Polemik Pengeras Suara dan Kurangnya Wawasan Kenegaraan
Haji diatur oleh Pemerintah sejak Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 1969 hingga saat ini melalui UU No. 8 tahun 2019. Zakat juga diatur Pemerintah melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Puasa diatur pula oleh Pemerintah mulai dari ru’yatul hilal hingga diatur cuti Bersama setelah syawal. Madrasah pun diatur Pemerintah.
Nah, ketika adzan yang baru-baru ini diatur oleh Menteri Agama supaya lebih tertata mengenai volume pengeras suaranya kok malah pada bersuara? Seolah-olah tidak terima? Bahkan menarasikan yang negatif. Memojokkan menterinya tanpa menelaah dulu apa isi peraturan di Surat Edaran (SE) NO 05 tahun 2022 Menag tersebut. Padahal bila ditelaah SE itu tiada sama sekali melarang adzan.
Mari kita memakai premis berikut ini: Bila Pemerintah melarang adzan berarti negara kita sekuler, Bila pemerintah mewajibkan adzan memakai pengeras suara berarti negara kita cendereung konservatif. Bila pemerintah membolehkan adzan memakai pengeras suara dengan ketentuan yang telah ditetapkan, berarti negara kita moderat.
Dari premis diatas, menimbang pemeluk agama di Indonesia yang heterogen negara kita adalah moderat bukan memihak satu agama saja. Menteri Agama pun demikian, bukan menteri yang mengurus satu agama saja. Lalu, secara konstitusi dan kenegaraan, pemerintah mengatur pengeras suara itu sama saja dengan pemerintah mengatur haji, puasa, zakat, Madrasah, pesantren dan hal-hal keagamaan lainnya. Aturan-aturan tadi masuk keranah konstitusi namun sayang sekali sedikit yang faham.
Saya yakin Menag Yaqut Cholil Qoumas sebagai seorang yang berlatar belakang pesantren sudah mempertimbangkan maslahat dan madhorotnya sebelum meneken SE ini. GusYaqut pasti juga pernah mempelajari kaidah fiqih yang berbunyi, تصرف الامام علي الرعية منوط بالمصلحة Artinya, “kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya dilandaskan pada pertimbangan kemaslahatan rakyat”.
Namun demikian masyarakat Indonesia jarang yang tahu dan paham tentang kenegaraan dan konstitusi. Jarang yang tahu dimana itu wilayah yang boleh diatur pemerintah dan dimana itu wilayah personal yang tidak boleh dicampuri oleh pemerintah. Padahal secara konstitusi sebagai negara moderat, pemerintah mengatur wilayah ibadah adalah hal yang wajar. Beda cerita bila pemerintah melarang ibadah itu malah sekuler atau mewajibkan ibadah tertentu itu malah negara yang ultra konservatif.
Disisi lain, dengan turunnya SE tadi, Maka Menag harus siap mengambil resikonya, Kembali lagi Gus Yaqut pasti juga tahu betul kaidah fiqih الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه. “Mengamini satu perkara berarti mengamini apa yang menjadi turunannya.” Dengan meneken SE ini Gus Yaqut harus siap pula berhadapan dengan potensi berbagai pelanggaran-pelanggaran kedepan.
Sampai disini kebijakan pemerintah sangat diperlukan dan wawasan masyarakat tentang konstitusi dan kenegaraan juga harus tercerahkan sehingga kedepannya tidak terjadi sebuah kesalahpahaman. demi Mewujudkan negara yang
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ “Negeri yang damai dan Allah mengampuninya”.
Wallohu A’lam.