Sebuah rasa dendam yang lama terpendam. Sepenggal amarah yang kini telah kehilangan arah. usai skripsi yang dituju adalah kedai kopi. Sekilas terlihat norak bahkan sangat sepele. namun, tempat ini menyatu rasa, kini rasa semakin meguat dengan iringan alunan lagu waktu yang salah karangan Fiersa Besari.
Orang-orang kukuh pendirian tak akan berkunjung ke kedai kopi, sebatas mengusir rasa gengsi. tapi, Ia yang rapuh menjadikan kedai kopi sebagai tempat keluh kesah. Menyatu padukan rasa dalam sebuah suasana.
Kursi bambu yang mengkilat, harumnya rebusan biji kopi dan penerangan dari lampu berwarna orange menambah kehangatan. Dan tempat ini pula ada rasa amarah yang menyatu. Sembari kepergiannya yang, menyisipkan dukan nan lara.
Pertemuan ini memang tak diharapkan. Laki-laki berdasi yang gila meteri ini menaruh gengsi pada kedai kopi, Ia enggan mengunjunginya. Kini tanpa jeda bahkan setiap harinyapun ia mengunjungi kedai kopi. Kedai aksa yang kini menjadi favoritnya. Setiap ia berkunjung berhasil membuat banyak orang kagum.
Memperhatikan apa saja yang ia kenakan, menebarkan aura hangat bagi siapa saja yang berada di dekatnya. Ia mengenali sebagian dari mereka, orang yang sering mampir sambil menunggu senja.
Sorot mata sinis laki-laki itu mengingatkan pada masa lalunya. Memberi senyum kecil sebagai balasannya. mungkin dulu kita sama-sama cupu, lugu, usia kita tak berselisih jauh. Namun, kini Aku terlihat kurang update saja. Beban yang aku tanggung dan ekspetasi keluarga yang aku pikul, membuatku terlihat sedikit menua. Batinku, lagi-lagi lelaki itu kembali menatapku.
Hampir empat tahun yang lalu, ketika aku meninggalkan kampung halaman untuk belajar di kota tahu yang dianggap mantap dengan ilmu agamanya dan tak lahan dengan prestasi akademiknya. Kota Yang selalu istimewa dengan banyaknya pelajar yang datang dari manca suku bangsa.
Dari sabang hingga merauke bahkan dari negeri tetanggapun juga tiba disini dengan tujuan yang sama. Ada satu pristiwa diakhir bulan yang tak akan dilupakan. Bagi Kami yang lengah berjuang di kediri usai skripsi, lalu berbondong-bong menuju kedai kopi. Rasa Pilu yang bersatu. Ketika merengnungi perilaku boros diawal bulan. Lantas kini, siapa yang akan merenuungi?
Semua Mengejar ambisi cita-cita dan masa depan. Jarak memang bisa ditempuh dan arah bisa dicari, namun pengalaman tak datang untuk kedua kali.
Belajar dari masa lalu, ia menganggap bahwa kedai kopi memiliki banyak potensi bukan sekedar mampir dengan kopi secangkir.
Tapi Untuk merawat hati dan mempersatukan perasaan. Orang-orang bisa berkumpul dan menikmati varian rasa kopi. Camilan kentang yang gurih, mempercakapkan masa lalu, Menyusun masa depan, dan merenungi kehilangan. Semua lara akan pergi seketika di kedai kopi.
Aku itu mengenali pria yang tengah menikmatai secangkir kopi panas dengan asap berkabul diatasnya duduk tak jauh dari tempatku. Meski peluknya masih terasa ketika Ia pergi ditengah perjuangan bersama.
Kedirilah yang hadir sebagai saksi. Rasa hati tak ingi mengusik. Namun, tiba-tiba lelaki berdasi tersebut berada di dekatku. Aku pura-pura tak tau. Ia membawa setangkai mawar dengan perlahan Ia menatapku.
Ia sadar bahwa Aku adalah masa lalunya. Hatiku bergetar, tetapi Aku berusaha mengendalikan amarahku. Meskipun senja kata ingin diluapkan tapi nayatanya aku hanya mampu bungkam seribu bahasa. Yang Ia rindukan hanyalah wanita biasa, tak pernah terjun dalam dunianya, dan tak biasa beradu gaya seperti halnya dirinya.
Aku yang tengah berusaha menerima kenyataan, setelah apa yang menerpa keluargaku. Banyak beban pikiran yang kutanggung. Tidak hanya sebatas bagaimana Aku akan lulus dengan predikat yang bagus, namun juga bagaimana Aku akan menghidupi keluarganya.
Aku merdam rasa yang seolah menjadi dendam ini. Pertemuan di kedai inilah yang menyatukan semuanya.
“Sara, ini bunga untukmu, mungkin yang kemarin telah layu. Aku berharap bunga mawar ini membawa harapan baru” Pemuda itu menatapku.
“Tapi maaf, duri-duri dibatang mawar itu membuatku sedikit trauma dengan harapa baru” Tuturku sedikit pilu.
Mataku memandang jauh menerawang diluar sana. Suasana taman raya dekat kedai begitu ramai akan pengunjung. Mereka menikmati harum semerbak bunga ditaman. Terdengar alunan lagu mulai dinyanyikan “beri kisah kita sedikit waktu, semesta mengirim dirimu untukku, kita adalah rasa yang tepat diwaktu yang salah….”
“kau pasti menyesalinya” mendengarnya, hanya tawa yang mampu ku lontarkan untuknya.
Aku menyembunyikan air mata dibalik tawa. Tanpa menatap pria tersebut.
“Untuk apa kau mengatakan hal itu? Aku lebih rindu kebersamaan. Rindu obatnya adalah bertemu, dan aku sedang berjuang untuk itu. lantas bagaimana dengan sabar yang kuberikan padamu?” ucapku padanya.
“Jangan Percaya dengan semua yang mereka katakana bahwa aku sedang baik-baik saja. Percayalah beradaptasi dengan orang baru menambah rasa resah tanpa peluk pekatmu, aku tak mampu melalui semua ini. Mereka tak mengerti akan arti genggaman yang perlahan menghilang” tuturnya sungguh-sungguh.
“Namun Aku hanya memiliki tekad agarv tak dipertemkan Kembali dengamu dan trauma yang kau beri untukku”
Ia meletakkan setangkai bunga di mejaku
“Memang aku tak sebaik yang kau kira, maka dari itu aku butuh genggamanmu. Aku memang tak sebaik nabi yusuf aku hanya takut hub…”
“Stop!!”
Lirikanku semakin tajam, aku hamper tak mampu mengendalikan emosiku. Air mata yang kutahan mulai bercururan.
“Maka lepaskan Aku Karena Allah, dan pergilah sebagaimana aku memasrahkanmu padanya. Hanya ini yang dapat kuberikan. Do’ku tak berhenti terpanjat semoga engkau menemukan seseorang yang lebih baik dariku, selamat berpisah”
Aku beranjak meninggalkan kedai tersebut. Dengan segudang rasa entah amarah, duka, lara, tau mungkin justru bagahagia. Entahlah, aku terlanjur kecewa dengan semuanya.
Penulis: Karisma Aji Febrianty
Editor: Alifia Azzahra