Rajut Temu
Menitik, di ujung detik.
Masih dalam belalak mencari udara menuju kesadaran utuh.
Sungguh, ini yang kita butuh: tiba.
Ia melambai, tak lama memeluk.
Ramadhan, tamu agung itu terkasih, menjadikannya kekasih.
Tak ubahnya semilir di kelopak putik, rintik di tandus kerontang, atau kabar di hilang dan temu.
Kuperkenalkan diri, di lembar gelar kertas kuning, di antara huruf tak berharokat, seberis kata santri dan perjuangan.
Menerka gelap, menuju lelap: kan kuhidupi malam-malammu dengan rukuk sujud penyembahan.
Menapak terang, menghancur karang: kan kurajut siang-siangmu dengan baca tulis keilmuan.
Tanpa dipinta, merekah senyum, ganjaran dan ampunan kau beri tanpa perhitungan.
Lailatu Qadr, malam yang lebih baik dari seribu bulan, adalah cita-cita yang berkepanjangan, lagi dalam.
Mana kau yang disebut bulan lapar? Kenyangnya aku akan segala kebaikan dan balasan.
Namun sayang, benar, sungguh, tak ada yang abadi dalam ruang dan waktu.
Kita hanya berusaha meracik dan mencampur harapan agar menadapat kesempatan, kembali dan lagi-lagi: berjumpa dengan bulan suci Ramadhan.
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Average Rating
- Annas pada “Orang yang Mampu Menandingi Gus Maksum, Hanya Yai Imam!”, -Kisah Keteladanan Yai Imam
- Siti pada Fenomena Ghosob yang Mengakar
- RandaTapak pada Self-Improvement: Meniti Paradigma dengan Lensa Berbeda
- arrofiq pada Pentas Seni Malam Literasi Menuju 1 Dasawarsa Pers Mahrusy
- Elnahrowi pada Tips dan Trik Dibalik Siswi Madin Berprestasi & The Best 1002 Nadzom Alfiyah