Ramadhan dan Potret Budaya Filantropi Santri
Pernah dengar kata filantropi sebelumnya? Mungkin kata ini masih asing ditelinga kalian. Kata filantropi sederhananya adalah bentuk diksi dari bahasa kedermawanan manusia kepada manusia lainnya. Nah ramadhan ini moment yang sangat pas untuk mengekspresikan diri dalam mentotalitaskan ibadah. Biasanya para umat muslim saling berbagi kasih dibulan ini mulai dari perusahaan, lembaga, komunitas, hingga individu masing-masing.
Bahasa filantropi memang terlihat asing kita dengar, namun tanpa disadari hal-hal yang menunjukkan kepedulian terhadap orang lain itu sudah dianggap sebagai pelaku filantropi. Misalnya saja yang biasa dilakukan para santri mulai dari meminta barokah fatihah untuk teman atau keluarga yang sedang sakit, membantu teman yang sedang kesulitan, saling bergotong royong, hingga adat berbagi takjil gratis. Itu semua adalah budaya filantropi santri yang sudah mengakar di pondok pesantren.
Kebiasaan baik yang dilakukan para santri ini tentunya akan terus berjalan hingga ia bermasyarakat. Kesadaran masyarakat untuk merdermakan hartanya masih minim sekali padahal banyak sekali kaum fakir miskin yang membutuhkan uluran tangan. Kehadiran tokoh santri di tengah masyarakat bisa menjadi pendobrak motivasi spritual masyarakat agar mendermakan hartanya tidak hanya moment bulan suci saja. Hal ini dilihat aktivitas filantropi masyarakat muslim di Indonesia pada hari-hari di bulan Ramadhan meningkat tajam.
Diperkirakan ada dana miliaran rupiah yang berputar di tengah masyarakat kita sejak menjelang puasa hingga hari raya tiba. Pertanyaannya, adakah dampak penurunan angka kurang-mampu di Indonesia.
hal ini merupakan fenomena yang layak menjadi renungan bersama. Bangsa kita memiliki moment tahunan yang bisa menghasilkan sumber dana miliaran bahkan mungkin triliunan rupiah.Tetapi hal ini tidak berpengaruh bagi lahirnya civil society (masyarakat mandiri-beradab) dan turunnya angka kemiskinan. Hal ini karena sebagian besar dana yang disumbangkan masyarakat dipahami secara konsumtif dan diorientasikan berjangka pendek.
Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan secara berkala membuat lembaga pesantren respond terhadap fenomena yang terjadi. Seperti pesantren yang sudah memiliki badan perekonomian dan badan amil zakat mereka mampu mentransformasikan pengelolaan keuangan secara berkala dan berstandar syariat. Oleh karena itu dibutuhkan juga sumber daya manusia yang kompeten di bidang agama agar mampu menyelaraskan kegiatan duniawi dan ukhrowi.
Jiwa filantropi sejatinya adalah wujud kesalehan sosial seorang hamba. Karena keimanan dan ketakwaan tidak hanya dinilai sebatas hubungan ia kepada tuhannya. Cara ia bersosial dengan baik dan sifat kasih sayang kepada sesama juga menumbuhkan ketakwaan di dalam hati seorang hamba. Oleh karena itu pesantren sebagai wadah pencetak ulama dan intelektual mampu mensinergikan budaya filantropi agar selalu tumbuh dan berkembang di masyarakat.