Pondok Kasingan dan Sejarah yang Mendiami Rumah KH. Kholil Harun
Senin, (24/10) Pers Mahrusy mengadakan kunjungan ke Pondok Pesantren Raudhotul Tholibin, Kasingan, Rembang, Jawa Tengah. Kunjungan itu atas dasar silaturahmi dan tugas yaitu wawancara tokoh pesantren untuk mengisi rubrik majalah cetak kami. Butuh 11 jam dengan satu kali transit di rest area untuk kami sampai di Pondok Kasingan. Sampai di sana pada jam 6 pagi, kami bertemu dengan Mas Rifa’I selaku abdi dalem Pondok Kasingan. Kami diarahkan langsung menuju pondok yang ternyata sudah kami lewati sebelumnya. Pondok Pesantren Raudhotul Tholibin atau Pondok Kasingan berada di Jl.Sudirman no.35 Rt.03/Rw.11 Kasingan, Sukoharjo, Rembang yang bersampingan langsung dengan jalan pantura.
Kami ditempatkan di sebuah rumah yang cukup sederhana. Ternyata itu adalah kediaman
Dzuriyah Kasingan. Dan ternyata lagi, rumah itu adalah rumah asli dari KH. Kholil Harun
Kasingan. Siapa yang tak kenal dengan KH. Kholil Harun Kasingan? Beliau adalah salah satu Ulama Nusantara yang tidak perlu diragukan lagi keilmuaannya. Bahkan, beliau dijuluki sebagai Imam Sibawaihnya tanah jawa karena keahliannya, terlebih dalam ilmu nahwu. Beliau salah satu dari dua Ulama yang bernama kholil yang terkenal dengan kedalaman ilmunya setelah Syekh Kholil Bangkalan. Dan kami merasa sangat terhormat sekali bisa ditempatkan di kediaman asli KH. Kholil Harun.
Rumah beliau sangat sederhana. Mayoritas masih berbahan kayu. Mulai dari dinding, tiang, langit-langit, bangku, meja, dan bahkan dengan lukisan-lukisan masih terkesan sangat klasik. Kami ditempatkan di pendopo, berada di ruang tamu. Di Pendopo yang cukup luas itu, kami sambil meletakan barang-barang dan berbincang ringan dengan Mas Rifa’I, tiba-tiba Ibu Nyai Aminah Tadaq, Cucu dari KH. Kholil Harun. Kami menunduk ta’zhim. Beliau sangat ramah dengan kami. Beliau sedikit menceritakan sekilas tentang sejarah KH. Kholil Harun dan Pondok Kasingan, termasuk rumah itu,
“Beliau (KH. Kholil Harun) itu sangat alim. Bahkan dalam sehari semalam mampu membaca kitab seebanyak lebih dari sepuluh. Beliau juga seorang Ulama yang produktif. Maksudnya, karena dulu belum ada percetakan dan sulitnya mendapatkan kitab. Maka, KH. Kholil Harun menyalin kitab-kitab pelajaran dan memberikannya pada santri untuk bahan belajar.” Ucap Ibu Nyai.
Pondok Kasingan telah mencetak para santri yang alim dan sholeh. Sebut saja, KH. Abdul Hamid Kendal, KH. Bisri Musthofa Rembang, dan KH. Mahrus Aly Lirboyo yang merupakan sebagian dari alumni dari Pondok Kasingan.
“Pondok ini pernah memiliki 2000 santri. lalu, semakin menyusut dengan vakumnya pondok karena pandemi. Sekarang masih ada beberapa santri yang semuanya bersekolah umum, baik putra maupun putri.” Lanjut beliau.
Beliau juga menjelaskan tentang seluk beluk sejarah rumah KH. Kholil Harun.
“Bentuk rumah ini masih asli, sama seperti kali pertama berdiri. Hanya saja semakin dimakan usia kayu-kayu itu (Dinding kayu) menjadi kropos dan sering mengundang tikus. Jadi, dinding rumah ini sedikit direnovasi dengan sedikit disemen. Juga pendopo ini.” Terang Cucu KH Kholil tersebut.
Beliau cukup banyak berbincang dengan kami mengenai sejarah KH. Kholil Harun, Pondok Kasingan, dan Rumah (Ndalem lama) itu. tapi, karena beliau juga seorang guru jadi tak bisa menemani lama karena harus berangkat pagi. Kami juga sempat bertemu dengan adik mertuanya Ibu Nyai yang seorang pegawai Pemda sebelum kami sarapan pagi yang telah disediakan.
Setelah sarapan, kami juga kembali berbincang-bincang dengan Mas Rifa’I mengenal banyak hal. Termasuk dengan rumah (Ndalem Lama) itu.
“Mas, disini itu masih ada kamarnya KH. Kholil Harun dan sekarang dijadikan sebagai kamar tamu. Kalau mau, jenengan boleh pindah istirahat di kamar itu!” Jelas Mas Rifa’i, khodim ndalem.
Mendengar ucapan Mas Rifa’I membuat kami sedikit terkejut dan penasaran. Rasa ingin tau itu ada, tapi rasa sungkan dan ta’zhim kami berusaha menolaknya baik-baik. Lalu, dengan membawa kamera dan buku serta pulpen, saya mengajak satu teman saya untuk melihat-lihat rumah ini lebih jauh. Mulai dari interior ruang tamu yang cukup rapih tanpa menghilangkan sisi klasik yang ditampilkan. Di sana ada beberapa lukisan kaligrafi, kipas, lampu gantung, juga bangku dan meja sebagai tempat menyambut tamu. Di sana juga ada satu figura besar yang berisi tentang silsilah Dzuriyah Pondok Kasingan yang membuat kami semkain penasaran. Tetapi, ada sesuatu yang membuat saya bertanya dalam. Dari ketiga pintu keluar yang berada di ruang tamu, di atasnya selalu ada tulisanحي صمد با قي وله كنف واقي setelah hal itu kami tanyakan ke Mas Rifai’I yang kebetulan menemani, ia menjawab bahwa itu adalah amalan pada saat pandemi. Untuk jaga-jaga.
Kami di bawa masuk ke area dalam rumah yang disambut dengan rak-rak yang berisi puluhan kitab dan buku-buku. Terlihat kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam Ghozali, Hasiyah Syarwani ala Tuhfatil Muhtaj bi Syarhil Minhaj 12 jilid, Hasiyah Tarmasyi 7 jilid, dan kitab lainnya. Begitu pun dengan buku-buku. Banyak sekali buku-buku umum, buku sekolah, cerita islam, bahkan buku-buku fiksi seperti cerpen, puisi, dan novel dari para penulis hebat seperti, Sapardi Djoko Damono, Andrea Hirata, Tere liye, Pramoedya Ananta Toer, dan lainnya. Belum puas dengan buku-buku itu, mata kami tertuju dengan sebuah lemari yang berisi kitab-kitab usang. Terlihat jelas dari warna kitabnya yang mulai menghitam dan kertasnya yang mulai lapuk. Salah satu dari itu saya ambil, ternyata adalah kitab Risalatul Qusyairiyah karangan Al-Imam Al-Qushayiri di sana tertera tahun 1337 Hijriyah. Berarti kitab itu sudah berumur 106 tahun. Menurut Ibu Nyai itu adalah kitab-kitabnya KH. Kholil Harun dan keluarga yang masih tersisa.
Kami juga menyempatkan ke kamar KH. Kholil Harun, meski begitu kami (saya dan satu teman) tetap ingin tahu bagaimana kamar beliau. Di kamar itu, tidak jauh beda seperti kamar pada umumnya. Sudah banyak juga perubahan yang terjadi. Dinding, cat, dan barang-barangnya sudah tidak sama seperti aslinya. Efek auranya agak kurang, mungkin karena sudah lama bekas dipakai sebagai kamar santri dan para tamu. Kami sedikit mengambil foto dan menanyakan hal yang perlu.
Setelah dirasa cukup, kami juga menyempatkan ke langgar atau mushola. Di sana juga tidak diubah dari bentuk sebelumnya. Langgar itu didominasi oleh kayu jati. Mulai dinding, pintu, tiang, hingga kentongan. Langgar itu selain untuk sholat, biasanya digunakan sebagai tempat mengaji santri. baik putra maupun putri. Hanya dikasih tirai pembatas.
Mas Rifa’I menceritakan tentang asarama santri yang terbakar di tahun 2002 akibat konsleting listrik. Asrama berbahan kayu itu ludes dimakan api. Namun sekarang sudah dibangun kemabli dengan bangunan permanen. Di langgar itu juga biasanya diisi oleh Ibu Nyai dan pengajar yang lain. Setelah puas melihat dan bertanya mengenai setiap sudut dari rumah maupun Pondok Kasingan, kami kembali ke pendopo untuk bergabung bersama yang lainnya. Kami bersiap untuk melanjutkan tujuan kami, selain ziaroh, yaitu wawancara dengan para tokoh pesantren di sana. Kami sangat bersyukur bisa silaturahmi ke Pondok pesantren Raudlatul Thalibin atau Pondok Kasingan. Sekian.
***