web analytics

Pesantren; Potret Toleransi Islam Dalam Beragama

Pesantren; Potret Toleransi Islam Dalam Beragama
0 0
Read Time:10 Minute, 6 Second

Toleransi adalah hal yang sangat diperlukan di Negara Keberagaman, seperti Indonesia ini. Banyaknya segala perbedaan yang terjadi; suku, bahasa, ras, dan agama adalah elemen-elemen yang mengisi negara yang 2000 kali lebih besar dari Singapura. Dengan segala banyak macam perbedaan itulah, Indonesia menjadi negara yang rawan akan perpecahan. Bukan tanpa alasan, angka statistik konflik perbedaan masih sangat tingga di setiap wilayah di Indonesia. Sekelas agama pun yang pastinya menanamkan dan mengajarkan moral yang baik tidak terlepas dari adanya konflik antar agama.

Bahkan, dalam Agama Islam sekalipun masih banyak perbedaan dan konflik yang tidak dapat dihindari. Dalam garis besar, Islam memiliki 7 Aliran yang berbeda; Syiah, Khawarij, Muktazjilah, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, dan Sunni.

Lebih dari itu, Islam bahkan telah memiliki 73 golongan. Sebagaimana sabda Nabi,

 “Umatku akan mengalami apa yang dialami oleh Bani Israil, seperti sejajarnya sandal dengan pasangannya, hingga apabila ada di antara mereka itu yang menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, niscaya di antara umatku akan ada yang berbuat demikian. Dan, sungguh Bani Israil sudah berpecah belah menjadi 72 golongan, sedangkan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; semuanya di Neraka, kecuali satu golongan”. Para Sahabat bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Maka beliau meniawab: “Yaitu mereka yang berada di ajaranku dan para Sahabatku”.

            Membicarakan tentang segala kerumitan perbedaan yang terjadi, tetap yang namanya perbedaan bukan untuk dijadikan penyebab perpecahan, tapi untuk dijadikan penyebab persatuan. Bukankah itu sesuai dengan tujuan Bhineka Tunggal Ika? Oleh karena itu, toleransi adalah hal yang sangat dibutuhkan dan ditumbuhkan di negara dan setiap hati para penduduknya.

Islam merupakan agama yang mayoritas di Indonesia yang bahkan lebih besar dari Umat Muslim di Arab sekalipun seharusnya menjadi agama yang melopori segala kebaikan. Islam diberikan Nabi Muhammad Saw sebagai utusan terbaik. Islam diberikan Al-Qur’an sebagai kitab terbaik. Seharusnya kita bisa menjadi umat terbaik. Nabi Muhammad Saw tentu adalah utusan terbaik. Kita bisa mengetahuinya lewat kisah Isra Mi’raj; mengimami sholat para nabi dan rosul di Masjidil Aqsa dan beliau satu-satunya ciptaan yang bisa mencapai tempat tertinggi untuk menemui Allah. Banyak lantunan syair yang memuji Beliau, sebut saja Syair Qasidah Burdah karangan Imam Bushiri,

مُحَمَّدٌ سَيّدُ الْكَوْنَيْنِ وَالثَّقَلَيْـــــــنِ ۞ وِالفَرِيقَيْنِ مِنْ عُرْبٍ وَمِنْ عَجَمِ

Dialah Nabi Muhammad Saw, sang penghulu seorang pemimpin baik di dunia dan akhirat
Juga pemimpin jin dan manusia, baik  bangsa arab ataupun ajam.

نَبِيّنَا اْلآمِرُ النّاهِي فَلَا أَحَدٌ ۞ أَبَرَّ فِيْ قَوْلِ لاَ مِنْهُ وَلاَ نَعَمِ
Yaitu nabi kita Rosululloh Muhammad Saw, sang penganjur kebaikan dan pencegah kemungkaran
Tak seorangpun lebih baik daripada Rosululloh Saw, dalam berkata jangan kau lakukan dan ini sangat baik kau kerjakan

هُوَ الْحَبِيْبُ الَّذِيْ تُرْجَى شَفَاعَتُهُ ۞ لِكُلّ هَوْلٍ مِنَ الْأِهْوَالِ مُقْتَحِمِ
Beliau kekasih Allah ta’ala, yang diharapkan oleh semua insan  syafa’atnya
Dari tiap perkara yang menakutkan yang datang mencekam

Bahkan Hadits Qudsi mengatakan,

لَوْلَاكَ لَمَا خَلَقْتُ الْأَفْلَاك‏

“Kalau tidak Engkau (Nabi Muhammad), maka aku tidak akan ciptakan alam semesta”

Nabi Muhammad adalah sebaik-baiknya makhluk. Akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Jadi, tidak perlu diragukan lagi. Begitu juga dengan Al-Qur’an. Bukankah Al-Qur’an adalah penyempurna kitab-kitab sebelumnya?

اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ

Dan Kami telah menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (QS. Al Maidah: 48).

 

Seharusnya Umat Islam menjadi umat terbaik. Bisa menjadi umat terbaik. Nabi dan Kitabnya menjadi penyebab untuk tidak diterimanya alasan bahwa Umat Islam tidak menjadi umat terbaik. Tapi, kenyataannya? Di zaman sekarang perpecahan menjadi hal yang lumrah dalam agama ini. Konflik-konflik banyak yang mengatas namakan Islam. Entah konflik antar agama ataupun antar sesama. Bukankah kita mengetahui tentang konflik Aceh, Poso, Tanjung Balai, Sampang, dan Papua yang menyita perhatian publik dan menelan banyak korban jiwa.

Dengan segala adanya aksi terorisme pun yang merebak pasti selalu mengatas namakan agama. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Sebut saja aksi terorisme bom Bali, Bom JW Mariot, juga dengan berbagai aksi pengeboman di sejumlah gereja. Kita tentu tau tentang aksi terorisme pada tanggal 11 sepetember di menara kembar WTC yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda dengan Osama bin Laden sebagai pemimpinnya? Peristiwa itu mengatas namakan agama.

Dengan semua itu, seakan-akan Islam adalah Agama Pedang. Agama Perang. Sebagaimana mengutip perkataan Habib Husein Ja’far Al-Haddar, dalam bukunya Tuhan Ada Di Hatimu,

“Sebagian Ulama menyatakan bahwa jika baru pada tahap dugaan akan berperang maka kita tidak boleh melakukan penyerangan. Kita baru diperbolehkan berperang hingga benar-benar melakukan penyerangan.”

Di halaman lainnya, beliau juga mengatakan,

“Allah ingin mengajarkan kepada kita bahwa perang pun, dalam ajaran islam, tak boleh karena nafsu, marah, benci, dan lain-lain. Tapi, dengan cinta.”

Memang, Islam sangat mengatur masalah berperang. Bahkan etika pun diterapkan saat perang, seperti dilarang menghancurkan rumah ibadah dan menyerang tokoh agama.

“Peperangan itu bukan hanya tidak selaras dengan ajaran Islam, tapi mengkhianati fitrah manusia yang pada dasarnya membenci peperangan.” Tutup beliau di akhir penjelasannya.

Bukan hanya itu, moral Umat Islam pun tidak kalah bobrok. Di zaman kemajuan dan teknologi ini bukan menjadikannya bijak dan ikut maju secepat perkembangan zaman. Malahnya semakin merosot dan terjun bebas. Berapa banyak Umat Islam yang tersibukkan dalam aplikasi tiktok dengan segala hal yang menunjukkan bahwa lelakinya menjadi budak syahwat dan perempuannya pengumbar aurat? Itu masih merupakan hal kecil dari banyak hal yang sulit dan berat untuk dijelaskan.

Sungguh mengenaskan. Islam yang telah dibentuk, dibangun, dirancang dengan komponen terbaik dengan utusan, kitab, dan para cendekiawannya, nyatanya umatnya belum melampaui harapan. Umat Islam dan Indonesia merupakan dua hal yang berkaitan dalam krisis moral dan toleransi.

Dengan segala kebobrokan itu, lalu bagaimana caranya menjadi seorang muslim yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan moral di dalam perbedaan dan kemajuan ini? Pondok Pesantren menjadi jawaban dan solusi yang tepat.

Semua kemerosotan moral dan toleransi yang terjadi saat ini disebabkan karena merosotnya nilai-nilai agama bagi para individunya. Semua agama tentu mengajarkan moral dan norma-norma kebaikan bagi para pemeluknya. Untuk Agama Islam, semua hal tentang disiplin ilmu dan moral telah lengkap diajarkan di pondok pesantren.

Pondok pesantren tentu telah diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan ‘mencetak generasi kuat spiritual dan cerdas intelektual’ yang direfleksikan dengan sudut pandang masing-masing pondok pesantren.

Disiplin waktu adalah hal yang pokok dalam peraturan. 24 jam waktu dalam sehari dipergunakan dengan seefektif mungkin. Kapan santri harus bangun, makan, mandi, belajar, sampai mau tidur lagi. Semua sudah ada jadwalnya. Sekilas memang merepotkan. Tapi bukannya, jika kita ingin memiliki kebiasaan baik, maka harus membiasakan hal baik pula? Dan untuk dapat membiasakan hal baik, maka harus adanya paksaan. Dipaksa, terpaksa, terbiasa.

selain waktu, disiplin moral tentu sangat ditekankan. bagaimana caranya bersikap kepada orang yang lebih tua, kepada sesama, dan kepada yang lebih muda. Menghormati yang tua, menghargai sesama, dan menyayangi yang muda. Tentu itu semua ditekankan dan dilaksanakan. Lalu, untuk materi dari ilmu moral pun, pondok pesantren banyak mengkaji kitab-kitab akhlak yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan kelas belajarnya masing-masing. Sebut saja seperti kitab Akhlakul lilBanin, Taysirul Kholaq, Washoya, Ta’limul Muta’alim.

Jadi, santri sudah terjamin akan moral yang terpupuk yang mereka dapatkan dari berbagai tulisan kitab para cebdekiawan islam yang memiliki kedalaman ilmu dan bisa langsung dipraktekan santri di lingkungannya masing-masing, pondok pesantren maupun rumahnya. Selain itu di pondok pesantren juga lekat dengan Namanya ‘ngaji rasa’. Meskipun tidak dijadikan program kegiatan pesantren, karena memang ngaji rasa ini tumbuh di setiap individu santri itu sendiri. Ngaji rasa atau belajar mengolah rasa pada diri sendiri tentu sangat diperlukan di pondok pesantren yang mana merupakan ruang lingkup bagi setiap santri yang berasal dari berbagai macam daerah berbeda dengan sifat, watak, dan ciri khas yang berbeda pula.

Untuk menghadapi segala perbedaan itu, kepekaan terhadap sesame harus dijunjung dan dilatih bagi setiap santri. Lingkungan dan interaksi antara santri satu dengan lainnya akan bisa melatih kepekaan atau ngaji rasa itu. Ia dapat mengetahui berbagai macam watak santri lain yang berbeda, kekurangan dan kelebihannya, hingga ia bisa menarik kesimpulan bagaimana caranya menghadapi perbedaan itu. Santri bisa berbuat baik dengan menyesuaikan perbedaan yang terjadi. Inilah yang menjadi awal mula terbentuknya rasa toleransi yang dimulai dari lingkup kecil. Antar sesama santri dengan mempelajari dan menerima perbedaan di antara mereka.

Melatih diri dengan ngaji rasa akan menimbulkan kepekaan batin dan lebih menghargai perasaan orang lain. Karena tidak jarang sekarang orang-orang sangat suulit untuk bisa menghargai dan peka terhadap orang lain. Yang menurut kita baik, tapi belum tentu baik menurut orang lain. Begitu juga, yang meurut kita buruk, tapi belum tentu buruk menurut sebagian orang. Banyak hal yang bersifat abstrak dan relatif.

Itu semua nanti akan sangat berguna bagi para santri, selagi penerus generasi emas islam, ketika sudah terjun di masyarakat untuk menyebarkan islam dan kebaikannya. Dan segala ilmu yang telah diajarkan di pesantren, juga dengan ngaji rasa yang telah dilatih akan memudahkan santri untuk berbaur dengan berbagai macam masyarakat Indonesia yang majemuk. Baik antar sesame ataupun antar agama. Santri menjadi pelopor toleransi di Indonesia.

Bukankah kita tau, siapa Bapak Pluralisme Indonesia? Iya, ia adalah KH. Abdurrahman Wahid. Kiai sekaligus Presiden Keempat Republik Indonesia ini merupakan santri jebolan Pondok Pesantren Ternama, seperti Krapyak, Tegal Rejo, dan Tambak Beras. Beliau menjadi tokoh pemersatu segala perbedaan di Indonesia, termasuk dari segi agama.oleh sebab itu, beliau sangat disegani oleh Islam maupun umat agama lain. Dalam buku Gus Dur Santri Par Excellence, banyak pengakuan dari berbagai tokoh agama lain tentang beliau selaku pejuang pluralisme, seperti yang disampaikan oleh Pandita Henry Basuki dari Majelis Theraveda Indonesia,

“Sekecil apapun perbedaan yang ada, sangat dihargai oleh beliau. Itu yang membuat kami merasa sangat terlindungi”

“Saya pendeta, tetapi merasa sebagai anak ideologi Gus Dur. Artinya, saya sangat setuju dengan pandangan dia karena dia membela perdamaian dan minoritas. Integritas yang dia miliki layak dan boleh dicontoh kita semua. Rakyat Indonesia apapun agama dan suku bangsanya mendo’akan Anda, Gus.” Ucap Pendeta Albertus Pati pada saat acara do’a Umat Lintas Agama untuk Gus Dur di Jakarta.

Bahkan, saat ini Habib Husein Ja’far Al-Hadar pun menjadi terkenal sebagai pendakwah milenial yang kerap kali mengadakan dialog interaktif dengan berbagai agama lain. System dakwahnya yang santai, kekinian, dan cerdas mampu menampilkan Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin. Dan ternyata beliau juga termasuk santri jebolan Pondok Pesantren YAPI Bangil. Baik KH. Abdurrahman Wahid ataupun Habib Husein Ja’far Al-Hadar adalah cerminan Islam yang toleransi terhadap siapapun dan agama apapun. Dan yang terpenting, kedua tokoh toleransi itu merupakan sebagian dari jebolan Pondok Pesantren. Dengan hal itu, Pondok Pesantren merupakan potret toleransi islam dalam beragama dengan didikan ilmu moral, juga ngaji rasa yang dilatih.

 

 

 

***

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like