web analytics

Profil Mbah Jad Nganjuk ( KH. Muzajjad Faqihuddin ) Mondok hingga Mendirikan Pondok

Profil Mbah Jad Nganjuk ( KH. Muzajjad Faqihuddin ) Mondok hingga Mendirikan Pondok
Tim Pers Mahrusy adakan wawancara dengan KH. Ro’uf Faqihuddin
0 0
Read Time:5 Minute, 3 Second

KH.  Muzajjad Faqihuddin atau lebih akrab dengan panggilan Mbah Jad adalah putra ke 1 dari 10 bersaudara. Sekitar tahun 1930an beliau dilahirkan dari rahim Bu Ny. Hj. Musrifah. Melalui ibunya inilah nasab Mbah Jad bertemu dengan dzuriyah Pondok Pesantren Lirboyo.

Ibu Ny. Hj. Musrifah ialah anak dari KH. Rosyid; istrinya Bu Ny. Amnah. Ny. Amnah inilah keturunannya menyambung ke KH. Soleh Banjar Mlati; mertua KH. Abdul Karim pendiri Pondok Pesantren Lirboyo.

Menurut cerita Yai Ro’uf, sang adik. Mbah Jad adalah sosok yang loman (dermawan). Kedermewanannya beliau tularkan pada siapa pun. Dimulai dari keluarga, santri, masyarakat dan pada orang yang ia tak kenal pun ia terapkan. Bahkan, pernah pada sebuah kumpulan Bani Hasan Mujahid (keluarga Mbah Jad), ia berikan uang pada seribu saudara yang hadir di acara tersebut.

“Padahal beliau bukanlah orang yang kaya, bahkan beliau  terbilang  sosok yang sangat sederhana, rumahnya saja hanya sepetak tanah yang cukup digunakan untuk istirahat,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayat Sidoarjo itu.

Mbah Jad sejak kecil sudah ditanami nilai-nilai agama. Dimulai beliau ngaji “alif, ba, ta” sampai khatam Qur’an ayahnya lah yang mengajari. Baru setelah khatam, Muzajjad kecil di bawa ke Kediri, dititipkannya pada dzuriyah Lirboyo.

Berbeda dengan Kiai-kiai pada umumnya yang berpindah-pindah dalam mengenyam pendidikan pesanntren, Mbah Jad cukup mondok di Lirboyo. Beliau sangat mengutamakan istiqamah, inilah akar mengapa beliau hanya mondok di Lirboyo saja. Sejak zamannya Mbah Yai Manab, dilanjut Mbah Yai Mazuqi  dan Yai Mahrus Aly. Bahkan saat Yai Idris memegang alih pondok pun Mbah Jad masih mondok di Lirboyo.

Setelah Mbah Jad tamat di Lirboyo, Ia tak langsung boyong. Beliau memilih menetap dan mengajar di Pondok. Selama menjadi mustahiq tak tanggung-tanggung, beliau berhasil mencetak wong-wong gedhe seperti Alm. KH. Maftuh Batsul Birri, KH. Said Aqil Siradj, KH. Musthafa Aqil, KH. Nur Muhammad Iskandar Jakarta dan masih banyak lagi. Bahkan hampir mustahiq-mustahiq pada zaman itu adalah santrinya Mbah Jad.

Mbah Jad mondok di Lirboyo mencapai berpuluh-puluh tahun. Pernah saat tahun 1985 Mbah  Jad berpamitan pada Yai Marzuqi “Aku ora boyong, Aku tak pindah kamar neng ngisor pring.” Kemudian beliau tempati tanah yang diwarisi oleh ibunya untuk dijadikannya riyadhah -yang sekarang ini adalah Pondok Pesantren Al-Faqihy Pengkol Nganjuk-.

Kendati demikian beliau masih mengajar di Pondok Gedong dan pondok Lirboyo. Hingga tahun 1987 beliau membabat Pondok Al-Faqihy  pun masih malang-melintang ngajar Lirboyo-Nganjuk. Dan ini juga menjadi awal mula berdirinya Pondok Pesantren Al-Faqihy.

Selama mondok hingga beliau menutup usia Mbah Jad dikenal orang yang zuhud, sejak mondok di Lirboyo juga beliau sudah pandai berriyadhah. Amalan puasa, bila ruuh telah beliau rasakan, hingga menghembuskan nafas terakhirnya beliau istiqamah ngrowot.

“Hingga saat ini saya sudah lupa bagaimana rasanya nasi,” guyon beliau pada jama’ah pengajian kala itu.

Baginya tirakat atau riyadhah adalah maharnya ilmu. Bila santri ingin mendapat futtuh maka bertirakat bisa menjadi solusi.

“Namun tetap jangan lupakan belajar yang mempeng,” pesannya pada santri.

Bertirakat saja juga bukan harga pasti bisa diberi futtuh, sebab itu santri tetap harus mempeng. Justru itu yang lebih utama.

Keistiqamahan Mbah Jad tidak cukup itu saja. Selama Mbah Jad membimbing santrinya beliau bertekad untuk istiqamah mengimami  santrinya.  Itu sebabnya beliau tidak pernah meminta tolong santrinya untuk membadali imam, sekalipun dalam keadaan lemah lunglai sekalipun tetap ia lakoni.

Ada  cerita menarik saat bulan Ramadhan, ditengah kesibukkan Mbah Jad di bulan puasa, santri yang tidak pulang ingin sedikit meringankan beban Mbah Jad dengan mencucikan pakaiannya, tetapi apalah daya langsung ditolak oleh Mbah Jad.

“Ndak usah! Saya masih kuat.!” Jawabnya tak mau merepotkan santrinya.

Bagi Mbah Jad selagi dirinya bisa, maka beliau tak mau limpahkan urusannya pada orang lain. Bila perlu malah beliau saja yang direpotkan, demikian ini baginya bukanlah masalah. Oleh sebab itu Mbah Jad tidak pernah mau disediakan masakan oleh santri, justru beliau yang malah masak untuk santrinya. Hampir tiap hari beliau menyediakan makanan, susu, kolak dan lain sebagainya.

Pondok Pesantren Al-Faqihy Pengkol, Nganjuk asuhan Mbah Jad sedari subuh sudah dimulai ngaji Al-Qur’an hingga malam beristighatsah. Dari padatnya Kegiatan Belajar Mengajaar (KBM) Mbah Jad sendiri yang mengajar. Semua tingkatan dan disiplin ilmu diambil alih oleh beliau. Hingga sedikit sekali waktu beliau untuk istirahat.

“Jadi Mbah Jad itu bisa istirahat yaa waktu-waktu ba’da jamaah, kaya siang ba’da dzuhur baru beliau bisa istirahat. Sedangkan waktu selain itu full dengan jadwal ngajar Mbah Jad. Terlebih semakin menuanya Mbah Jad malah undangan untuk mengisi pengajian semakin memadat.” Ujar Ketua Pondok Pesantren Al-Faqihy.

Dalam membangun pondok Mbah Jad memilih membangun pondok asuhannya secara mandiri Bersama santri-santri. Mbah Jad bukan saja berteori melainkan merealisasi. Bukan saja menugasi melainkan juga mengimplementasi.

“Dulu ketika ro’an. Entah ro’an bersih-bersih atau membangun, Mbah Jad lah yang paling depan. Melihat semangat beliau, kami sebagai santrinya pun ikut semangat, seakan-akan tak mau kalah dengan beliau  yang sudah sepuh,” jelas pengurus lama.

Selain ahli tirakat, Mbah Jad juga ulama ahli dzikir. Setiap hari kegiatan yang  tak pernah ia tinggali adalah dzikiran. Terlebih ketika hari-hari besar, beliau adakan acara dzikiran. Seperti setiap malam Sura yang istiqamah diadakannya istighatsah. Saat istighatsah dimulai biasanya Mbah Jad menyediakan air sumur dan menaruhnya di depan para jama’ah hingga acara selesai, air bekas istighatsah (air doa) dibawanya ke sumur dan dituanglah air tersebut.

Bukan itu saja, ketika acara khataman Qur’an, nariyahan atau jam’iyah Mbah Jad juga menyediakan air do’a untuk dicampurkan kedalam sumur. Air zam-zam yang dibawanya sepulang haji  pula beliau campurkan ke dalam sumur itu. Sehingga air ini dinamakan air barokah, yang dipercayai bisa mengatasi segala hajat manusia.

Alhasil setiap orang yang sowan ke Mbah Jad dengan membawa permasalahan, air ini lah solusi ampuh untuk segala masalah.

“Bahkan pernah ada ibu-ibu hamil kesini meminta solusi karena bayinya tak bisa keluar, dokter pun menganjurkan untuk di sesar. Sebelum di sesar ibu ini mencoba sowan kepada Mbah Jad, diberilah air  barokah ini. Ajaib! Ibu itu tak jadi dioperasi dan berhasil melahikan normal.” Terang Pengurus Al-Faqihy.

Tulisan ini hasil wawancara pada Dzuriyah KH. Muzajjad, yakni KH. Ro’uf Faqihuddin serta pengurus Pondok Pesantren Al-Faqihy Pengkol, Nganjuk.

Oleh: Iwan Nur

About Post Author

elmahrusy16

Elmahrusy Media Merupakan Wadah literasi dan jurnalistik bagi santri, alumni dan pemerhati Pondok Pesantren Lirboyo HM Al-Mahrusiyah
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like