modifikasi dari penjajahan yang semula konveksional dengan angkat senjata menjadi non konveksional dengan perantara teknologi digital. Bermula dari zaman penjajahan kolonial yang telah terjadi puluhan tahun silam bereformasi menjadi penjajahan kultural di ere millenial, yang menjamah pada seluruh kalangan umat manusia, tanpa memandang usia muda maupun tua.

            Adapun santri millenial merupakan santri yang hidup pada era digital mulai dari tahun 1990-an. Dengan konsumtif  kemanfaatan dari teknologi digital tersebut. Ketika dipadukan diantara keduanya mengandung artian bahwa penjajahan kultural santri millenial merupakan penjajahan budaya tradisionalisme santri dikarenakan hadirnya budaya-budaya baru melalui kemajuan teknologi. Dengan demikian akulturasi tidak dapat dihindari. Serta dampak negatif akan lebih mendominasi bagi kaum sarungan millenial. Apabila tidak ditanamkan jiwa selektif dalam penerimaan budaya baru melalui media digital

            Oleh sebab itu mari kita buka kembali lembaran-lembaran kisah sejarah santri yang turut andil dalam  tercapainya kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana catatan sejarah Resolusi Jihad Nahdatul Ulama. Yang mengisahkan perjuangan arek-arek Surabaya beserta para santri dan kiai dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

            Dikutip dari cuplikan sejarah Fatwa dan Resolusi Jihad Fiisabilillah. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1945 merupakan cikal bakal lahirnya  peringatan hari santri nasional. Yang ditetapkan Presiden dalam UU No. 22 tahun 2015. Pada tanggal tersebut menyimpan sejarah penduduk Surabaya dan PBNU dalam mempersiapkan kekuatan untuk menyambut pendaratan sekutu. Dipelopori oleh Rais Akbar PBNU KH. Hasyim As’ary dengan maklumat Fatwa Jihad Fiisabilillah dan juga PBNU dengan maklumat Resolusi Jihad Fiisabilillah. Kemudian  maklumat tersebut disambut dengan suka cita dan semangat empat lima oleh penduduk Surabaya. Terbukti dengan keantusiasan mereka dalam mengikuti berbagai pelatihan mengoprasikan senjata. Serta  berpartisipasi dalam membawa ratusan ikat bambu runcing ke pesantren-pesantren untuk diberi amalan do’a dan hizb- hizboleh para kiai.

Meneladani Jiwa Salafi Kiai Pribumi

            Beralih membahas pada jiwa salafi Kiai Pribumi. Jika catatan sejarah menuliskan kesederhanaan dengan perjuangan menggunakan senjata tradisional. Lain halnya dengan catatan sejarah Kiai Pribumi yang mana kesederhanaanya digambarkan dengan kezuhudan mengkaji ilmu ilahi.

Tercermin dalam kepribadian 3 tokoh sentral Lirboyo. Pada pribadi KH. Abdul Karim   dalam kesederhanaan berpakaian hanya memiliki satu pasang pakaian untuk dikenakan sehari-hari. Juga tirakatnya beliau yang hanya memakan Daun Pace atau ampas kelapa dan sisa kerak nasi teman-temannaya dalam perjalanan beliau mengembara ilmu agama. Malahan dalam suatu redaksi cerita beliau rela menukar ongkos kereta api dengan berjalan kaki hingga ratusan kilometer demi membeli kitab salafi.

            Kemudian pribadi KH. Marzuqi Dahlan. Beliau masyhur dalam kesederhanaan dan ketawadhu’an. Meskipun beliau telah menjadi pengasuh pondok pesantren. Beliau tetap berpenampilan  ala kadarnya. Bahkan sama sekali tidak menunjukan bahwa beliau seorang kiai. Seperti gambaran kopiah yang senantiasa beliau kenakan sehari-hari  penuh akan tembelan dan jahitan. Bahkan beliau juga enggan mengenakan baju yang nampak baru. Meskipun hanya nampak bekas setrikaannya.

            Terakhir yakni KH. Mahrus Aly. Beliau adalah pribadi yang sederhana lagi rajin belajar. Meskipun sedari kecil beliau tumbuh dan dilahirkan dalam lingkup pondok pesantren di Gedongan. Dengan nasab kiai dan dalam bimbingan orang-orang alim. KH. Mahrus Aly kecil tetap gencar dan semangat dalam mengembara ilmu agama. Seperti cita-cita beliau yang ingin nyantri sejak kecil. Padahal tempat tinggal beliau sendiri merupakan rumah bagi santri-santri yang bertholabul ilmi.

            Selain memiliki sifat sederhana dan rajin beliau juga dikenal akan kedermawanannya. Sedari kecil beliau merupakan pribadi yang suka  memberi. Misalnya kebiasaan beliau mengajak teman-temanya makan di warung tatkala ada rezeki, serta beliau juga suka memberi pakaian atau uang kepada santri dan anak-anak Gedongan yang sekiranya membutuhkan.

            Seperti itulah cerminan pribadi kiai-kiai besar tatkala nyantri hingga menjadi kiai. Sederhana akan penampilan namun agung akan ilmu pengetahuan. Pribadi tersebut sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Furqon ayat 67 yang berbunyi:

والذين إذآ أنفقواْ لم يسرفواْ ولم يقترواْ وكان بين ذالك قواما

Artinya: Dan (termasuk hamba- hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang- orang yang apa bila menginfaqkan (harta) mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, diantara ke duanya secara wajar.

            Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemewahan bukanlah segalanya. Harta bukanlah kunci bahagia. Maka dari itu, layaknya santri millenial harus menjadi agen of change yang meneruskan perjuangan ulama.

Modifikasi Santri Salafi di Era Globalisasi

            Seiring bertambah tuanya zaman. Arus globalisasi semakin deras membanjiri umat- umat manusia di bumi. Maka dari itu para kaum santri harus pandai-pandai memposisikan diri. Berpikir rasional dan juga berjiwa selektif merupakan salah satu solusinya. Boleh saja santri turut berkompetisi dalam arus globalisasi. Namun jangan sampai santri lalai akan jiwa salafi yang telah dimiliki. Percuma tampil menawan namun zonk akan ilmu pengetahuan, percuma mengikuti perkembangan zaman jika pendidikan dikesampingkan, percuma maju dalam persaingan global jika terjajah dampak negatif teknologi digital. Santri itu lantaran kiai-kiai dalam mendakwahkan agama islami. Sebagai santri hiduplah sederhana namun luas wawasan ilmu pengetahuannya. Ibarat ilmu padi semakin berisi semakin merunduk.

            Sebagaimana dawuh Agus Nabil Ali Ustman “Ikutilah arus tapi jangan sampai terbawa arus”. Maqolah tersebut cocok sekali bagi kaum sarungan dan berpeci. Apalagi bagi santri-santri millenial yang sudah terhasut dengan kecanggihan teknologi digital. Hingga lupa akan pribadi salafi santri yang kental.

Berdasarkan uraian diatas, apabila dibuatkan skema perbandingan antara santri salafi dengan khalafi pasti akan nampak sekali perbedaannya. Jika santri salafi masyhur akan kesederhanaanya sebagaimana 3 tokoh sentral Lirboyo santri khalafi masyhur akan fashionmya mengikuti life style modernisasi. Yang dulunya rajin belajar karena haus akan ilmu pengetahuan sekarang mau belajar karena tuntutan ujian. Yang dulu berkompetisi dalam hafalan dan pemahaman sekarang ngelalar aja untung-untungan pas mau setoran. Yang dulunya demi belajar rela hidup susah sekarang tinggal belajar kebutuhan tercukupi tapi masih ngeluh enggak betah.

            Disadari atau tidak jiwa salafi santri perlahan-lahan hanyut oleh arus globalisasi. Padahal jiwa salaf merupakan hakikat dan ciri khas asli seorang santri. Meskipun dengan jiwa salafi bukan berarti santri gagap akan teknologi. Pengetahuan tentang modernisasi memang perlu untuk diketahui. Namun bukan berarti lalai untuk menyeleksi. Maka dari itu mari kita ubah mindsetkita tentang santri dan jiwa salafi. Banggalah menjadi santri dengan budaya salafinya. Karena santri punya budaya yang perlu dilestarikan. Bukan malah diabaikan dan ditinggalkan.

Oleh: Anisa Fitri Ulhusna

About Post Author

elmahrusy16

Elmahrusy Media Merupakan Wadah literasi dan jurnalistik bagi santri, alumni dan pemerhati Pondok Pesantren Lirboyo HM Al-Mahrusiyah
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like