Potret Nasionalisme Kaum Sarungan Dalam kitab Idhotun Nasyi’in
Nasionalisme adalah sifat yang wajib dimiliki oleh setiap orang yang berbangsa dan bertanah air. Sebagi bentuk kecintaan dan identitas akan negara, tempat tanah tinggalnya. Setiap orang harus tertanam cinta dan percaya pada hatinya, juga strategi dan ide cemerlang demi kemajuan bangsanya. semua kalangan, tak terkecuali.
Begitupun dengan santri. Kaum sarungan itu sudah seharusnya memiliki gelegar semangat dan gebrakan pemikiran nasionalisme bangsanya. Sudah seharusnya. Karena mereka memang terlahir dari para pahlawan. Para pendahulu yang turut menyuarakan kemerdekaan tanpa meninggalkan mengaji dan taat pada Kiainya.
Peran santri tak perlu diragukan lagi dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Seorang sejarawan sekaligus penulis yang berlumuran gelar penghargaan, Ahmad Mansyur Suryanegara dalam 2 jilid bukunya yang berjudul Api Sejarah telah jelas. Jelas, sejelas-jelasnya akan peran itu. Pra, era, dan pasca kemerdekaan. Bangsa ini berhutang budi pada santri. ‘Mahakarya Ulama Dan Santri Dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia’, tulisnya di muka cover buku itu. Tak akan saya jelaskan isinya. Bacalah sendiri!
Tapi, dengan perputaran waktu, apakah masih relevan kiranya untuk angkat senjata saling membunuh dan menumpahkan darah demi nasionalisme bangsa? Setelah IR. Soekarno membacakan dengan lantang dan jelas,’ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.’?
Lalu, bagaimana cara santri untuk bersikap nasionalisme di zaman sekarang? Syekh Musthofa Al-Ghoilayaini telah menjelaskannya dalam kitab Idhotun Nasyi’in bab Wathoniyah. Meski telah ditulis sejak 109 tahun lalu, tepatnya tahun 1913 di Beirut, tak menunjukkan sama sekali kolot dan fundamental dalam isi pembahasan kahs karangan terdahulu. Materi pembahasan yang menarik disebabkan selain Ulama, beliau juga merupakan seorang Jurnalis. Itu bisa dilihat di awal permulaan kitab tersebut dengan beliau aktif mengisi tulisan di koran Al-Mufid.
Di awal bab Wathoniyah, beliau, Syekh Musthofa Al-Gholayaini memberi kritikan, ”Saya belum pernah merasa heran sama sekali, melebihi keheranan saya terhadap orang yang mengaku berjiwa nasionalisme dan mengklaim, bahwa dia telah berkorban dengan darah dan hartanya demi negara: Namun, orang tersebut ternyata berupaya keras merusak benteng-benteng ketahanan negara, dengan berbagai macam tindakan kesewenang-wenangan.”
Beliau juga meneruskan akan nasionalisme yang sejati,” Nasionalisme yang sejati adalah kecintaan berusaha untuk kebaikan negara dan bekerja demi kepentingannya, sedangkan seorang nasionalis tulen adalah orang yang rela mati demi tegaknya negara dan rela sakit demi kebaikan rakyatnya.”
Tentu santri merupakan nasionalis sejati. Itu semua sudah dibuktikan oleh kaum sarungan terdahulu yang mati-matian berperang dan berjuang demi merdekanya bangsa ini. Untuk cinta, apa mungkin orang yang rela mati-matian mengorbankan jiwa raganya tanpa didasari cinta yang menggebu?
Tapi, sudah dikatakan di awal, bahwa mengangkat senjata sudah tidak relevan di zaman sekarang. Dan kalimat yang indah, Syekh Musthofa Al-Gholayaini, “Seorang anak, baru dianggap sebagai anak yang sebenarnya, apabila dia telah melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap ayahnya. Begitu pula putra bangsa, tidak bisa disebut putra yang baik, kecuali jika dia mau bangkit, sanggup memikul beban dan tanggung jawab untuk mengabdi pada negara, mempertahankan negara dari rongrongan para provokator dan membendung usaha-usaha para pengkhianat atau pejuang-pejuang palsu.
Di antara kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap putra bangsa adalah meningkatkan jumlah orang-orang terpelajar yang bermoral tinggi dan baik, yang telah tertanam kuat dalam dadanya kata mutiara yang amat terkenal, yakni: ‘Cinta tanah air itu bagian dari keimanan’.”
Ya, dalam sebuah bangsa wajib memiliki dan meningkatkan para orang-orang terpelajar. Maju mundurnya suatu bangsa di tentukan oleh maju mundurnya orang orang terpelajar. Pendidikan. Tentu pendidikan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan. Tapi, sayangnya Indonesia masih rendah soal ini dan menjadi PR besar. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), pada tahun ajaran 2020/2021 ada sekitar 83,7 ribu anak putus sekolah di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut meliputi anak putus sekolah di tingkatan SD, SMP, SMA, dan SMK baik negeri maupun swasta. Begitu memperihatinkan bagi negara sebesar Indonesia.
Dengan rendahnya aspek pendidikan Indonesia juga berpengaruh pada moral warga negaranya. Dan sekrang indonesia masih krisis moral. Antar sesama suku, agama, bahkan tetangga dan keluarga. Di medsos dan dimana-mana.
Santri dan pesantren adalah jawabannya. Sekarang pesantren tak hanya berkutat pada kitab kuning saja. Tak ada lagi istilah kolot, ‘santri bisanya hanya mengaji saja!’ memang selain ilmu agama, juga akhlak. Sampai juga mulai merambah ke ilmu formal. Banyak pesantren yang memiliki lembaga pendidikan formal sendiri atau memperbolehkan sampai memilih sekolah formal di luar yang tak jauh dari pesantren. Tentu akan ilmu formal, juga pada kegiatan yang diunggulkan dan ekskul. Bukan lengkap? Dunia-akhiratnya.
Syekh Musthofa Al-Gholayaini melanjutkan penjelasannya, “Dari orang-orang terpelajar yang sedang tumbuh itu, akan keluar gagasan dan upaya-upaya yang dapat menegakkan kehidupan umat ini, yakni umat yang hampir lenyap -karena kebodohan dan kehinaannyamasuk dalam catatan bangsa-bangsa yang telah punah. Manakala kaum terpelajar yang telah terdidik dengan pendidikan yang benar itu tumbuh dan mulai melibatkan diri dalam kehidupan sosial, maka di antara mereka pasti ada yang membuat kejutan hebat, yang belum pernah dilihat mata, belum pernah terdengar oleh telinga, bahkan belum pernah terbayangkan dalam benak pikiran manusia sebelumnya.”
Melalui pemikiran para pelajar tentu akan menciptakan inovasi yang membangun dan demi kemaslahatan bangsa sejahtera. Hilang kebodohan. Begitupun santri, saat masa pengembara mencari ilmu tentu akan kembali ke daerah masing-masing dan membaur dengan masyarakat. Dengan cerdas ilmu agama dan dunia, tentu sangat mudah bagi santri untuk turut membantu dan menyelesaikan masalah yang kerap kali timbul. Dan akhlak, ajdi penyebab kedamaian dan kerukunan bersosial. Indah.
Benar, kejutan hebat pasti muda terlahir dari para orang terpelajar. Begitu juga kaum sarungan, sebagai orang yang sangat terpelajar. Ilmu Dunia-Akhirat. Siapa bilang kaum sarungan tak memiliki jebolan hebat? Sebut saja Hamka, Gus Dur, Juga R.A. Kartini yang merupakan santri dari KH. Sholeh Darat. Sekarang juga tak sedikit dari para santri yang ikut terjun di dunia literasi dan teknologi.
Nasionalisme harus diisi dengan pendidikan dan santri telah mencontohkannya.
” Wahai, generasi muda, semua harapan bangsa ditumpahkan kepada kalian, maka bangkitlah engkau, giat menuntut ilmu -semoga Allah swt. melindungimudan berperangailah dengan perangai dan akhlak orang-orang terdahulu, karena negara telah memanggilmu dan engkau adalah orang yang ditunggu-tunggu.” Tulis Syekh Musthofa Al-Gholayaini di akhir kitabnya.
***