Pesta di Malam Kemerdekaan
Aku masih duduk termangu di belakang pondok, memandangi rembulan yang dengan sabar menemaniku di malam ini, yang dengan gagahnya menghiasi semesta dengan citra berbentuk sabit yang dimilikinya.
Pukul sebelas malam.
Para santri sudah terlelap didalam tidurnya. Semuanya. Kecuali aku seorang yang mungkin belum berminat melepas penat beralaskan keramik yang menjelma menjadi ranjang bagi kami.
Besok adalah hari paling istimewa untuk negara ini, Negara Indonesia. Tanggal 17 Bulan Agustus. Semacam hasil akhir dari tetesan keringat para pejuang terdahulu dalam membebaskan negara ini dari ancaman para musuh-musuhnya. Sebut saja mereka para penjajah yang dengan rakusnya melahap segala hal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
“Nyari ide lagi?” tanya sobat karibku dikamar, Adit. Ia sepertinya juga tidak bisa tertidur malam ini.
Aku menoleh ke arahnya, menatapnya malas, “Tidak, Dit. Aku tidak sedang menulis lagi. Inspirasi sepertinya tidak lagi memihak kepadaku”
“Bukankah besok Hari Kemerdekaan? Kalau kamu mau, kita bisa merayakanya malam ini juga. Dari pada kamu duduk nggak jelas gitu, kan, lebih baik kita merayakannya di luar. Dan pastinya, kita adalah orang pertama yang meramaikanya,”
“Aku nggak paham maksudmu, Dit.” ujarku kebingungan dengan apa diungkapkan olehnya barusan.
“Ayo, ikut aku keluar. Kita sapa masyarakat di desa ini. Pesantren terlalu membosankan untuk kita jadikan tempat perayaan,”
Belum sempat aku bertanya lebih lanjut tentang maksud yang diutarakanya, Adit sudah menyeret lenganku. Dengan penuh keterpaksaan, aku akhirnya mengikutinya dari belakang. Menantikan hal gila apalagi yang akan dilakukannya.
Kalau boleh jujur, aku sebenarnya enggan untuk mengikuti jejaknya. Setiap hal gila yang ia lakukan saat di pondok sudah membuatku muak. Ingin rasanya memukul wajah yang tidak mengenal penyesalan itu. Prinsipnya yang ingin menjadi santri berbeda dari yang lain sukses mendoktrin otaknya untuk berpikir secara out of the box berpikir diluar batas kewajaran manusia pada umumnya.
Aish, lihatlah!
Pukul setengah dua belas malam. Dan dengan bodohnya, dia melipat bendera merah putih dengan tali rafia berwarna biru tua dan melemparkanya didepanku begitu saja. Ia juga menyiapkan sebuah panci dan gayung yang biasa di pakai para santri untuk mandi.
“Kalau ada yang selesai berak dan tidak menemukan gayung untuk membersihkan kotoranya, aku tidak bertanggung jawab, Dit,” pesanku kepadanya. Seperti biasa, dia hanya tertawa aneh dan menatapku lekat. “Cukup diam dan pelajari, ya?”
Selain itu, dia juga membawa seperangkat petasan yang entah ia dapatkan dari mana. Mulai dari petasan berukuran kecil, sedang, hingga jumbo pun ada. Aku yakin ia akan menyalakanya malam ini. Korek api yang biasa ia gunakan untuk menyalakan rokoknya juga ia selipkan di kantong belakang.
“Bantu aku menaikannya di atas pick up. Jangan banyak bertanya. Cepatlah!”
Aku segera mengangkut barang-barang yang ia siapkan sejak tadi. Berat sekali mengucapkan, “Aku tidak ingin ikut, Dit” saat ini. Seperti ada dorongan kuat agar aku mengikuti apa yang ia lakukan. Semoga saja, hal gila yang akan ia lakukan tidak sampai membuatku harus koma di rumah sakit atau berurusan dengan pihak kamtib di pondok pesantren.
Setelah semua siap, Adit menyuruhku untuk duduk dibagian sopir, sedangkan dia di sampingku, mengendarai pick up yang tidak aku ketahui milik siapa menuju kesebuah tempat yang diinginkannya. Pick up melaju perlahan keluar area pondok. Untungnya, tidak ada keamanan yang mencurigai kami saat melewati pintu masuk pondok. Keluar pondok dengan menaiki pick up adalah salah satu dari kesekian cara terhebat Adit untuk bisa kabur dari pondok.
Aku akui memang, dia cukup cerdas dalam masalah ini. Andai terjadi apa-apa pada kami, Adit juga siap dan bersedia untuk mempertanggungjawabkannya.
Di tengah perjalanan, Adit turun dari pick up dan berpindah posisi di belakang.
“Aku akan siapkan pestanya. Siap-siap untuk ini, oke?” katanya sambil menutup pintu dan meloncat ke belakang.
Hal buruk yang aku takutkan benar-benar terjadi. Adit menyalakan satu per satu petasan yang ia bawa dan melemparkanya diteras setiap rumah warga yang kami lewati. Adit juga meneriakiku agar mempercepat laju kendaraan. Aku menuruti saja yang ia katakan.
Namun, semakin lama, warga yang mengejar kami semakin banyak. Aku juga semakin kesulitan saat membelokan arah. Gang-gang kecil di setiap sudut yang aku temui mempersulit perjalanan kami. Puluhan warga dengan emosi yang meluap-luap mengejar kami di belakang. Mau tidak mau, aku harus mempercepat laju kendaraan. Apapun yang terjadi.
“Cari jalan keluar menuju lapangan desa. Cepat!” Teriak Adit keras sambil tetap melempar petasan di depan rumah setiap warga yang dilihatnya.
Dengan penuh ketakutan, aku melirik dari kaca sepion keributan apa yang terjadi dibelakang sana. Teriak para warga mengganggu konsentrasiku dalam mengemudi. Semakin keras, dan semakin menggema saja, membuat gendang telingaku meronta-ronta untuk bisa lepas dari semua.
“MERDEKA! MERDEKA! HIDUP INDONESIA! MERDEKA!”
Dengan lantangnya Adit meneriaki kalimat tersebut. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang direncanakannya saat menyuruhku mengarahkan mobil ini ke lapangan.
Setelah suara petasan yang ia persiapkan habis, ia kembali membuat suasana menjadi gaduh dengan memainkan gayung dan panci yang ia siapkan tadi dengan bergaya mirip seperti pemain band handal.
Suasana jadi semakin menegang, saat aku menyadari bahwa belokan yang aku lewati sekarang adalah jalan buntu.
“SIAL!” gumamku kesal dan langsung memencet rem dengan cepat. Aku dapat melihat Adit yang terjungkal di belakang sana dari kaca sepion. Aku bergegas turun dan membantunya berdiri. Adit menarikku dan mengajakku untuk menjauh dari kejaran warga desa yang sepertinya ingin membubuh kami malam ini juga.
“Jangan lari kalian!” teriakan warga terdengar seperti terompet Malaikat Izroil ditelingaku.
“Dit, aku tidak ingin mati sekarang, Dit,” ucap ku pada Adit saat kami sedang berlari menjauh menuju lapangan. Ia tidak ingin membalas ucapanku. Ia sudah tersibukkan oleh bendera merah putih yang ia selipkan dilengannya.
Di penghujung pelarian, sungai kecil yang berada di pinggir lapangan mengganggu garis finish kami. Ukuran sungai tersebut cukup lebar. Kira-kira tuju sampai delapan meter. Sungai tersebut hampir setengah di penuhi oleh air. Mustahil aku mampu melompatinya.
“Jangan bilang kalau kita akan melompatinya, Dit, “
“Hmm, gimana ya, pilihan nya cuman dua : lompat, atau mati dihajar warga. Kamu tinggal milih sendiri. Aku duluan, oke?”
Tanpa memberi aba-aba, Adit mundur beberapa langkah mengambil ancang-ancang dan melompati sungai tersebut. Ajaib. Ia sampai disana tanpa ada rasa takut sama sekali. Seakan, lompatan seperti ini dianggap mainan kecil baginya. Bendera merah putih yang ia selipkan di ketiaknya tidak terjatuh.
Dan, saat aku mengayun kan kakiku setelah sebelumnya mengambil ancang-ancang, aku terjebur ke sungai. Tubuhku terseret beberapa meter hingga Adit meletakkan bendera yang ia jepit di lengan nya dan berlari mengikuti arus sungai, menarikku paksa dengan kedua tangan nya saat aku berhasil mendapat kannya.
“Cepetan naik! kalau mau berenang besok aja!”
Dalam keadaan seperti ini, ia masih bercanda. Bagaimana mungkin aku berenang di tengah malam saat di kejar-kejar warga seperti ini?
Setelah sukses menolongku, Adit memberiku kesempatan untuk bernafas sejenak.
“Sepuluh detik, cepatlah, “ katanya sambil tertawa ke arahku yang membuatku seakan ingin melayangkan pukulan ke wajah nya yang tak berdosa itu.
“Nah, sudah tenang, kan. Sekarang? Waktunya kita merayakan kemerdekaan. Jam dua belas pas,”
Adit mellingkarkan bendera merah putih yang sedari tadi ia bawa di lengannya; mengangkat tangan nya tinggi-tinggi menatap puluhan warga yang berdiri tegap di seberang sungai dengan emosi yang meluap-luap.
Aku menjauh dari Adit saat para warga melemparinya dengan batu kecil ke arah nya. Aku tidak ingin mati dengan cara konyol seperti yang di lakukan nya saat ini.
Adit tidak menggubris bebatuan yang mengenai tubuhnya. Ia sibuk memaju mundurkan lengan kanannya agar bendera yang melingkar disana dapat berkibar. Semakin ia terkena lemparan, ia justru semakin senang. Entah apa yang ada dipikirannya. Aku sendiri heran memiliki teman yang gila sepertinya.
Anehnya, saat Adit semakin kencang mengibarkan bendera tersebut, para warga menghentikan lemparannya. Mereka di buat bingung oleh sifat aneh yang di perlihatkan oleh Adit barusan.
Saat itulah Adit menunjukkan keahliannya sebagai orator paling handal.
Ditengah kerumunan warga, ia berorasi layaknya Soekarno saat memproklamirkan kemerdekaan. Seluruh perkataan yang keluar dari mulut Adit seperti obat penenang bagi mereka. Aku pun sama. Terdiam dan menyaksikan drama yang dilakukan oleh temanku yang satu ini.
Lama sekali Adit melakukan aksinya. Hingga dari mulutnya, keluar nada lembut yang selalu diucapkan segenap warga Indonesia saat menyanyikan lagu kemerdekaan Indonesia.
“HI….DUPLAH….INDONE….SIA…..RAYA…”
Adit memimpin nyanyian Indonesia raya; lagu kebangsaan Indonesia. Lumuran darah yang mengalir di wajah nya membuat nya semakin bersemangat untuk menyanyikan lagu tersebut.
Apakah ia berfikir bahwa ia adalah penjelmaan seorang pejuang saat berperang demi mengibarkan sang merah putih?
Dengan sendirinya suaraku terangkat mengikuti nyanyian tersebut. Aku bernyanyi denga Adit dan para warga yang sepertinya sudah memahami apa yang Adit inginkan.
Saat lagu usai, Adit meminta maaf kepada mereka dengan melompati sungai didepannya dan menyalami mereka satu per satu. Mereka memaklumi apa yang Adit lakukan ini.
“Tapi jangan diulangi lagi, ya, ngganggu orang tidur” pesan salah satu dari mereka kepada Adit.
“Maaf, Dit. Maaf jika aku belum bisa menjadi teman yang baik untuk mu”
Usai bernyanyi bersama malam itu, Adit mengakhiri pertemuan dengan satu kata yang mampu memompa semangat warga untuk kembali memeriahkan kemerdekaan di tahun ini.
Rintik-rintik hujan perlahan turun, menyambut teriakan yang keluar dari mulut Adit
“MERDEKA!”
Oleh: M. Hasan Al-Kafrowi