web analytics

Puasa: Hikmah Psikologis

Puasa: Hikmah Psikologis
0 0
Read Time:3 Minute, 43 Second

Sebelum membaca tulisan ini, lebih baik membaca 2 seri tulisan sebelumnya: spiritual dan sosial. Supaya sambung paham, terima kasih!

Pembahasan selanjutnya, ialah puasa mempunyai hikmah psikologis. Segala ibadah apapun yang didasari atas keridhoan Allah, pasti akan berbalas, selain pahala, adalah ketenangan. Karena memang ibadah-ibadah adalah hal-hal fisioterapis. Olah jiwa, pendekatan jiwa, dan pembersihan jiwa. Psikologis itu jiwa. Maka jika kita beribadah, jiwa kita tentunya akan berdampak. Jiwa kita mendapat asupan. Mental, emosi, sikap, sifat, dan apapun tentunya akan terawat dan sehat.

Perihal puasa ini, sudah dibahas sebelumnya, merupakan ibadah yang memiliki aspek spiritual yang sangat tinggi. Dengan begitu, bisa diartikan puasa akan berdampak besar pula bagi diri kita. Terutama aspek psikologis ini. Karena saking pentingnya psikologis bagi diri kita, karena memang tidak ada hal yang menjamin atau bahkan menjual kata tenang, selain ibadah. Karena memang psikologis dan tenang itu perihal metafisik.

Jadi, perhatikan ibadah kita, puasa, serta pembahasan di buku Kearifan Syariat ini:

  1. Hikmah Psikologis

Kebahagian dan kesuksesan. Dua hal inilah yang menjadi tujuan hidup setiap manusia. Faktor-faktor yang bisa menghantarkan meraih kedua hal tersebut ramai dicari dan diburu. Dulu, diyakini kecerdasan intelektual merupakan kunci sukses. Namun, fakta ribuan sarjana menganggur dan banyaknya pemimpin bangsa yang berintelektual tinggi, tapi bermoral rendah dengan maraknya bermacam praktik korupsi, membantah keyakinan ini. Selanjutnya, para pakar telah menemukan bentuk kecerdasan lain dalam diri manusia. Kecerdasan itu dikenal dengan kecerdasan emosional. Timbulah keyakinan bahwa yang menentukan kesuksesan seseorang adalah kecerdasan emosional ini.

Daniel Goleman, seorang ahli dan peneliti tentang kecerdasan emosi, mengisahkan sebuah kisah menarik. Dalam sebuah penelitian, dikumpulkanlah anak-anak berusia empat tahun di Taman Kanak-Kanak Stanford. Mereka diminta satu per satu masuk ke dalam sebuah ruangan, dengan sepotong marshmallow yang diletakkan di atas meja di hadapan mereka, “Kalian boleh memakan marshmallow jika mau. Tetapi, kalau kalian memakannya setelah say kembali lagi ke sini, kalian berhak mendapat sepotong lagi.

Sekitar empat belas tahun kemudian, sewaktu anak-anak lulus sekolah lanjutan atas, anak-anak yang mampu menahan diri (sehingga mendapat potongan marshmallow) itu memiliki ketahanan mental yang jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Mereka yang tahan menunggu hingga mendapatkan potongan marshmallow tambahan cenderung lebih tahan terhadap stres, tidak mudah tersinggung, dan tidak mudah berkelahi. Tidak demikian dengan anak-anak yang langsung melahapnya. Mereka memiliki kecenderungan kurang tahan uji dalam mengejar cita-cita mereka. Meski demikian, yang lebih mengejutkan para peneliti adalah munculnya efek yang betul-betul tak terduga. Anak-anak yang mampu menahan diri dalam ujian marshmallow, dibanding dengan yang tidak tahan, memperoleh nilai rata-rata 210 lebih tinggi (dari nilai tertinggi 1.600) dalam ujian masuk perguruan tinggi.

Ketika anak-anak dari Taman Kanak-Kanak Stanford itu tumbuh menjadi dewasa dan bekerja, perbedaan-perbedaan di antara mereka semakin mencolok.

Di penghujung usia dua puluhan, mereka yang lulus uji marshmallow ketika kanak-kanak tergolong anak yang cerdas, berminat tinggi, dan lebih mampu berkonsentrasi. Mereka lebih mampu mengembangkan hubungan yang tulus dan akrab dengan orang lain, lebih handal, lebih bertanggung jawab, dan kendali dirinya lebih baik saat menghadapi frustasi.

Sebaliknya, mereka yang melahap marshmallow sewaktu umur empat tahun, kemampuan kognitif mereka kurang dan kecakapan emosinya lebih rendah dibanding dengan kelompok yang tahan uji. Mereka lebih sering kesepian, kurang dapat diandalkan, lebih mudah kehilangan konsentrasi, dan tidak sabar menunda kepuasan dalam mengejar sasaran. Bila menghadapi stres, mereka hampir tidak mempunyai toleransi dan pengendalian diri. Mereka tidak luwes dalam menghadapi tekanan, bahkan sering mudah meledak dan hal tersebut menjadi kebiasaan mereka.

Fenomena ini menunjukkan betapa penting pengendalian diri. Sebagai bagian dari bentuk kecerdasan emosional secara umum yang diyakini sementara orang sebagai penentu kesuksesan dan kebahagiaan. Sebagaimana kita tahu, puasa adalah arena pengendalian diri yang sempurna. Dalam hal makan, yang menjadi kebutuhan penting bagi setiap orang, diberikan aturan yang cukup ketat, mulai pagi hingga sore hari. Dengan aturan yang begitu jelas, bisa dikatakan masyarakat muslim telah hidup dalam dunia yang penuh aturan. Lebih-lebih ketika bulan Ramadhan. Dengan demikian, umat Islam telah melakukan pengendalian diri secara bersama-sama di bawah sebuah aturan yang mengatur.

Itu artinya, umat Islam telah berusaha mewujudkan terbentuknya kecerdasan emosional, secara bersama-sama yang menjadi penentu kesuksesan dan kebahagiaan. “Sungguh menakjubkan, apakah di dunia ini ada aturan dan aktivitas bersama (isytirakiyyah amaliyyah) yang menempatkan manusia dalam kondisi yang sama-sama lapar dan sama-sama kenyang, seperti puasa di bulan Ramadhan?” Demikian kata Dr. Musthafa As-Siba’i.

Dengan begitu, jika puasa tidak membuat kita dapat mengendalikan diri dan raih tenang, berarti ada yang salah dengan diri dan puasa kita!

Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam.

 

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like