Pentingnya Kafa’ah dalam Sebuah Pernikahan Prespektif Kitab Fathul Mu’in
Pernikahan merupakan sebuah ritual sakral yang dijalankan oleh sepasang suami istri. Secara bahasa nikah bermakna “Berkumpul menjadi satu” sedangkan secara syariah nikah merupakan sebuah akad yang berisi pembolehan melakukan jima’ (bersetubuh) dengan menggunakan lafal nikah atau tazwij.
Kemudian dalam sebuah pernikahan memiliki suatu hal yang sangat mu’tabar atau penting yakni hal kesetaraan atau kafa’ah. Maka dari itu, disini penulis akan menjelaskan apa saja hal-hal yang dapat dipertimbangkan dalam sebuah pernikahan untuk mencapai sebuah keserasian, yang dalam bahasa umumnya biasa disebut dengan sekufu.
Dijelaskan pada Kitab Fathul Mu’in tepatnya di fasal tentang kafa’ah. Dalam sebuah pernikahan kafa’ah atau keserasian merupakan hal yang sangat dipertimbangkan dalam pernikahan meskipun itu tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan. Akan tetapi kafa’ah menjadi hak calon istri dan wali untuk menggugurkan pernikahan apabila terjadi ketidak serasian.
Lalu, apa saja hal-hal yang mempengaruhi keserasian dalam pernikahan? Yang pertama, Wanita yang asli bersetatus merdeka dalam artian bukan budak atau wanita yang telah dimerdekakan, wanita yang tidak pernah menyandang status budak baik orang tuanya maupun kerabatnya dekatnya, maka tidak serasi dengan laki-laki yang menyandang status tersebut, terkecuali setatus budak yang disandang oleh ibu itu tidak berpengaruh.
Yang kedua Wanita yang terjaga dari perbuatan tercela dan wanita yang senantiasa melakukan kesunahan itu tidak setara dengan laki-laki yang tidak menyandang sifat-sifat tersebut, baik karena fasik atau berbuat bid’ah. Karena, laki-laki yang fasik hanya serasi dengan wanita yang fasik pula.
Yang ketiga, wanita suku Arab, Quraisy, Hasyim, dan Mutholib, itu tidak setara dengan laki-laki yang tidak memiliki nasab tersebut. Maksudnya, ketika ada wanita yang memiliki ayah orang Arab itu tidak setara dengan laki-laki yang ayahnya bukan keturunan Arab meskipun ibunya adalah orang Arab. Hal ini dikarenakan nasab itu dari jalur ayah, sehingga jalur nasab atau status ibu tidak dipermasalahkan.
Kemudian wanita bernasab Quraisy tidak sepadan dengan laki-laki non Quraisy dan wanita dengan nasab Hasyim atau Mutholib tidak sepadan dengan laki-laki dari suku Quraisy.
Yang keempat, laki-laki yang keluarganya tidak beragama Islam atau hanya dirinya sendiri yang Islam tidak sepadan dengan wanita yang orang tua dan mayoritas keluarganya Islam. Meskipun hanya selisih satu anggota keluarga saja dengan anggota keluarga perempuan yang lebih banyak.
Yang kelima, wanita yang tidak berprofesi mengerjakan pekerjaan rendah tidak serasi dengan laki-laki yang memiliki pekerjaan tersebut. Maksud dari pekerjaan rendah dalam Kitab Fathul Mu’in yakni sebuah pekerjaan yang dapat menurunkan muru’ah seperti tukang bekam, tukang sapu dan pengembala yang tidak sepadan dengan putri dari seorang penjahit.
Begitupun putra penjahit tidak sepadan dengan putri pedagang yang tidak dibatasi jenisnya dan putra pedagang tidak sepadan dengan putri dari hakim atau orang alim. Kemudian Imam Ar-Ruyani berpendapat dan di benarkan oleh Imam Al-Adzro’I yakni, “Laki-laki yang bodoh tidak sepadan dengan wanita yang alim”.
Sedangkan menurut Kitab Ar-Raudloh, pendapat yang lebih sohih menyatakan bahwa kekayaan bukanlah permasalahan dalam hal kafa’ah, karena harta dunia itu dapat lenyap kapan saja sehingga tidak menjadi kebanggan para ruhainiawan.
Pembahasan selanjutnya, dituliskan dalam kitab bahwa wanita yang ketika akad terhindar dari aib atau cacat yang dapat menetapkan khiyar nikah bagi suami yang tidak mengetahuinya, seperti penyakit gila meskipun terputus-putus dan sedikit, penyakit judzam, dan penyakit barosh meskipun hanya sedikit maka tidak sepadan dengan laki-laki yang bersih dari penyakit tersebut. Karena dikhawatirkan dapat menyebabkan rasa jijik ketika sedang bercampur.
Terakhir, aib atau cacat yang tidak mempengaruhi khiyar nikah dan kafa’ah adalah buta, terputus sebagian anggota badannya, dan buruk rupanya. Kesimpulannya, pentingnya kafa’ah atau keserasian dalam sebuah pernikahan adalah untuk menghindari terjadinya perselisihan yang dapat berakibat pada perpisahan. Maka dari itu, seleksi dan koreksi terlebih dahulu sebelum resepsi. Wallahu a’lam.