Tirakat merupakan satu kata yang tak asing lagi di khalayak umum, terutama di pesantren. Tirakat bisa di artikan sebagai usaha yang dilakukan seseorang dengan amalan tertentu untuk menggapai ridha Allah SWT. Tirakat apabila merujuk pada bahasa arab dari kata Tarku yang artinya meninggalkan, yang di analogikan meninggalkan perkara yang mubah terutama perkara munkar. Di kalangan pesantren sendiri, tirakat banyak dilakukan oleh para santri sebagai usaha dalam kesuksesan belajar. Maka tak ayal, apabila seorang santri yang melakukan tirakat lebih mudah dalam proses belajarnya.
Bentuk tirakat sendiri banyak sekali macamnya, seperti puasa sunnah, ngrowot (Tidak makan beras padi), tidak pulang mondok selama tiga tahun, sedikit makan, sedikit tidur dan sebagainya. Tirakat juga bisa dilakukan dengan wadhifah yang kembalinya kepada spritual seseorang, seperti melakukan sebuah amalan-amalan yang berbentuk do’a, dzikir dan sebagainya.
Nah, sebuah tirakat sendiri harus dilakukan dengan unsur keikhlasan dari seorang tersebut. yang artinya seseorang tersebut tidak boleh menjadikan tirakat sebagai sebuah beban dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi bagi seorang santri, sangat di anjurkan untuk melakukan sebuah tirakat agar mempermudah proses belajarnya. Tetapi, bilamana tirakat memberati seseorang tersebut, maka lebih baik tidak melakukan tirakat.
Seperti Dawuh Kiai Marzuki Dahlan Lirboyo mengenai tirakat “Santri gak usah tirakat nemen-nemen. Sing penting belajar sing mempeng, soale neng kene wes di tirakati karo kiaimu”. Dawuh beliau mengindisakian bahwasanya, kunci sukses dalam belajar adalah tekun atau bersungguh-sungguhnya dalam belajar, peran tirakat hanyalah sebagai penunjang. Maka dari itu, apabila seseorang santri tirakatnya membebani dalam belajarnya lebih baiknya tidak usah melakukannya.
Menurut Imam As-Sya’rani dalam kitab Al-Minan Al-Kubra menyatakan bahwa sebagian ulama Arifin mengatakan:”Sah bagi orang yang menganiaya diri sendiri untuk menjadi pilihan. Karena menganiaya diri tersebut dalam rangka melawan hawa nafsu untuk mencari ridho Allah. Bukanlah yang dimaksud menganiaya diri dengan melakukan maksiat.” (Abdul Wahhab As Sya’rani, Al-Minan Al-Kubra.
Kendati demekian, dari hal ini dapat di pahami bahwa menahan diri dari perkara yang mubah, juga sangat di anjurkan yang bertujuan untuk menggapai ridho Allah SWT. Dari sinilah mengapa sebuah tirakat sangat di anjurkan, untuk menunjang kesuksesan seseorang yang di dambakan.
Seperti halnya dawuh kiai Abdullah Faqih Langitan, Santri iku kudu tirakat. Sebab, santri nek gelem tirakat, ilmune bakal mencorong, iso dialap manfaat karo wong akeh, tur nek ajak-ajak wong liyo, yo bakal digugu lan dipercoyo. Artinya, santri itu harus tirakat. Sebab, kalau santri mau tirakat, ilmunya akan terpancar, bisa diambil manfaat oleh banyak orang, dan jika mengajak orang lain juga akan diperhatikan dan dipercaya.
Para ulama ketika hendak menulis kitab dimulai dengan tirakat. Di antaranya Imam al-Bukhari, setiap akan menulis satu Hadis beliau melakukan shalat sunnah dua rakaat. Imam Nawawi, saat hendak menulis karya monumentalnya, Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, beliau melakukan shalat Istikharah.
Ada juga Imam al-Muzani, yang merupakan salah seorang murid terbaik Imam Syafi’i, setiap kali hendak menyusun kitab Al-Mukhtashar beliau puasa tiga hari dan shalat sekian rakaat. Karena rasa tanggung jawab yang besar dan kehati-hatian mereka dalam menulis khazanah keilmuan, sehingga harus selalu memohon petunjuk dan perlindungan kepada Allah swt., demi menjaga keberlangsungan keilmuan yang ditulis.
Dari sini dapat dijadikan hikmah, bahwa tirakat juga di perlukan dalam proses belajar santri atau kehidupan seseorang. Tirakat juga tidak bisa di remehkan dengan berbagai keutamaannya.