Hidup adalah sebuah perjalanan. Sebagaimana layaknya perjalanan, tentu ada titik yang harus dituju. Dalam banyaknya jalan, kita tak memungkiri satu jalan yang pasti kita lewati: mencari ilmu.
Selain karena mencari ilmu itu wajib, ilmu merupakan kunci bahagia dunia akhirat dan tak perlu dalil-dalil. Lalu implementasian mencari dan mendapatkan ilmu, ya dengan cara belajar.
Tentu bukan hal yang mudah dalam menempuh jalan ini. Banyak halang dan rintang, banyak cobaan dan kuras kesabaran: ilmu itu didapat dengan susah payah!
Mudahnya, jika ingin dapat manisnya hasil, maka harus ditebus dengan pahitnya usaha. Jika usaha malah ingin manis, lalu hal apa yang membedakannya dengan hasil?
Jangan kaget, usaha emang pahit!
Masa belajar adalah lingkup usaha. Untuk hal ini, banyak sekali kerikil yang bertebar di sepanjang perjalanan. Setidaknya ada 2: kesengsaraan dan kenikmatan.
Kesengsaraan, tak begitu masalah karena kita masih bisa percaya diri atau setidaknya sadar bahwa itu adalah cobaan. Kita masih bisa memprediksi dan bersolusi. Tapi, untuk kenikmatan?
Nah, ini yang susah!
Untuk segala per-uwuw-an duniawi, kita tak bisa mengelak akan temu kerikil percintaan di jalan masa belajar kita. Tentu nikmat. Tentu tak ada keberatan untuk bermasalah karena kita memang terlahir dari cinta itu sendiri. Ia hinggap, tertanam, tumbuh dan subur. Lalu, berakar kuat. Begitu tiba-tiba, sama sekali. Kita tak bisa mengelak. Kita ditusuk, dirasuk cinta di masa belajar seperti ini: di sini, saat ini.
Tapi, di satu sisi, di dalam jernih pikir dan pendam hati terdalam seorang pelajar, tentu timbul skeptis: percintaan di masa belajar itu motivasi atau distraksi? Dorongan atau hambatan?
Sebagai karena dan masih pelajar, tentu status gua sebagai penanya, bukan penjawab. Mungkin keterangan bijak-bijak yang gua temu ini bisa menjawab.
Dalam bukunya Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. di halaman 124-125 menjelaskan: Gabriel Marcel, Filsuf Eksistensialis, pernah mencoba menjawab terkait The Mistery of Being yang menyatakan bahwa orang lain memiliki andil yang besar dalam diri kita.
“The fact is that we can understand ourselves by starting from the orther, or from orthers, and only by starting from them.”
Begitu juga, sebagaimana yang diucapkan Richard Dewey dan W.J. Humber (1965:105) dalam konsep Affective Others-nya.
Bahkan dengan tegas KH. Husein Muhammad dalam bukunya, Kidung Cinta, menukil sebuah kaidah dari Muhammad Syamsuddin ibn Malik Dad Ali atau Darwisy Mutajawwil atau yang lebih kita kenal dengan Syams Tabrizi, guru dari Maulana Jalaluddin Rumi ini mengatakan:
ان السعي وراء الحب يغيرنا فما من أحد يسعى وراء الحب إلا وينضج أثناء رحلته فما أنتبدأ رحلة البحث عن الحب حتى تبدأ تتغير من الداخل والخارج
“Perjalanan untuk menemukan cinta akan mengubah kita. Siapa pun yang berusaha menemukan cinta pasti akan tumbuh menjadi pribadi matang. Saat kau mulai mencari cinta, kau pun telah mulai berubah, di dalam maupun di luar.”
Tapi, bernada sebaliknya, Syekh az-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’alim-nya sudah mengingatkan bahwa seorang pencari ilmu itu harus totalitas. Bahkan, saat sudah totalitasnya kita untuk ilmu, kenyataannya ilmu hanya akan memberi setengah darinya. Sebegitunya.
Jelas sudah sebagaimana salah satu kutipannya:
وفي الشعر الذي ذكره خليل بن أحمد فوائد كثيرة قيل:
أن يجعل الناس كلهم خدمه * العلم من شرطه لمن خدمه
Lalu ditambahi oleh syarahnya:
والمعنى من شرط العلم أن يجعل الناس كلهم خادمين لمن خدمه على ينبئ عنه الخبر المشهور وهو من خدم خدم
Terkhusus untuk lelaki dalam pembahasan ini, adalah sebuah persoalan pelik. Jangan mendelik. Jangan sampai tergelitik. Karena ada sesuatu hal yang harus dipetik: ikuti alur sampai titik atau tak berkutik?
Selain, sebagaimana yang didawuhkan KH. Melvien Zainul ‘Asyiqien bahwa perempuan adalah sesuatu yang hal paling disukai bagi lelaki, di sisi sebaliknya: kenyataan perempuan dan segala pesonanya. Tentu ini menjadi cobaan yang berat. Cobaan yang diliputi dengan kenikmatan.
Dalam kitab Adabu ad-Dunya wa ad-Diin, Syekh al-Mawardi memberikan keterangan:
وقد قال بعض الحكماء: إياك ومخالطة النساء فاءن لحظ المرأة سهم ولفظها سم
“Sebagian Ahli Hikmah berkata: ‘Takutlah (hindarilah) interaksi dengan perempuan. Karena lirikan perempuan itu panah dan ucapannya itu racun.”
Di keterangan lainnya, beliau menukil sebuah kisah:
وسمع عمر بن الخطاب رضي الله عنه امرأة تقول هذا البيت:
إن النساء رياحين خلقن لكم * وكلكم يشتهي شم الرياحين
فقال عمر رضي الله عنه:
إن النساء شياطين خلقن لنا * نعوذ بالله من شر الشياطين
“Suatu hari, Sayyidina Umar bin Khattab mendengar seorang perempuan bersyair:
Sesungguhnya perempuan adalah wewangian yang diciptakan untuk kalian (laki-laki) * Dan setiap dari kalian pasti ingin (terbujuk) untuk mencium wewangian itu.
Maka, Sayyidina Umar bin Khattab, berkata:
Sesungguhnya perempuan itu (seperti) setan-setan yang diciptakan untuk kami * Aku berlindung pada Allah dari keburukan setan-setan.”
Jadi, hal apa yang bisa diambil?