Puasa itu Menderitakan Sekaligus Memulihkan
“Puasa itu menderitakan sekaligus memulihkannya!”
Sebaris kata di halaman 69, baris ke 18 dari atas, cukup membuat saya termenung. Dari sebuah buku yang memiliki 47 judul pembahasan, pada suatu judulnya yang berisi 114 baris, KH. Husein Muhammad begitu cerdas, bijak, lagi dalam untuk pembahasan puasa di salah satu buku hebatnya, Islam.
Sudah seharusnya, Ramadhan adalah bulan tarbiyah. Dalam sebulan penuh ini kita dididik dan dilatih dengan berbagai ibadah dan perilaku baik lainnya, dari berbagai sisi dan aspek, juga lapis dan unsur, atau lingkup dan naung. Itu mengapa, pada saat Ramadhan, begitu banyaknya kajian yang digelar, acara tv atau konten video, juga di gebu khutbah jum’at ataupun kultum-kultum menunggu waktu berbuka. Karena memang, Ramadhan menjadi bulan diturunkannya absolute foundation dalam aspek hukum, pegangan, dan pengajaran: Al-Qur’an.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah ayat 185)
Salah satu pengajaran dan pendidikan mengenai bulan pengajaran dan pendidikan ini bisa kita dapat dari pemikiran Buya Husein dari tulisan yang tertuang di buku itu. Bagaimana beliau menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang dititipi amanah dan harapan Tuhan. Gelar khalifatu di al-ardh, disematkan Tuhan kepada manusia meski hal itu sempat dipertanyakan dan diragukan malaikat dengan segala kompetensinya melalui ungkapan, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?”
Harapan itu bernada agar manusia diharapkan menjadi makhluk yang mampu membangun kehidupan bersama yang saling menghormati dan saling menyejahterakan. Bukan hanya sekedar berharap, Tuhan pun telah melengkapi dan membekali manusia dengan berbagai perangkat dan fasilitas yang memungkinkan mereka dapat mengerjakan semua tugas kemanusiaan itu dengan sebaik-baiknya. Tuhan memberi mereka akal untuk memikirkan, hati untuk mengalami, dan hasrat untuk menggerakkan. Tiga hal yang bersifat spiritual itu secara genuine diciptakan dalam keadaan suci dan baik.
Tapi, sayangnya, manusia kerap kali menjatuhkan harapan itu dengan hal-hal buruk dalam kemunkaran dan kemaksiatan. Kita tidak bisa, atau mungkin salah dalam menggunakan tiga bekal itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan Buya Husein menyebutkan,
“Akan tetapi, dalam perjalanannya, manusia sering kali menjadi makhluk yang lemah dan bodoh. Ia sering lalai, mudah tergoda, terperangkap, dan tergelincir ke dalam tindakan-tindakan yang menyimpang; merendahkan, mendiskriminasi, dan menzholimi orang lain. Manusia juga mudah tertarik dan tertipu oleh hasrat-hasrat yang rendah dan kesenangan-kesenangan sesaat (duniawi); memuja harta, jabatan, seks, golongannya sendiri, keturunan, dan sebagainya. Hasrat-hasrat diri ini amat sering melalaikan, memperdaya, menindas, dan tak menghargai hak orang lain. Manusia acap kali tak mampu mengendalikan hasrat-hasrat rendah yang menyesatkan itu.”
Hingga, lihat saja dengan sendirinya hal-hal yang terjadi, terutama di negeri kita ini. Sebut dan apa saja kerusakan-kerusakan yang terjadi perihal moral dan sosial. Aspek politik, sosial, kemanusian, budaya, agama, hingga isu perempuan menjadi hal-hal yang tidak berkesudahan. Betapa terlihat jelas, bahwa manusia selaku makhluk yang dititipi amanah dan harapan itu, nyatanya sudah hilang sadar karena perilaku buruk dan tidak bijaknya dalam pengaplikasian tiga unsur bekal itu.
Maka dari itu, peran puasa terlihat di sini. Bagaimana sifatnya hasrat yang menggerakan, mampunya ia dalam arrange akal dan hati. Jika hasrat itu mengajak buruk, maka akal dan hati akan terbawa buruk.
Sudah kita ketahui bersama bahwa puasa adalah ibadah yang ampuh dalam meredam syahwat, nafsu, atau apapun yang disebut hasrat. Dengan segala hikmah yang terkandung, baik spiritual, sosial, psikologis, dan medikal, puasa adalah obat batin yang ampuh dan logis. Dalam hadits masyhur, hal itu sudah Nabi sabdakan yang diriwayatkan Bukhori Muslim:
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَاب مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Abdullah Ibnu Mas’ud ra. berkata: ‘Rasulullah saw bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” (Muttafaq ‘Alaih)
Karena memang, dalam prinsip dan konsepnya, makanan itu sangat berpengaruh dalam membangkitkan nafsu dan hasrat diri. semakin kita kenyang, semakin besar dampak buruk yang ditimbulkan. Bahkan, Syaikhul Islam, Imam Ghozali sampai mengatakan di salah satu kitabnya, Bidayatul Hidayah, mengenai bahaya dari kenyang.
وأما البطن فحفظه من تناول الحرام والشبهة وحرص على طلب الحلال فاءذا وجدته فحرصه على أن تقتصر منه على ما دون الشبع فاءن الشبع يقسي القاثب ويفسد الذهن ويبطل الحفظ ويثقل الأعضاء عن العبادة والعلم ويقوي الشهوات وينصر جنود الشيطان
“Adapun perut, maka jangan kau isi ia dengan barang haram atau syubhat. Berusahalah untuk mencari yang halal. Jika engkau telah mendapatkan yang halal, berusahalah mengkonsumsinya tidak sampai kenyang. Sebab, perut yang kenyang bisa membekukan hati, merusak akal, menghilangkan hafalan, memberatkan anggota badan untuk beribadah dan menuntut ilmu, memperkuat syahwat, serta membantu tentara setan.”
Itu mengapa, Nabi Saw mengingatkan bahwa kita diajarkan untuk makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Kita, umat Islam, jangan sampai lapar dan kenyang. Karena di balik lapar dan kenyang ada makna israf atau berlebihan, dan itu tidak baik dalam Islam.
Di sisi lain, Buya Husein mengartikan puasa adalah sebagai momen perenungan. Merenungi atas segala hal yang sudah kita bahas di atas: manusia makhluk harapan Tuhan, manusia memiliki hasrat, dampak hasrat, serta tujuan puasa.
Karena memang, puasa memang momentumnya, sebagai ibadah yang inklusif untuk kita memikirkan semua hal yang sudah kita lewati. Baik buruknya. Baik untuk dipertahankan dan ditingkatkan, buruk untuk diubah dan ditingkatkan.
Buya Husein mengingatkan, “Puasa adalah momen perenungan diri atas hasrat-hasrat yang rendah, sesaat. Puasa itu menderitakan sekaligus memulihkannya. Pembiaran hasrat-hasrat rendah yang tak terkendali selalu akan melahirkan malapetaka sosial dan kemanusiaan. Puasa, pada sisi lain, merupakan momen melatih sensitivitas pikiran, hasrat, dan tindakan agar selalu terkontrol dan terkendali.”
Dengan ini, merenung kerap kali dinamai muhasabah atau intropeksi diri. Tentu ini sangat pe ting dan perlu. Mengevaluasi diri, mendeteksi hal buruk untuk hal baik. di sisi lain, muhasabah atau intropeksi diri ini menuntut kita untuk mengambil pelajaran di setiap hal yang terjadi, termasuk musibah dan cobaan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Umar bin Khattab Ra, Nabi Saw bersabda:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal saleh) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak).” (HR. Tirmidzi)
Karena memang, citra Islam begitu damai dan indah. Semua hal dalam Islam begitu terkonstruk dan rapih, sehingga pasti, ada kebaikan di setiap unsur syariat: baik perintah ataupun larangan. Bahkan sejatinya, semua agama pasti berniat dan bermaksud baik dalam setiap ajaran yang diberikan.
Terutama Islam, selalu dan sangat memperhatikan sisi kemanusiaan. Tidak hanya perihal religi dan keagamaan. Karena setiap individu memiliki hak dan kewajiban, memiliki daya dan kemampuannya tersendiri. Itu mengapa, la ikraha fiddin, tidak ada paksaan untuk masuk Islam, tidak ada paksaan dalam Islam. Islam tidak menuntut, semua menyesuaikan kemampuan. Itu kenapa, jika seseorang tidak mampu berdiri dalam sholat, maka diperbolehkan duduk sampai hanya isyarat hati.
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ
“Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.”
Dengan itu, Buya Husein menutup tulisannya dengan sebuah syair yang indah:
إلى كم أنت في بحر الخطايا تبارز من يراك ولا تراه
وسمتك سمت ذي ورع تقي وفعلك فعل متبع هواه
فيا من بات يخلو بالمعاصي وعين الله شاهدة تراه
أتطمع أن تنال العفو مما عصمت وأنت لم تطلب رضاه
فتب قبل الممات وقبل يوم يلاقي العبد ما كسبت يده
Akan beberapa sering lagikah kau berenang di lautan salah
Kau pertontonkan itu ke hadapan Dia
yang melihatmu dan kau tak melihat-Nya
Kau sering tampil bagai orang shalih dan bersih
tetapi, perilakumu penuh hasrat rendah
Wahai engkau yang sering selingkuh
Mata Tuhan selalu menatapmu
Kembalilah kepada-Nya sebelum kau pulang
Sebelum hari setiap hamba menjumpai hasil kerjanya
kemarin.